Ijinkan aku mencium keningmu (3)



Yogyakarta, januari 2012
Liburan semester tlah tiba kembali, kali ini aku tak punya banyak acara untuk menghabiskannya, sempat terbersit keinginan untuk pergi ke malang, menapaktilasi kenangan masa lalu, dan mencari kabar dirimu, apa kabarnya sekarang? Sudahkah kau menikah? Sudahkah kau menimang anak? Bahagia sekali jika bisa melihatmu bersama keluarga yang tlah kau bangun dengan cinta kasih.

Tapi, masihkah kau mengingatku? Kita telah lepas komunikasi. Nomor ponselmu sudah tak aktif sejak tiga tahun yang lalu, akun facebook dan twittermu juga kau tutup, praktis tak ada celah untuk aku menghubungimu. Kenapa gerangan? Apa kau sengaja melakukan ini? Agar kehidupan barumu tak terjamah sedikitpun olehku? Ah, bukankah kau belum tahu apa yang hendak aku utarakan dulu.

Akhirnya aku memutuskan untuk berlibur ke Malang, sudah tiga tahun aku tidak berkunjung ke kota dingin itu, rasanya rindu, tapi rindu dengan apa? Dengan siapa? Keheningan tak mampu menjawabnya, tapi mungkin saja setibanya disana ada jawaban yang bisa kudapat.

Malang, Februari 2012
Tiga tahun meninggalkan kota Malang, banyak hal yang berubah, suasana sudah terasa lebih panas, tidak seperti awalku menjejakkan kaki disini, pertengahan tahun 2006, saat itu suasana masih cukup dingin dan udara begitu mendukung, tak terasa enam tahun tlah berlalu.

Jalanan sudah kian macet, angkot yang kutampangi dari stasiun menuju rumah nenek biasanya hanya mnempuh waktu kurang dari seperempat jam, kini sudah hampir satu jam, begitu pesatnya penumpukan penduduk di kota ini, mungkin saja yang memenuhi kota ini adalah para Mahasiswa.

Akhirnya aku sampai di rumah Nenek, dengan sigap perempuan berusia tuju puluh tahun itu menyambutku, Nenek masih terlihat cukup sehat.

“Nenek kira kamu sudah lupa dengan Malang.”

“Ah, ya nggak lah Nek, saya kan SMA disini, tiga tahun bukan hal yang mudah untuk dilupakan.”

“Iya ayo masuk.”

Aku masuk ke rumah Nenek, sudah banyak yang berubah, direnovasi, mungkin Papa yang merenovasi ini, aku hafal betul sentuhan aristektur khas Papa, klasik dan sedikit jadul.

“Oh ya, nenek lupa, sudah lama ini disini,” kata Nenek sambil menyerahkan kotak kardus yang sudah berdebu.

“Apa ini Nek?”

“Dua hari setelah kamu berangkat ke Jogja, Rasya datang kesini dan memberikan bingkisan ini, katanya kado ulang tahun untukmu, kamu lupa dengan ulang tahunmu sendiri ya?” jelas Nenek.

Rasya? Tiba-tiba dadaku berdesir, seolah terhujam oleh masa lalu, ternyata Rasya masih mengingatku, setidaknya dua hari setelah aku ke jogja, diapun juga masih ingat ulang tahunku, padahal aku sendiri tak pernah menghafalnya.

“Nenek takut membukanya, itu kan milik kamu, Nenek ingin menghubungi kami saat itu, tapi lebih baik Nenek berikan itu saat kamu ke Malang,” ucap Nenek.

“Terima kasih, Nek. Kira-kira dimana sekarang Raisya ya Nek? Apa dia sudah punya anak?”

Nenek tersenyum, berdiri dan menepuk pundakku.

“Mainlah ke rumahnya, rumahnya tetap yang dulu kok,”

Main ke rumahnya? Untuk apa? Bukankah sekarang dia sudah bersuami? Aku tidak ingin mengganggu kebahagiaan orang, lagipula Rasya juga tidak mencoba menghubungiku selama ini, itu berarti dia memang sudah sangat sibuk dengan dunia barunya menjadi seorang Istri.

Bingkisan ini sudah sejak tiga tahun lalu, rentan waktu selama itu, aku tidak yakin Raisya masih mengingatku dengan jelas, agak bimbang jika aku harus ke rumahnya, tapi langkah kaki ingin segera kesana, menemui perempuan mungil itu.
***
Pagi harinya, aku masih duduk diteras sambil menikmati udara pagi yang amsih sejuk, dingin menyelinap, ditemani segelas kopi dan beberapa kue buatan Nenek, begitu nikmatnya.

“Julio,” Nenek datang sambil membawa sebungkus roti buatannya,”Tolong berikan ini ke Rasya.”

“Ha?” aku terkesiap.

“Ayolah, ini perintah Nenek.”

Mengantarkan roti ke rumah Rasya? Sepertinya ini bukan ide yang bagus, apakah aku masih punya sisa-sisa kebernian untuk menemuinya?

“Ayolah cepat sana, mumpung masih pagi.”

Karena desakan itu akhirnya akupun berangkat, jarak rumah Nenek dengan rumah Rasya sebenarnya tidak begitu jauh, bisa ditempuh dengan jalan kaki, tapi aku malas jika harus berjalan kaki, akhirnya aku meminjam sepeda gunung Kakek.

Dengan ringan kukayuh sepeda itu, sudah lama sekali aku meninggalkan kota malang, berkeliling seperti ini membuatku seperti mengurai kembali masa lalu, dulu setiap hari minggu pagi aku selalu bersepeda bersama dengan Kakek dan teman-teman.

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini