Kala Mas Boy bicara soal Novel



Kehadiran Mas Boy malam itu di acara Workshop kepenulisan PC IMM Malang menjadi sangat berbeda. Biasanya, Mas Boy berbicara soal Hukum Islam, plus seperangkat teori-teori ilmiah dari para pemikir dunia. Malam itu, Mas Boy banyak menceritakan pengalaman menulisnya, sekaligus bercerita perihal dua buah novel yang ia tulis. Sang penakluk ombak dan kembaran [atau kumbara] kalau saya tak salah dengar.

Sangat jarang sekali intelektual yang menulis Novel, karena Novel selalu diasosiasikan dengan sesuatu yang fiktif. Namun ada beberapa intelektual yang juga menulis novel. Contohnya adalah Kuntowijoyo dan Buya Hamka. Agaknya, Mas Boy ingin menggenapi aktivitas menulisnya dengan karya sastra yang lebih cair untuk dibaca, yaitu dengan menulis novel.

Akhir-akhir ini, novel memang begitu menjamur. Tetapi Novel yang ditulis Mas Boy tentu bukan sekedar novel hiburan. Melainkan novel yang syarat dengan kritik sosial, kaya persepsi dan edukasi. Novel tersebut bisa menjadi bentuk aktualisasi dari pemikiran Mas Boy, hanya saja dikemas lebih populis dan naratif.

Saya sendiri mengangumi beberapa novel ‘berat’ karangan Pramoedya Ananta Toer. Selain itu, sejak SMA, saya sudah membaca beberapa novel bermuatan gender karya NH. Dini, dan beberapa novel yang penuh kritik sosial-budaya milik Buya Hamka. Meskipun saya kurang begitu paham, karena membacanya pun atas dasar tuntutan akademik, kebetulan waktu SMA dulu saya mengambil kelas bahasa.

Sekarang, saya mengandrungi novel-novel Dewi (Dee) Lestari. Terutama serial supernova-nya, yang menurut saya adalah satu dari sekian banyak novel yang mengandung banyak kritik sosial, mulai dari percintaan, perselingkuhan, hingga kritik terhadap budaya. Kelebihan Dee Lestari terlatak pada pemilahan diksi.

Tentu saya sangat senang ketika Mas Boy [Pradana Boy ZTF] memiliki konsen yang cukup serius terhadap novel. Bagi saya yang juga penikmat novel, tentu akan selalu menanti novel-novel “berat” seperti itu. Karena selain menghibur, juga menyuguhkan sajian kritis dan informatif. Akhirnya, membaca novel tidak selalu dimaknai sebagai hiburan sesaat, namun juga alternatif bacaan ringan nan mencerahkan.

Tentu sangat komplit sekali jika ada seorang akademisi, intelektual yang juga seorang novelis. Tulisan ilmiah cenderung berat, deskriptif dan eksplanatif. Sementara novel, lebih naratif, apalagi dengan bahasa tutur yang mengalir.

Mas Boy sudah sering disebut sebagai dosen, akademisi, dan intelektual. Tapi tak berlebihan, jika mulai saat ini, saya juga akan memanggil beliau dengan sebutan – Novelis.

Batu, 15 November 2014
A Fahrizal Aziz

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini