oleh : A Fahrizal Aziz
Laporan Utama Majalah Suara Akademika UIN Malang
Beberapa tahun belakangan ini, dunia perfilman Indonesia mulai menunjukkan gejala kebangkitan yang begitu pesat. Hal itu bisa kita lihat di papan reklame bisokop-bioskop yang lebih banyak didominasi film domestik ketimbang film mancanegara. Atensi Masyarakat terhadap film Nasional pun juga meningkat, namun dibalik semakin majunya Industri perfilman Indonesia, apakah memiliki korelasi yang positif dengan Pendidikan Nasional ?
Kita tentu masih ingat dengan film Gita Cinta dari SMA yang sempat trend di tahun 80-an, dimana banyak anak muda yang menggandrungi sosok Galih yang kala itu diperankan Rano Karno. Atau film Catatan Si Boy yang sempat menyeruak di era 90-an. Dimana anak-anak muda mulai meniru gaya Boy yang diperankan oleh Onky Alexander, sosok pemuda yang kaya, baik dan rajin ibadah.
Dan yang masih hangat di benak kita adalah film serial Lupus, yang diperankan dengan apik oleh Alm. Ryan Hidayat. Bahkan Film lupus lah yang konon menjadi kiblat awal berkembangnya bahasa-bahasa gaul di kalangan anak muda serta yang mempengaruhi trend berbusana kawula muda kala itu.
Beberapa film lainnya juga tak kalah mengguncang jagat hiburan kita. Masih ingat film Ada apa dengan Cinta? Atau film-film kotemporer yang banyak diangkat dari Novel seperti Sang Penari, Perahu Kertas, Ayat-ayat Cinta, Laskar Pelangi, Ketika Cinta bertasbih, hingga Habibi dan Ainun? Kehadiran mereka juga mendapatkan atensi yang luar biasa dari Masyarakat. Bahkan para penonton harus antri di loket bioskop jika ingin menikmati setiap adegannya.
Menjamurnya Perfilman Indonesia sekarang ini, disatu sisi menjadi kabar yang menggembirakan. Dimana kini film dalam negeri telah menjadi ‘tuan rumah’ di Negerinya sendiri. Tapi disisi lain, banyak yang mengatakan jika film telah memberikan andil besar dalam pembentukan karakter Masyarakat. termasuk budaya-budaya pop yang kini menjangkiti anak muda. benarkah demikian?
Salah satu pengamat film UIN Maliki, Prof. Dr. H. Mulyadi, M.Pd membenarkan itu. Menurutnya, film memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mempengaruhi pola hidup Masyarakat, karena film merupakan wahana Pendidikan yang sangat efektif.
“Dari film yang dinikmatidapattersampaikanpesan-pesantersirat yang sekaligusmenanamkannilai-nilaikehidupan. Sehinggaketika film yang ditayangkantidakmendidik, makatakheranjikamenghasilkanmasyarakat yang berperilakutakberpendidikan,” tuturnya.
Menurut Profesor yang sekaligus Dekan Fakultas Psikologi UIN Maliki ini, di era Globalisasi, tugas Mendidik tidak hanya dibebankan pada lembaga Pendidikan semata. Karena zaman berkembang, maka seluruh elemen Masyarakat juga memiliki tanggung jawab untuk Mendidik, tak terkecuali lembaga Perfilman.
Ia menambahkan, film sangat berkaitan erat dengan Pendidikan karakter. Kaitan itu terjadi karena adanya interaksi antara audience dengan film yang dinikmatinya. Sehingga akan terjadi yang namanya Pendidikan audio Visual.
“proses pendidikan audio-visual terjadi karena adanya interaksi penonton dengan film yang ditontonnya. Sehingga maksud dan nilai-nilai yang disuguhkan dalam film mudah ditangkap, dipahami, lalu kemudian tertanam pada diri penonton dan akan menjadi pola dalam berperilaku sehari-hari,” jelasnya.
Dosen senior yang sekaligus Guru besar bidang Pendidikan itu berpesan, jika Masyarakat harus selektif dalam memilih hiburan, dalam hal ini film. Karena tidak sedikit film yang bermuatan negatif dan itu bisa mempengaruhi kepribadian seseorang.
Perihal ditanya bagaimana cara membentengi diri dari efek Negatif film. Sosok yang bersahaja itu menjelaskan salah satunya dengan memperkuat karakter pribadi. Ia menjelaskan jika di lembaga seperti UIN Maliki ini, Mahasiswa sudah dididik untuk memiliki Pribadi yang kuat yang digambarkan dalam empat pilar tersebut.
“Di fakultaspsikologi, kami memilikilembagabimbingankonseling, di manamelaluilembagainipanduanhidup yang baikdibina. Selainitu, kami telahberusahasecaramaksimaldalammerealisasikanvisi-misi UIN Maliki Malang melaluilembagafakultas.Di manakitatahubahwaempatpilar UIN secaratidaklangsungtelahmengajakkitauntukmembentengidiridarienergi negative film yang tidakmendidikitu,” pungkasnya.
Sementara Artis cantik Nia Ramadhani, ketika di wawancarai oleh Reporter Suara Akademika mengatakan, jika Masyarakat kini sudah semakin cerdas dalam memilih film yang dirasa memberikan Pendidikan bagi mereka. Selain itu, menurut bintang sinetron Bawang merah dan bawang putih itu, kualitas perfilman Indonesia sudah mulai membaik.
Aktris yang sudah membintangi lebih dari sepuluh judul sinetron itu menambahkan, Film Indonesia kini banyak merepresentasikan Budaya dan Keindonesian. Hal itu, menurutnya, perlu mendapatkan apresiasi agar kedepan Perfilman Indonesia kian membaik.
“Film-film Indonesia kini makin bagus, sudah banyak film-film yang represent budaya Indonesia, seperti Mestakung dan Sang Penari. Bahkan ada film yang meng-eksplore kecantikan alam Negeri ini, misalkan film 5 cm. Hal itu perlu diapresiasi,” tutur perempuan berdarah sunda tersebut.
Nia sendiri mengakui, masih banyak pula film-film yang tidak mendidik. Seperti beberapa film horor yang hanya menonjolkan sisi seksualitas. Tapi itu adalah hal biasa, semua butuh proses.
“Sejauh ini masih belum semuanya menampilkan riil budaya Indonesia, seperti beberapa film-film hantu yang lebih menonjolkan sisi-sisi pornografi. Hal itu sudah biasa, ada hal yang baik dan buruk, ada film yang baik ada juga film yang kurang baik. Semua itu butuh proses,” ungkap pemeran Vira, dalam Film Suster Ngesot tersebut.
Tapi, aktris yang sudah menjajaki dunia entertainment sejak usia 15 tahun tersebut mengatakan jika Masyarakat hari ini lebih tertarik dengan film-film yang mendidik. buktinya film-film yang booming justru bergenre Pendidikan dan Ketokohan.
“Saya rasa Masyarakat kita kini lebih suka dengan film yang bersifat pendidikan, kita lihat saja film yang barusan booming di Indonesia, Habibi & Ainun, meski film tersebut lebih menonjolkan sisi romantisme bapak Habibi, namun di dalamnya termuat nilai-nilai perjuangan beliau dan itu mendapat respon yang luar biasa dari Masyarakat, itu artinya Masyarakat kita lebih suka film yang tidak hanya hiburan semata namun ada nilai-nilai yang bisa diambil,” pungkas Istri dari Anindra Ardiansyah Bakrie itu.
Tokoh lain yang diwawancarai Reporter Suara Akademika adalah Budayawan Jawa Timur Ki Damar Sawilah, ia mengatakan jika Film Indonesia telah mendapat apresiasi tinggi dari Masyarakat. Banyak sekali film-film yang mampu memberikan pencerahan. sehingga atensi yang diberikan bukan karena tuntutan pasar, melainkan karena film tersebut mampu memberikan teladan bagi mereka. Menurutnya, film Indonesia kini mulai kembali mengangkat tema Budaya, Religi, dan Ketokohan yang mampu memberikan Pendidikan yang baik.
Seperti Sang Pencerah, Habibi dan Ainun, Laskar Pelangi, dan lain-lain. Film-film itu mengangkat tema ketokohan. Menurut Wartawan senior Newsjava itu, film mampu menginpirasi banyak orang.
“film membuatdayapikiratauimajinasisipenontonakanberkembangdankemudianberinovatif. Kita tau media elektroniksangatbesarpengaruhnyaterhadappendidikanapapun, untukitu, kedepan film-film tersebutdapatmembantumemberipesan-pesanpositif yang terkemasdalamsebuahcerita,” ujarnya.
Lanjutnya, film-film yang mengangkat tema Budaya dan Ketokohan itu harusnya mendapatkan porsi yang lebih banyak agar Masyarakat ini mendapatkan inspirasi positif dan lebih mengenal Budaya sendiri.
“Beberapa film ada yang sudahmerepresentasikankearahitu, tapisedikitsekali. Di era 80 an adaSwaraMahardika, dan diera 2000 adaLaskarPelangi, Sang Pencerah, jugaada film-film yang mengangkatsuatubudayatradisitapimasihdisusupidenganadegan-adegan yang sedikitseronok, halitulahygkitasayangkan,” keluhnya.
“Seperti di era 80 ada film di media Elektronik (TV) sejenissinetron film ACI (AkuCinta Indonesia), dan Film WaliSongoygsifatnyareligidanbudaya, halitubaikuntukkonsumsigenerasibangsasupayatidaklupapadabudayadancinta Indonesia,” lanjutnya.
Ia juga menjelaskan, sebenarnya Indonesia telah memiliki undang-undang yang mengatur tentang perfilman Nasional. Itu termaktub dalam Undang-Undang (UU) no.33 th 2009 tentangperfilman. Pada bab III kegiatan perfilman dan usaha perfilman Bagian Umum Pasal 5 UU.No.33 th 2009 Perfilman yang berbunyi: Kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.
“Harusnya itu menjadi acuan para Production House untuk membuat film yang bermutu dan Pemerintah harusnya konsisten dengan Undang-undang tersebut, jika ada film yang melanggar, pihak LSF (Lembaga sensor film) berhak memotong bahkan melarang film itu beredar,” tegasnya.
Budayawan yang tinggal di Kota Surabaya tersebut berpesan agar perfilmanIndonesiamembawamisibudayaPendidikankeduniaInternasional,tanpaPornografi, tanpaKepentinganPolitik, LebihbermoraldanEtikasesuai UU yang berlaku.Semua demi proses pembelajaranlebihbaikdanbisaditerimasemuakalangan.
“Karena Film tidak hanya dilihat oleh Mata, tapi juga di apresiasi dengan Hati,” pungkasnya.
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini