Rumah Rasya sudah terlihat, modelnya masih sama, namun catnya agak berubah, lebih terang. Aku parkirkan sepeda dibawah pohon, entah kenapa nafasku begitu tersengal-sengal, butuh energi yang besar untuk melangkahkan kaki menuju rumah itu, sebuah rumah yang begitu terkenang.
Aku langkahkan kaki menuju halaman rumahnya, terlihat seorang perempuan sedang menyapu halaman, rambut dan wajahnya tertutupi oleh kerudung sederhana yang dibalutkan seperti selendang, perempuan itu nampak asing, mungkin dia pembantu baru di rumah ini.
Aku menghampiri perempuan itu, sambil menata nafas dan kata-kata, aku hendak menanyakan apa Rasya ada di rumah.
“Pagi, mau tanya apa Rasya ada di rumah?”
Perempuan itu tercekat, ia menghentikan menyapunya, aku masih berdiri menunggu dibelakangnya, namun ia tak juga membalikkan tubuhnya. Membuatku harus menunggu beberapa menit, baru kemudian dia bersuara.
“Ada perlu apa ya?” tanyanya, namun masih berdiri membelakangiku.
“Hanya ingin memberikan kue ini, dari Nenek ....”
Perempuan itu membalikkan tubuhnya, kini kami beradu mata, kulihat ada luka melingkar dipipi yang mencoba ditutupinya, dari gayanya berdiri perempuan ini seperti tak asing bagiku.
“Julio,” pekiknya.
Dan suaranya, aku kenal betul suara itu. dengan segera perempuan itu menundukkan kepala, sepertinya dia malu sesuatu terlihat olehku, ada bekas luka yang cukup parah di wajahnya.
“Kamu....”
“Bukan, jangan pernah berfikir jika aku adalah Rasya,” jawabnya.
Tidak salah lagi, perempuan dihadapanku ini adalah Rasya.
“Sya, apa yang terjadi denganmu? Kamu...”
“Sudahlah, Jul. Nggak usah kamu tanya kenapa aku, yang jelas aku buka lagi Rasya yang dulu, kini aku ....”
“Apa yang terjadi denganmu?”
“Aku kecelakaan, wajahku tersayat serpihan kaca dan rusak permanen, tidak ada cara lagi untuk mengembalikan wajahku dulu.”
“Lalu, suamimu?”
“Kecelakaan ini seminggu menjelang pernikahanku, dan karena kejadian ini, dia jijik lantas membatalkan pernikahan ini.”
Aku terdiam sejenak. Teringat kata-kata di status Rasya tiga tahun lalu. “Jikalau rumput tak menyadari keberadaan embun, haruskah embun berhenti meneduhkannya kala pagi?”
(*) A Fahrizal Aziz
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini