“Hidup tanpa musik, adalah penyesalan..” saya lupa itu kata-kata siapa, tapi sore ini kalimat itu serasa menemukan relevansinya. Selepas dari stasiun untuk memesan tiket, saya kembali nongkrong di cafe. Karena meja outdor sudah penuh semua, maka saya duduk di dalam. Display cafe yang representatif, dengan lampu kuning yang terbungkus hiasan sejenis kertas sampul, membuat kondisi begitu mendukung. Di pojok ruangan, terpajang salon tanggung yang mendesaukan lagu-lagu memorable.
Romantis. Tapi sore itu saya duduk sendirian, tujuan saya untuk wi-fian, memposting tulisan yang masih terkunci dalam file, dan sesekali mendownload lagu-lagu. Saya tak pernah punya agenda ‘asmara’ kalau di cafe. Maksimal, reunian dengan teman SMA, itu pun setahun sekali.
Tepat di belakang saya, dua sejoli bercengkrama dengan hebohnya, di meja samping agak ke bawah, dua orang laki-laki dan seorang perempuan nampak akrab, sepertinya mereka adalah sahabat karib. Di sofa khusus tepat depan saya, duduk empat anak muda, dua perempuan dan dua laki-laki, mungkin mereka punya jadwal ngedatebersama.
Salon tanggung di pojok ruangan itu, melengkingkan lagu Band Kotak ‘masih cinta’. Sebuah lagu yang langsung menyedot saya dalam memori lama. Volume suara yang di stell sedang, seolah membawa saya pada gelombang alfa. Suatu perasaan yang berbeda ketika saya memutar sendiri lagu itu dalam salon laptop atau salon besar yang biasanya buat acara kondangan. Saya benar-benar menikmati lagu itu. Serasa pas ditelinga.
Seolah mengajak saya menelusuri jejak usang yang bahkan saya sendiri tak mengingatnya. Memaksa otak saya untuk menjalin interpretasi dari nada dan lirik lagu. Tapi siapa sosok yang bisa saya jadikan rujukan untuk memaknai lagu itu? adakah? Saya semacam mengalami amnesia. Justru yang terputar di memori bukan interpretasi dari lirik lagu itu, tapi suasana saat saya dan teman-teman kelas iseng ke studio band dan kami memainkan lagu itu. Saya bertindak sebagai vokalisnya. Pantesan.
Dengan vokal yang standart, dan kerap kali ngos-ngosan di nada tinggi, membuat peristiwa itu kembali terkenang dalam benak saya. Di lain pihak, aransemen amburadul juga ditujukan oleh gitaris, pianis, dan drummer amatiran. Klop! Lagu ‘masih cinta’ yang harusnya kami hayati sebagai lagu sedih dan pengharapan, seolah menjadi lagu humor yang melodramatik. Fokus kami bukan pada lirik, bukan pula penghayatan lagu, tapi pada hal-hal teknis. Terlihat sekali musikalitas kami yang masih terbata-bata.
Saya senyum-senyum sendiri mengingatnya. Jujur. Andaikan operator cafe tak memutar lagu tersebut, memori itu barangkali akan mengendap begitu saja di kepala saya. Tak ada waktu untuk mengingatnya.
Sebuah lagu ternyata bisa menandai sebuah peristiwa dalam hidup kita, yang bahkan sudah lama kita abaikan. Apakah hal yang sama juga dirasakan oleh orang lain? entahlah. Tapi kegilaan saya terhadap lagu memang sudah sejak lama. Sejak masih era vcd bajakan, hingga era i-tunes.
Inikah yang dimanakan Melomania[1]? Sampai jumpa di catatan kedua, ya.
3 Desember 2014
A Fahrizal Aziz
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini