Pray |
Realitasnya hidup memang tidak selalu diisi oleh orang yang lapang, baik lapang secara finasial maupun moral. Keadaan hidup yang sempit ditambah alpha-nya eksistensi Tuhan di lubuk hati seseorang, membuatnya berjalan melintas jalur yang tidak ditentukan. Lantas benarkah mereka yang hidupnya pernah berkubang dalam dosa itu tak berhak untuk meminta kepada Tuhan? Jawabannya tentu tidak dimiliki manusia, melainkan hanya Tuhan sendiri yang tahu. Fenomena menarik terjadi pada seseorang, secara pribadi saya tidak mengenalnya, namun semua orang tahu jika dia termasuk perempuan tuna susila, dan hari itu, dengan busana tertutup, ia berjalan menuju tempat yang asing ; Masjid.
Sebagai perempuan tuna susila, tentu semua orang akan dengan mudah menilai kualitas moralnya. Tidak banyak (hampir tidak ada) yang percaya kalau masih ada setitik kebaikan dalam hatinya, apalagi dalam tafsir teologis kita, orang-orang pendosa hanya akan dinistakan, baik di dunia maupun di akhirat. Lalu apakah kiranya Tuhan sudi mendengarkan doa-doanya? Secara komunal banyak yang menjawab ‘tidak mungkin’ karena dosa ibarat titik hitam, semakin banyak titik hitam itu makan akan menghasilkan tabir yang membatasi antara dirinya dan Tuhan. Tapi, sebagai manusia yang tak benar-benar suci, saya berpendapat lain.
Manusia adalah mahluk yang rapuh, ia begitu ringkih jika harus secara pribadi melawan gejolak hidup yang tak sedikit menghadirkan kesedihan, luka dan tangisan. Ia membutuhkan kekuatan yang benar-benar mampu memberikan perlindungan yang utuh, tidak sekedar sebagai pelipur sesaat. Dan Tuhan adalah representasi itu semua, Tuhan memiliki kekuasaan yang tak terbendung oleh keadaan. Dan sebagai sang maha segalanya, tentu persepsi manusia terlalu picik untuk menafsirkan kehendak Tuhan.
Orang mungkin akan berpendapat “Tidak mungkin Tuhan mengampuni dosanya” tapi benarkah Tuhan akan bersikap demikian? Padahal dalam 99 namanya yang agung itu, Tuhan memposisikan diri sebagai sosok yang agung dan sangat netral. Lihat saja isi asmaul husna, nama-nama yang mencitrakan nilai positif jauh lebih banyak dibanding nama-nama yang mencitrakan sisi negatif.
Misalkan Ya Rahman, Rahim, salam, Mutakabbir (memiliki kebesaran), al bari (maha mengadakan), ya Ghaffur (pengampun), ya wahhab (pemberi), ya razzak (pemberi rezeki), ya fattah (maha pembuka), ya bassit (melapangkan), ya rofiq (meninggikan), ya muis (memuliakan), ya sami’ (mendengar), ya khalim (maha penyantun), ya mujib (maha memperkenankan) dan ya tawwab (maha menerima taubat). Melihat nama-nama yang agung itu, bukankah begitu parsial jika persepsi pribadi digunakan untuk menilai kehendak Tuhan yang maha segalanya itu?
Dan adakalanya pula, para perempuan tuna susila itu terus berkubang dalam kehinaan karena ruang kebaikan telah ditutup oleh Masyarakat yang dengan sepihak menghakimi keburukannya, seolah ia bagian dari dosa yang tak terampuni. Lalu, apa gerangan yang membuat perempuan itu berjalan di masjid dan duduk terpekur begitu lama di dalamnya? Berdoa? Menyesal? Bertaubat?. Wallohu’alam
19 Agustus 2013
A Fahrizal Aziz
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini