Jatuh cinta pada menulis



Waktu kecil, saya pernah bercita-cita menjadi musisi, tepatnya penyanyi. Bahkan pernah mimpi di siang bolong duet satu panggung dengan Sherina. Kala itu, Sherina lagi boomingkarena film Petualangan Sherina. Alasan lain saya ingin menjadi penyanyi, karena seringnya membeli kaset bajakan, dan sedikit terprovokasi dengan tayangan infotaintment. Sepertinya, menjadi penyanyi itu enak. Kerjanya nyanyi, uangnya banyak, dan tak terlalu mikir. Beda dengan guru yang harus macakrapi, berangkat pagi, dan pusing mengajar anak-anak bandel seperti kami. Gajinya pun tak seberapa.

Saya pernah nonton televisi. Waktu itu Dewa19 sekali manggung honornya mencapai 50 juta. Bayangkan jika dalam satu bulan, taruhlah empat kali manggung. Sudah mendapatkan 200 juta. Di bagi sana-sini, ambillah angka per personil mendapatkan honor 10 juta/bulan. Uang 10 juta di tahun 98-an sudah sangat buanyak. Seingat saya, gaji guru masih belum menyentuh satu juta/bulan. Jauh sekali perbedaannya. Honor itu belum termasuk penjualan kaset, yang konon pernah menembus angka diatas satu juta keping. Belum lagi iklan-iklan yang mereka bintangi.

Kalau menjadi musisi pasti enak hidupnya, pikir saya. Meskipun kadang mimpi itu hanya sekedar ilusi, atau hiburan sesaat. Sangat susah kami realisasikan. Boro-boro mau jadi musisi, gitar saja tak punya, kaset saja masih beli bajakan, itu pun harus nabung dulu. Jarang nonton konser mewah. Paling-paling hanya menonton orkes dangdut koplo yang sering nongol di lapangan terbuka. Dan kalau nonton orkes, bukan lagunya yang terpenting, tapi goyangan hot penyanyinya.

Akhirnya saya mengubur niat untuk menjadi penyanyi. Meskipun pernah ikut beberapa kontes menyanyi agustusan, dan tak sekalipun menang. Pernah menjadi juara harapan I, itupun untuk lomba adzan tingkat kecamatan. Juga juara ketiga, tapi untuk lomba tartil baca Alquran. Saya ingat-ingat lagi zaman dulu, kenapa saya tak pernah menang lomba nyanyi? Karena permintaan panitia harus lagu dangdut. Dan saya tak bisa nyanyi dandgut. Akhirnya, waktu lomba, saya nyanyi lagu dangdut tapi dengan gaya pop. Juri mungkin jadi bingung.

Setelah masuk jenjang MTs. Saya fokus belajar. Tak mengikuti kegiatan apa-apa selain les tambahan. Itupun menjelang Ujian Nasional. Waktu saya banyak buat jalan-jalan, main playstation, dan nonton konser alias orkes. Bukan orkes dandut, tetapi semacam festival band. Ternyata genre-nya punk, undeground, dan rege. Para penontonnya selalu heboh, kadang pogo-pogoan. Wah, kalau seperti ini bukan “soul” saya.

Dan kabar gembira muncul. Peterpan akan konser di Stadion Gelora Supriyadi Kota Blitar. Saya dan beberapa teman Mts pun membeli tiket. Seingat saya, harganya 15rb. Kita mendapatkan satu bungkus rokok. Tapi saya lupa merk-nya. Konser akan dimulai pukul 19.00, tetapi jam 16.00 kami sudah disana. Ternyata, di stadion sudah banyak cewek-cewek superlebay yang berteriak melihat Indra,Uki, dkk latihan. Hanya saja Ariel tidak ada.

Lama menunggu, ada info kalau Ariel jatuh pingsan dan dirujuk ke rumah sakit di Surabaya. Wah. Batal konser. Saya kecewa berat. Karena itulah untuk pertama kali saya nonton konser yang agak elite. Membelinya pun dengan uang tabungan ayam plastik. Wah.

Menginjak MAN, saya ikut organisasi untuk pertama kalinya. Kali ini saya ikut Ekskul Jurnalistik, atau yang disebut Jurmantar. Keren. Bathin saya waktu ikut diklatnya. Pemateri pertama, namanya Pak Yopi Yafrin. Sosok unik yang menggunakan sepatu pantofel tanpa kaos kaki, dan kalau berjalan kelihatan mau copot. Jurmantar inilah yang menjadi titik awal saya mengenal dunia tulis menulis. Saya masuk menjadi reporter majalah, merangkap sebagai anggota broadcast. Saya mendapatkan tugas wawancara dan menulis artikel.

Saya masih menyimpan karya tulis pertama saya, dan hasilnya masyaallah. Amburadul. Njelimet. Dan sejenisnya. Saya belajar biar bisa nulis bagus. Tapi tetep saja susah. Akhirnya pihak sekolah mengirim saya untuk mengikuti Diklat Jurnalistik di Dinas Pendidikan Daerah. Pematerinya wartawan Jawa Pos. Biaya Gratis di tanggung sekolah. Alhamdulilah bisa hemat. Saya bisa beli kaset bajakan lagi. hehe.

Satu tahun pertama saya gabung di Jurmantar, memang fokus saya adalah belajar menulis berita dan teknik wawancara. Belajar merancang pertanyaan, atau menciptakan pertanyaan dadakan jika narasumber mengeluarkan statement yang agak ambigu. Akhirnya saya terlatih bertanya. Di satu sisi, saya juga belajar cuap-cuapdi radio sekolah. Sampai kemudian, saya menjadi penyiar radio beneran, dan memiliki fansbase yang lumayan ... kecil.

Di sela-sela belajar menulis itulah, saya jadi punya cita-cita baru. Menjadi penyiar, host, atau moderator. Cita-cita itu sedikit terwujud setelah pihak sekolah memilih saya sebagai MC Acara Milad dan Perpisahan. Ini sungguh mengejutkan bagi saya. Akhirnya, selama dua hari, Jum’at dan Sabtu. Saya bersama teman Jurnalis cewek yang memang cerewet, memandu acara Milad. Jum’atnya jalan sehat, sekaligus pembagian doorprize. Hari sabtunya pentas seni dan prosesi wisuda.

Waktu pentas seni itu pula, saya menyumbang satu lagu, duet dengan anak teater bernama Aulia. Kami menyanyikan lagu Opick berjudul “Sedekah”. Lega rasanya bisa menjadi MC, nyanyi di panggung, dan melihat majalah dibagikan ke penonton pensi, dan di majalah itu ada buanyak tulisan saya. Komplit sudah!

Mungkin karena saking aktifnya itu, saya terpilih sebagai ketua Jurnalistik setelah melalui voting yang ketat. Saat menjadi ketua Jurnalistik itulah, saya di telp Pak Yopi Yafrin untuk ikut mendirikan FLP Blitar. Tentu saya senang sekali. Saya tertarik dengan FLP karena ada novel fenomenal berjudul Ayat-ayat cinta, yang tokoh utamanya adalah saya. Eh, maksudnya nama tokoh utamanya sama dengan nama panggilan saya : Fahri. Dan di novel itu, ada logo FLP.

Di FLP pun saya juga sangat bersemangat nulis. Meski tulisan saya jeleknya minta ampun. Barangkali saking pede-nya. Saya nulis (tangan) novel di buku isi 64 lembar sebanyak dua jilid. Novel itu rampung dalam satu bulan. Bahkan, karena saking semangatnya, saya lupa ngasih judul. Di FLP Blitar, saya mulai melakukan interaksi intensif dengan karya-karya fiksi, terutama cerpen dan novel. Belajar bikin kerangka cerpen, bikin karakter tokoh, bikin plot dll. Dibimbing oleh sang suhu bernama Gesang Sari Mawarni, yang juga ketua pertama FLP Blitar.

Meskipun konsen belajar menulis, kebiasaan lama saya mendengarkan lagu dan siaran juga masih jalan. Meskipun cita-cita menjadi penyanyi atau host itu semakin menipis karena sudah mengenal dunia tulis menulis. Saya jadi tertarik untuk menjadi novelis. Menulis banyak cerpen dan cita-cita besar lainnya menjadi wartawan. Kenapa?

Pertimbangannya bukan lagi soal finansial. Tapi kenikmatan. Menurut saya menjadi wartawan itu nikmat sekali. Bertemu orang, wawancara, analisis wacana, dan tahu banyak hal. Yang enak juga, jadi wartawan itu diajari kepo, suka bertanya, dan tak gampang puas. Apa yang difikirkan wartawan itu seolah-olah tak difikirkan banyak orang. Meskipun praktek riilnya susah juga. Saya pernah 2 bulan magang di Radar Malang dan ternyata terjun ke lapangan ‘beneran’ itu susah benar. Tapi saya menikmati menjadi wartawan majalah suara akademika, apalagi kalau dapat tugas wawancara tokoh atau pejabat. Selain menjalankan tugas, silaturahim, saya juga bisa sekaligus belajar dari kehidupan tokoh tersebut. Benar-benar menyenangkan.

Begitu pun dengan menulis cerpen, novel, atau sekedar esai sederhana. Pengalaman menulis novel, saya harus membaca banyak buku. Semacam ada proses intertekstual. Novel tidak selalu berbasis refleksi, pengalaman pribadi yang bersifat naratif. Kadang kita harus riset juga. Belajar budaya, sosiologi masyarakat, trend yang tengah berkembang dll. Belum lagi kalau novel sosial-saintis, rujukannya bisa banyak buku. Itu yang membuat segalanya menjadi nikmat.

Saja jadi jatuh cinta menulis. Dan untuk saat ini, angan-angan menjadi penulis atau wartawan itu nampak lebih realistis, dibandingkan menjadi penyanyi atau host. Apalagi di era digital seperti ini. Bukan lagi menjadi wartawan, tapi mendirikan media sendiri pun dirasa sangat realistis, sekalipun hanya media online. Tapi entah kenapa, saya takut dan agak ngeri menyebut diri “Penulis”. Entahlah. Saya juga tak tahu. Saya ingin perjalanan menulis ini mengalir begitu saja. Saya ingin menulis, tak apa-apa tak disebut “penulis”. Asalkan ada karya tulis yang saya buat dan bisa dibaca.

Tapi di sela-sela aktivitas itu saya kadang masih menjadi Host, atau menjadi moderator di beberapa acara. Meskipun sekarang intensitasnya sudah mulai berkurang. Apalagi menjadi host. Sekarang saya tak lagi cerewet. Dan hobi lain saya mendengarkan lagu, berkembang menjadi re-covering dan menciptakan lagu sendiri. Saya sudah menciptakan lebih dari sepuluh lagu. Tapi baru empat lagu yang lengkap dengan musik instrumet gitar dan bisa didengarkan. Dua lagu sudah saya rekam dan upload di soundcould berjudul “Tapi ini tapi itu” dan “Lagu Hujan”.

Banyak lagu yang sudah saya cover. Seperti dua lagu Tulus (Sepatu dan Teman Hidup), lagu The Beatles berjudul Yesterday. Lagu Simple Plan berjudul “Perfect. Lagu Afgan-Terima kasih cinta. Iwan Fals – Yang terlupakan. Geisha-Lumpuhkanlah Ingatanku. Ayusita – Tuhan beri aku cinta, dll. Semuanya bisa didengarkan dan di download di gudanglagubaru.com

Re-coveringdan menciptakan lagu tersebut sebenarnya hanya iseng, sekaligus nostalgia dengan angan-angan kecil saya untuk bisa menyanyikan lagu. Ilmu menulis yang saya miliki sangat membantu terutama dalam membuat lirik. Meskipun untuk instrumentnya harus butuh bantuan. Untungnya Adik kandung saya, yang masih kelas X SMK, pintar main gitar. Meskipun aliran musiknya punk dan rege.

Tapi saya jadi punya ide baru. Andaikan suatu ketika bisa bikin Soundtrack untuk novel sendiri. Tentu itu sangat keren. Apalagi, sekarang ada novel yang punya booktrailer. Tentu, akan sangat menarik jika kita membuat novel, tapi ada satu segmen dimana pembaca bisa sekaligus mendengar lagu yang mengiringi bagian demi bagian dalam novel tersebut. Jika Dee punya rectroverso yang merupakan karya hibidra, mungkin suatu saat saya bisa membuat hal yang sama. Meskipun tak sama-sama persis. Amin deh. :D

Tapi over all. Saya benar-benar jatuh cinta pada menulis. Karena selain alasan yang saya uraikan diatas, menulis memang merangkum banyak hal dalam hidup ini. Menulis melibatkan logika dan rasa, membuka wacana dan mempertajam analisis, menulis seolah membuka space lain dalam pikiran kita, mengartikulasikan imajinasi dan membungkus sebuah gagasan menjadi lebih sistematis dan cair.

Senang bisa berbagi tulisan ini. oya, bagi yang mau mendengarkan lagu saya, silahkan download di link ini http://www.gudanglagubaru.com/music/download/fahrizal-aziz-mp3/

Terima kasih sudah membaca :D

Blitar, 27 Desember 2014
A Fahrizal Aziz

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini