Jalan Pulang


Ilustration

Jalan pulang selalu nampak ringan, misalkan ketika kita lelah bekerja seharian dan tibalah saat pulang, moment itu sangat menggembirakan, kembali ke rumah dan disanalah kita akan melepas lelah, kembali ke sebuah tempat dimana kita berkumpul dengan orang-orang yang kita cintai. Atau saat kita kuliah diluar kota dan tibalah akhir pekan, kita punya waktu dua atau tiga hari untuk pulang kampung, perjalanan pulang itu juga begitu ringan dan menggembirakan. Lalu bagaimana dengan kematian? Kematian selalu dikonotasikan dengan sebutan “pulang ke rahmatullah”. Namun demikian, banyak yang merasa jika kematian adalah sesuatu yang berat dan mengerikan.

Setiap manusia pasti akan meninggalkan kehidupan ini, dan sebagai manusia yang yang memiliki kemampuan terbatas, kita tidak pernah tahu kapan ajal itu akan menjemput, hanya saja kita ditugaskan untuk menyiapkan perbekalan yang cukup, perbekalan untuk menuju kehidupan baru yang lebih egaliter, dimana tidak ada lagi kemunafikan, semua akan diungkap dengan terbuka.

Ada banyak sebab kenapa manusia takut akan kematian, saya pribadi juga merasakan hal yang serupa, ibarat orang yang bekerja jauh ke perantauan, kadang dia juga akan merasa bersalah jika pulang tanpa membawa sesuatu. Misalkan dia sudah bekerja bertahun-tahun di luar negeri, namun ketika pulang ia tidak membawa hasil, justru merepotkan keluarga, ini menjadi beban psikologis yang begitu kuat. Berbeda dengan orang yang berhasil mengumpulkan heri payah selama bekerja, ia akan bisa melenggang pulang dengan ringan.

Umumnya, orang takut ‘pulang pada Allah’ karena terlalu banyak dosa yang masih melekat di tubuhnya. Manusia yang kesehariannya minus berbuat baik, bahkan sering melakukan kemaksiatan, akan senantiasa takut dengan kematian, karena secara psikologis dia terbebani oleh kejahatan yang ia perbuat sendiri. Sementara disisi lain, saya sering menemui seseorang yang dalam hidupnya rajin ibadah, rajin menolong orang lain, rajin bekerja membahagiakan keluarga, dan rajin untuk mengajak umat manusia dalam kebaikan, secara psikologis ia akan lebih siap menghadapi kematian.

Dari dua contoh diatas, bisa disimpulkan. Contoh yang pertama mengalami ketakutan karena tidak memiliki bekal kebaikan yang cukup, sementara contoh yang kedua memiliki bekal yang cukup sehingga merasa lebih siap menghadapi waktu kapan ia harus pulang ke hadirat Allah. Dua sifat diatas tentu sangat manusiawi.

Misalkan, seorang mahasiswa yang sudah tingkat akhir, skripsinya belum juga selesai dan tiap bulan masih meminta uang kiriman dari orang tua, sementara teman-temannya yang lain sudah lulus, bekerja, dan berpenghasilan sendiri. Mahasiswa yang molor kuliahnya tersebut ketika pulang kampung tentu akan memiliki beban psikologis yang berat. Berbeda dengan yang sudah lulus, berkerja, dan berpenghasilan. Ia akan lebih siap untuk menghadapi berbagai pertanyaan yang mungkin akan diajukan oleh tetangga maupun sank kerabat tentang studi dan karirnya.

Menangkap pesan agung kehidupan

Manusia memang tidak pernah meminta untuk dilahirkan, kehidupan adalah pemberian Allah, begitu pula aturan-aturan kehidupan ini. Dalam kitab suci Alquran, manusia diciptakan adalah untuk beribadah pada Allah. Ibadah memiliki dua dimensi yang berbeda, yaitu ibadah mahdah dan ghairu mahdah. Orang yang rajin ibadah mahdah maka ia akan menjadi sholeh pribadinya, dan orang yang rajin ibadah ghairu mahdah maka ia akan sholeh secara sosial.

Sehingga ibadah memiliki bentuk yang bermacam-macam ; shalat, puasa, haji, sedekah, berbuat baik kepada orang lain, membantu yang kesusahan, dan banyak lainnya. Dalam Alquran pula, kriteria khairu ummat (ummat terbaik) itu hanya tiga : menyeru pada kebaikan, mencegah kemungkaran, dan bertaqwa pada Allah. Jadi sangat jelas, jika umat manusia sudah memiliki tugas yang riil dalam kehidupan ini.

Lantas jika ada pertanyaan untuk apa kita hidup? Jawabannya sudah sangat jelas, yaitu untuk beribadah, dan ibadah tidak hanya bersifat ritualistik seperti shalat dan puasa, tapi juga ada yang bersifat horisontal kepada sesama manusia. Dan ibadah itulah bekal yang akan kita bawa pulang untuk kembali kepada Allah. Itulah pesan agung kehidupan yang sebenarnya harus ditangkap umat manusia, agar selalu siap ketika kelak harus meniti jalan pulang.

Namun ternyata, tidak banyak yang mau menangkap pesan agung itu, bahkan masih banyak yang dengan sadar ‘enggan’ mengenal Allah dan memilih jalan hidup sesuai hawa nafsunya, padahal hawa nafsu itu adalah mahluk yang tak bermata, ia buta, dan Allah lah yang harusnya menjadi penuntun. Untuk itu, agar kita bahagia ketika meniti jalan pulang nanti, kita harus dengan segera menghalau sifat-sifat keburukan, meskipun tidak sempurna, tapi kehendak dan ikhtiar untuk lebih baik pasti akan ditolong oleh dzat segala maha.

Untuk itu, sudahkan kita siap untuk meniti jalan pulang yang sesungguhnya? Jalan pulang dimana kita tiada mungkin kembali? Jawabannya tentu ada dilubuk hati kita masing-masing. Semoga tulisan sederhana ini mampu menjadi petuah, terutama petua bagi saya sendiri agar senantiasa menyiapkan bekal untuk meniti jalan pulang nanti. wollohu’alam.

12 Desember 2013
A Fahrizal Aziz

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini