Ritus Kesunyian (15)



 “Sebelum Ibu menjawab, Ibu ingin bertanya pada kamu, apakah kamu sudah mengenali diri kamu sendiri?”
Egar terlihat tenang, matanya tajam menatap ke arah Bu Mira. Begitu pula sebaliknya, Bu Mira dengan tajam menatap ke arah Egar.
“Ini pertanyaan yang konyol, mana mungkin seseorang tidak mengenali dirinya sendiri. Anda terlalu definitif, itu adalah pertanyaan yang seharusnya dijawab oleh masing-masing individu, bukan ditanyakan secara terbuka seperti ini.”
“Seharusnya begitu, atau memang kamu tidak mampu menjawab pertanyaan siapa diri kamu sebenarnya?” balas Bu Mira dengan nada intimidatif.
Tensi semakin tinggi. Bu Mira ternyata bukan orang yang mudah sebagai lawan bicara Egar. Padahal selama ini, hampir tidak pernah ada orang yang mampu melawan kata-katanya kecuali Ibunya sendiri. Tapi pemilihan bahasa Bu Mira membuat Egar kikuk. “Mengenali diri sendiri? Siapa saya sebenarnya?” Egar membathin. Bu Mira hanya tersenyum, lalu melanjutkan pembahasan.
****
Jam istirahat tiba, Awan melihat Egar berjalan menuju taman sekolah, dengan hati-hati ia membuntutinya. Setiap kali jam istirahat, ia selalu melihat Egar berjalan ke arah taman sekolah, duduk sendirian disamping kolam sambil asyik dengan tabletnya.
“Apakah kamu ditugaskan untuk memata-matai saya?” pekik Egar yang menyadari keberadaan Awan.
Awan terkesiap dari balik pohon, ternyata Egar menyadari keberadaannya. Lalu diapun keluar dan melemparkan senyum ke arah Egar.
“Saya melihat ada hal yang khusus antara kamu dan Bu Kepala Sekolah,” lanjut Egar.
Awan terkesiap. Sepertinya Egar sudah mengetahui tentang ini semua, tentang permintaan Bu Mira agar ia mendekati Egar.
“Khusus? Mungkin hanya perasaan kamu saja,” jawabnya.
“Dari buku psikologi yang saya baca, tatapan mata dua orang yang menyimpan misi tentu sangat berbeda dengan orang biasa. Sepertinya ada hal yang kamu rencanakan dengan Bu Kepala Sekolah, sampai-sampai kepala sekolah rela menyisakan waktunya untuk mengajar di kelas itu.”
Awan tersentak, analisis Egar memang begitu tepat. Ia pun bingung harus menjawab apa, ia tak akan mungkin menang jika berdebat dengan Egar.
“Mungkin hanya perasaan kamu, Gar. Lagipula, untuk apa aku dan bu Mira melakukan itu ke kamu. Oh ya, bolehkan aku menanyakan sesuatu?” jawab Awan mencoba mengalihkan topik.
“Silahkan!”
“Apakah kamu tidak pernah belajar tata krama?”
Egar mengalihkan pandangan ke arah Awan, dengan tajam ia menatap mata Awan.
“Apakah pelajaran itu masih berlaku? Di era Pendidikan modern, kemampuan intelektual dan penguasaan teknologi adalah segalanya.”
“Hmm.. mungkin benar, tapi tata krama juga merupakan unsur penting dalam pendidikan, karena itulah yang akan kita gunakan untuk berbicara dan bersikap dengan orang tua kita setiap hari.”
“Orang tua?”
“Iya, lalu bagaimana caramu berbicara dan bersikap dengan Orang tua?”
“Kami tidak sekaku itu,” jawab Egar.
“Maksudnya?”
“Bagi keluarga kami tata krama bukanlah hal yang penting.”
“Ya ya, aku tahu. Karena kamu sering belajar dengan komputer ataupun benda kecil yang selalu kamu pegang itu, itu hanya benda mati yang tak akan bisa mengajarkanmu tata krama,” ujar Awan.
Lalu Awan membalikkan badan dan berjalan meninggalkan Egar, ia bingung bagaimana menasehati teman barunya itu. ia butuh waktu untuk memahami keadaan ini, Egar terlalu kaku untuk diajak berbicara, entah kaku atau memang dia memilih bersikap seperti itu? Awan pun hanya menerka-nerka.
Brakkkk....
Tiba-tiba terdengar suara gebrakan. Awan memutar badan dan melihat apa yang terjadi. Ia melihat Egar limbung dan sejurus kemudian roboh, sebuah papan besar menimpanya. Egar pun pingsan.
“Egar,” teriaknya.
Lalu kerumunan siswa datang dan dengan segera membawanya ke UKS.

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini