Ritus Kesunyian (17)



pada saat itulah aku tak memiliki seseorang lagi untuk mengutarakan segala kesedihanku, aku tidak tahu dengan siapa lagi harus berbagi cerita. Semua berjalan selama hampir empat tahun, sampai akhirnya dua orang yang baik hati memungutku dan menjadikanku anak asuh.”
Egar tercekat.
“Bahkan selama hampir empat tahun, aku lupa bagaimana rasanya kebahagiaan. Dan akupun nyaris lupa bagaimana harus tersenyum. Sekarang, aku hanya bisa menyimpan rindu itu dalam doa-doa,” lanjut Awan.
Egar hanya terdiam, tercenung sepi. Kata-kata Awan mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang juga telah pergi dan tak mungkin kembali.
“Oh maaf, aku terlalu terbawa suasana,” ucap Awan sambil menyeka airmatanya. Lalu ia berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya.
“Kak Refan,” pekik Egar, Lirih.
Ia melirik tas hitamnya, dengan sekuat tenaga ia raih tas itu dan mengambil sesuatu. Sebuah buku krayon, ia membuka buku kecil itu, ia telah menggambar banyak hal. Termasuk mencoba menggambar dirinya sendiri dan seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya.
“Kamu suka menggambar ya?” pekik Awan yang membuat Egar terkejut.
Dengan segera Egar menutup buku kecil itu dan menaruhnya di bawah bantal.
“Aku juga suka menggambar, karena itulah keahlianku,” lanjut Awan sambil duduk di kursi bundar dekat Egar.
“Sampai kapan kamu terus disini?” tanya Egar.
“Sampai kamu sembuh, mungkin.”
“Kenapa kamu begitu memperdulikan saya?”
“Harus berapa kali aku jawab? Apakah aku terlalu aneh jika harus memperhatikan kamu?”
Egar tak menjawab, ia mengarahkan pandangan ke luar jendela. Tidak pernah ada seseorang yang benar-benar memperdulikan dirinya, bahkan saat dia sakit seperti ini. Tidak juga Mama dan Papa, atau Mamang. Mamang hanya menjalankan tugas dari Papanya.
Mamang berdiri dibalik pintu, ternyata sedari tadi ia mendengarkan percakapan Awan dan Egar. Mamang tersenyum, terlihat raut yang tak biasa menghias wajahnya.
“Sepertinya masih ada harapan untuk den Egar,” bathin Mamang. Lalu Mamang berjalan berbalik arah menuju kantin rumah sakit.
****
Di dalam kelas
“Awan kemana?” tanya Edo yang tak melihat Awan sejak jam pelajaran ketiga berlangsung hingga jam pulang sekolah.
“Kata Bu Mira, dia di rumah sakit menemani Egar,” jawab Fajar dengan raut khawatir.
“Egar? ngapain dia nemenin anak sombong itu, ayo kita susul,” ajak Edo dengan nada memaksa.
“Kamu tahu dimana Mereka berada?” sambung Fian.
“Kata Bu Mira mereka di Rumah Sakit Harapan,” sahut Fajar.
Mereka mengambil tas masing-masing, dan mereka bergegas menuju kesana.

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini