ilustrasi |
Waktu masih sekolah dulu, saya sering terlibat diskusi tentang bagaimana menjadi lelaki idaman para perempuan. Ada yang mengatakan, kalau perempuan itu tertarik dengan lelaki yang naik motor ninja. Ada juga yang mengatakan, kalau perempuan itu tertarik dengan lelaki yang menggunakan parfum tertentu. Lelaki yang menarik hati perempuan itu adalah yang fashionable, cool, suka sepak bola dan basket, lucu, pintar berkata-kata dan lainnya. Dengan semua itu, saya tak selalu tertarik.
Kendati demikian, banyak (bukan bermaksud sombong) perempuan yang mendekat. Padahal saya tak naik motor ninja, tak juga fashionable, tak bisa sepak bola apalagi basket. Lucu? Mungkin saja. Pintar berkata-kata. Mungkin saja. Tapi perempuan yang dekat dengan saya bukan perempuan yang biasa-biasa juga, maksudnya, andaikan ada perempuan yang secara terbuka menyatakan ketertarikannya, rata-rata dia tak tertarik secara fisik. Untuk itulah, saya tak pernah terlalu peduli, sekalipun sering disebut “bukan lelaki idaman perempuan”.
Memang pada dasarnya, saya tak selalu tertarik dengan fashion. Meskipun tak memungkiri, senang juga melihat orang yang fashionable. Untuk urusan motor pun, saya efisien saja. Selama bisa digunakan untuk berkendara, apapaun merk-nya, ya saya gunakan. Entah itu disukai cewek-cewek atau tidak. Saya tak pernah peduli. Bahkan yang terakhir ini, motor saya adalah honda matic. Katanya, perempuan suka lelaki yang naik motor satria, vixion, atau ninja.
Tapi entah kenapa, saya tak pernah merasa takut sedikitpun untuk kehilangan pamor didepan perempuan. Misalkan, karena si A pakai motor vixion, maka saya pasti kalah pamor karena saya tak menggunakan vixion. Logikanya, jika P maka Q. Jika Q maka P. Sedikitpun saya tak tertarik. Q adalah lelaki yang naik vixion, dan P adalah perempuan yang tertarik. Jika naik vixion, maka perempuan tertarik. Jika perempuan tertarik, maka harus naik vixion. Rumus logika matematika.
Saya hanya berfikir, betapa susah sekali orang yang punya pemikiran seperti itu. Sekalipun dibenarkan oleh logika. Misalkan lagi, lelaki yang pandai bermain basket, maka ia akan mendapatkan nilai lebih dihadapan perempuan. Lalu bagaimana yang tak bisa main basket? Misalkan pula, lelaki yang fashionable sangat disukai banyak cewek. Akhirnya memaksakan diri untuk ikut trend. Dan hidupnya, saya tergantung dengan cara pandang perempuan dalam perspektif logika matematis yang cenderung materialistik.
Maka saya pun mengajukan pertanyaan sederhana. Siapa cewek yang suka lelaki tipe seperti itu dan apakah semua cewek berfikiran seperti itu? akhirnya kita pun sadar jika hidup, apalagi sifat perempuan, tak sesederhana logika matematika. Ada faktor X dan itu undifinitif. Saya menyakini yang undifinitif tersebut. Untuk itu, istilah “Bukan lelaki idaman” pun saya yakin hanya singgah dipikiran segelintir orang yang kebetulan punya firm yang sama. Kita, tentu bisa memilih ikut firm tersebut atau membuat firm sendiri. Saya memilih membuat firm sendiri.
Memang, lelaki yang naik motor ninja atau vixion, secara kasat mata terlihat cool. Itu dikarenakan, motor tersebut didesain agar terlihat macho. Coba anda bayangkan, lelaki macho yang biasanya naik motor ninja atau vixion, lalu turun tahta dengan naik motor bebek honda astrea. Alangkah lucunya. Itu menunjukkan, ketertarikan perempuan terhadap lelaki yang naik motor vixion adalah ketertarikan yang tak utuh. Lelaki tersebut, terlihat menarik, karena terbantu oleh desain motornya. Saya tak membayangkan, betapa tergantungnya ia dengan motor tersebut. Hehe
Maka saya pun tak mau kehilangan wibawa, sekalipun tak naik motor vixion, tak terlalu ikut fashion dan sejenisnya. Caranya adalah dengan cuek saja. Tak sedikitpun tertarik untuk begitu itu dan tak berharap juga didekati perempuan yang punya pikiran demikian. Akhirnya, untuk apa kita harus khawatir?
Saya yakin, dibalik sana ada minimal satu perempuan yang melihat kita secara otentik. Bukan karena motor yang kita naiki, baju yang kita pakai, atau segala atribut yang melekat. Dan kita adalah lelaki idaman, dalam makna yang sebenarnya.
11 Juni 2014
A Fahrizal Aziz
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini