Ilustrasi. sumber subagusindra.wordpress.com |
Ada dua bangunan besar yang berada di selatan makan Bung Karno : Perpustakaan dan Museum. Hanya saja, dua bangunan ini jauh lebih sepi di bandingkan makam. Terutama Perpustakaan yang selalu nampak lengang. Mungkin, para peziarah tidak cukup waktu untuk membaca koleksi buku, majalah, atau koran yang jumlahnya puluhan ribu tersebut. Tapi yang menarik, dua bangunan ini berada dalam satu kompleks pemakaman. Kenapa?
Tentu tidak terlepas dari sosok Soekarno sebagai teladan sejarah. Seseorang yang rajin membaca dan menghimbau seluruh rakyatnya agar tak melupakan sejarah (Jas Merah). Sekalipun, pro-kontra sempat terjadi tatkala Presiden Soeharto memutuskan untuk memakamkan sosok kharismatik ini ke sebuah kota kecil yang tersuruk dan tak memiliki akses transportasi yang baik. Hanya saja, sosok Soekarno tetap bersemayam dalam hati setiap anak bangsanya.
Selain soal pemakaman, kelahiran Soekarno pun juga sempat memicu perdebatan. Ada yang mengatakan Soekarno lahir di Blitar, karena memiliki rumah dan kedua orang tuanya dimakamkan di Blitar. Ada yang berpendapat bahwa Soekarno lahir di Tulung Agung, Kabupaten yang letaknya sebelah barat Kota Blitar. Meskipun statement paling kuat kemudian menjelaskan bahwa Soekarno lahir di Surabaya. Ada jejak arsitektural juga disana. Namun sebutan Bumi Bung Karno justru makin melekat kepada Kota Blitar yang ‘beruntung’ karena Presiden RI Pertama itu dimakamkan disini.
Membaca Soekarno
Figur Soekarno yang begitu populer dan juga revolusioner, memang membuat banyak orang berduyun-duyun menyambangi makamnya. Seokarno diyakini bukan orang biasa, untuk itulah, figuritas Soekarno tersebut langsung menyatu dalam tradisi jawa yang serba asketis. Padahal, keberadaan dua bangun besar tersebut (Perpustakaan dan Museum) bisa menjadi tafsir lain dari sosok Soekarno yang selama ini lebih direpresentasikan sebagai ‘petilasan spiritual’.
Soekarno muda adalah tipikal yang rajin membaca dan menuntut ilmu. Ia berguru secara khusus dengan H.O.S Cokroaminoto, dan bahkan, Soekarno banyak melahap buku-buku yang melampaui usianya. Konon, setiap ba’da isya, dibawah remang cahaya ublek(temaram) Soekarno membaca buku-buku pemikiran dan pergerakan. Soekarno pun, termasuk satu diantara jutaan anak muda kala itu yang bersemangat untuk melanjutkan pendidikan, sekalipun nasibnya terseok-seok karena kolonilisme yang tak mengijinkan anak pribumi menjadi cerdas.
Soekarno pun sosok yang mencintai sejarah. Tak jarang dalam setiap pidatonya, Soekarno membawa nama-nama wayang. Ia juga memahami banyak sejarah dunia, termasuk ketika berkunjung ke Rusia dan mendapati jejak-jejak Islam disana. Ia bahkan meminta Presiden Rusia kala itu, untuk memugar sebuah makam tokoh Islam terkemuka yang ternyata adalah Imam Bukhari, ahli Hadits yang begitu masyur. Bahkan sangking kuatnya pengaruh Soekarno, sampai ada Masjid biru bernama Ir. Soekarno di Petersburg Rusia. Konon, Masjid itu adalah jejak kekuasaan Islam dimasa lampau yang kemudian dialih fungsikan menjadi gudang. Mengetahui hal itu kemudian Soekarno melakukan komunikasi dengan Presiden Rusia dan menyuruh mengembalikan fungsi Masjid itu sebagai tempat ibadah.
Soekarno sendiri juga terkenal dengan slogannya, Jas Merah (Jangan sekali-kali melupakan Sejarah).
Kehadiran Perpustakaan dan Museum tersebut seharusnya menjadi pengingat kita semua tentang sosok Soekarno yang lain. Seorang yang tidak hanya dikenal sebagai mistikus, tetapi juga seorang intelektual sekaligus budayawan. Yang rajin membaca (bahkan juga menulis buku), yang mencintai sejarah, yang gandrung terhadap seni dan seorang arsitektur ulung yang telah mendesain bangunan-bangunan bersejarah.
Kita tentu bangga karena di Kota Blitar terbangun makam bung karno, namun kebanggaan tersebut tentu bukan sekedar kebanggaan simbolik, melainkan harus secara dekat meneladani sosoknya. Soekarno yang rajin membaca dan Soekarno yang mencintai sejarah. Wallohu’alam.
18 Februari 2015
A Fahrizal Aziz
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini