Ritus Kesunyian (16)



****
Di rumah sakit
Mamang, Awan dan Bu Mira dengan cemas berdiri disamping Egar yang masih lemas tergeletak. Ternyata, tadi ada sebuah bola yang mengenai papan reklame dan papan reklame itu roboh mengenai Egar, meskipun sempat menghindar, tapi papan reklame tersebut sudah terlebih dahulu menimpanya.
Mamang begitu khawatir dengan keadaan Egar, jika terjadi apa-apa maka dialah yang akan bertanggung jawab kepada Orang tua Egar. Ia harus menerima konskwensinya, jika harus dipecat ia pasrah, asalkan tidak dilaporkan ke pihak berwajib saja.
Sementara Bu Mira mencoba mengamati luka goresan yang ada di kening Egar, sepertinya luka itu lumayan serius, sampai-sampai membuat Egar pingsan. Ia mengamati lekuk wajah anak muda itu, tiba-tiba matanya berkaca-kaca, ia melihat ada pahatan rindu dibalik sifat kaku anak itu, sebuah kerinduan yang begitu dalam.
“Ibu kenapa? Ibu baik-baik saja, kan?” tanya Awan setelah melihat ada airmata menepi di pelupuk mata Bu Mira.
Bu Mira dengan segera menyeka air matanya yang ternyata sudah membasahi pipi, lalu melemparkan senyum ke arah Awan.
“Ada debu masuk mata, oh ya. Habis ini Ibu mau kembali ke sekolah, kamu tolong jaga Egar disini ya. Nanti Ibu yang akan ijinkan kamu untuk jam pelajaran selanjutnya,” pinta Bu Mira.
“Baik Bu, tentu saja. Ini adalah kewajiban saya sebagai ketua kelas.”
Bu Mira tersenyum dan menepuk pundak Awan, lalu berjalan ke arah Mamang dan mohon pamit. Dengan langkah cepat Bu Mira berjalan keluar kamar VIP tempat Egar di rawat, Mamang mengantarkannya sampai ke dekat tangga.
Tak lama berselang, Egar dengan berat membuka matanya. Ia merasa ada sesuatu yang aneh dengan keningnya yang terbalut perban putih. Ia melihat wajah Awan tersenyum sumringah menyambutnya.
“Kamu udah siuman, Gar?”  tanya Awan.
Egar mencoba bangkit dan menyandarkan tubuhnya, dengan hati-hati Awan membantu.
“Saya dimana?” tanyanya.
“Di Rumah sakit.”
“Kenapa kamu disini? Mana Mamang?” tanyanya.
“Tadi aku dan Bu Mira yang membawa kamu kesini,” jawab Awan.
“Kamu dan Bu Mira?” Egar nampak terkejut, “Lepaskan,” lanjutnya sambil menepis tangan Awan yang sedari tadi memegang bahunya.
“Untuk apa kamu peduli dengan saya?” tanya Egar.
“Kok begitu? Bukankah kita teman?” jawab Awan.
“Teman?”
“Iya, ini adalah tanggung jawabku sebagai ketua kelas dan juga sebagai teman kamu.”
Egar tertegun. Teman? Apakah itu? ia tak pernah mengetahui tentang itu semua. Kata ‘teman’ begitu asing ditelinganya.
“Mamang itu, Ayah kamu?” tanya Awan.
“Bukan, dia sopir pribadi dan juga orang yang biasanya saya suruh,” jawab Egar.
“Lalu orang tua kamu?”
“Mereka sibuk di luar negeri, Papa mengurus bisnisnya dan Mama sibuk dengan aktifitas akademiknya.”
Awan menghela nafas, ia hanya bisa menundukkan kepala.
“Apa aku perlu menghubungi mereka?” tanya Awan menawarkan.
“Untuk apa?”
“Untuk mengatakan jika kamu baru saja mengalami musibah.”
“Itu tidak penting.”
“Tidak penting?”
“Saya sudah bisa menebak apa yang akan mereka katakan.”
Awan terdiam, wajahnya terlihat muram. Ia teringat kedua orang tua kandungnya yang sudah meninggal karena kecelakaan pesawat yang akut. Mungkin ia tak akan mungkin lagi bertemu mereka di dunia ini, hanya relung kerinduan yang hadir setiap kali Awan mencoba mengingat wajah dan senyum mereka. Apalagi, kedua orantuanya itu pergi ketika usianya masih sangat belia.
“Tapi kamu masih beruntung, Gar,” ucap Awan.
“Apa maksud kamu?”
“Setidaknya kamu masih punya seseorang yang bisa kamu jadikan tempat untuk mengutarakan kesedihan dan rasa sakit yang kamu alami,” jawab Awan sambil tersenyum ke arah Egar, “Kamu masih memiliki kedua orang tua, dan itu adalah sesuatu yang teramat berharga,” lanjutnya.
“Berharga?”
“Sejak usia empat tahun, aku sudah hidup dalam kesunyian yang mengerikan. Kedua orang tuaku meninggal karena kecelakaan pesawat,

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini