Groovi setelah penjurian |
Hari Ahad (25/01/15) saya dan dua teman dari FLP Blitar : Mbak Lilik dan Mas Saif, diundang untuk menjadi juri Lomba Menulis Cerpen piala Walikota tingkat SMA/MA dan SMP/MTs se Kota Blitar. Ini untuk pertama kalinya, saya menjadi juri di Kota sendiri [Blitar]. Sebelumnya, saya pernah menjadi juri di lomba esai, cerpen dan puisi di Kota Malang. Ini adalah kali kelima saya menjadi juri untuk sebuah event. Dan perasaan saya seperti biasa : getir. kenapa?
Sebuah karya, secara substansial seharusnya tidak bisa dilombakan. Apalagi sejenis puisi. Semua karya memiliki potensi dan pesan masing-masing. Penilaian, mungkin hanya sebatas diksi, alur, setting dan penokohan. Perihal mana yang lebih baik, itu menjadi sangat relatif. Pemenang yang kita pilih mungkin ‘terbaik’ untuk ukuran lomba di saat itu. Namun bisa jadi berbeda di event yang lain, dengan juri yang lain pula.
Saya membaca habis beberapa cerpen yang ditulis oleh pelajar SMP dan SMA tersebut. Dan secara umum, untuk ukuran pelajar, kualitas mereka sudah lumayan. Apa cerminnya? Tentu saya sendiri sebagai juri. Karena bagaimana pun, sebagai juri saya harus memilih 3 yang terbaik. Hanya 3, dari sekian banyak yang mendaftar dan mengikuti lomba. Tentu pada akhirnya, juri lah yang akan membuat tiga pemenang tersebut bergembira dan membuat lebih banyak lainnya kecewa, karena usaha mereka tidak membuahkan hasil yang diharapkan.
Beginilah beban psikologis sebagai juri, bukan? Sama halnya ketika saya sempat menjadi editor sebuah majalah, dan kala itu harus memilih dua opini yang dirasa ’layak’ muat, sementara ada puluhan opini yang masuk dan akhirnya harus di-delete. Sedih memang. Tapi rubrik memang punya kuota, dan dalam sebuah lomba, panitia pun hanya menyediakan tiga trofi piala. Dan sekali lagi, inilah yang dinamakan kompetisi.
Menjadi juri dalam acara itu, membuat saya terfikir untuk membuka forum kepenulisan lagi, yang terwadahi dalam FLP (Forum Lingkar Pena). Tempat yang semula juga menempa saya sampai sejauh ini. Di Kota kecil seperti Blitar, mungkin forum kepenulisan menjadi hal yang langka dan dinanti-nanti.
Seperti halnya slogan FLP : Berbakti, Berkarya, dan Berarti. Mungkin inilah saatnya saya berbakti kepada kota sendiri. Kota tempat menimba ilmu, dari kecil hingga SMA. Meski sempat hijrah ke Kota sebelah, dan ini adalah saat dimana saya menguji keberhasilan saya menimba ilmu selama ini. Semoga ada kesempatan untuk berbagi.
A Fahrizal Aziz, 25 Januari 2015
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini