Ritus Kesunyian (20)





 “Egar.. aku...”
“Kamu punya sebuah penyakit yang tidak ingin orang lain mengetahuinya, kan? saya tahu itu, kamu punya penyakit jantung. Makanya kamu tidak pernah mengikuti jam olah raga jika materinya cukup berat.”
Awan terdiam, wajahnya lekat menatap Egar yang baru saja memekikkan sesuatu yang selama ini dengan rapi ia sembunyikan. Kalimat itu seperti sebuah palu yang menghantam.
“Sekarang giliran kamu menceritakan, darimana kamu tahu tentang Refan?” desak Egar.
Awan masih mematung sunyi, ia menerka-nerka, darimana Egar tahu tentang penyakit jantungnya? Ia hanya menundukkan kepala.
“Jadi selama ini bukan hanya aku yang mengamatimu, tapi ....”
“Saya juga mengamatimu,” Egar memotong pembicaraan “Karena kamu memiliki sikap yang sama dengan orang yang sangat saya benci, yaitu Refan. Apa mungkin dua orang yang memiliki sikap yang sama akan saling mengenal sekalipun mereka belum pernah bertemu? Katakan, darimana kamu tahu Refan?”
Awan berjalan dua langkah ke arah Egar, dengan hati-hati ia mengucapkan sesuatu.
“Egar, soal penyakit jantung itu, tolong jangan katakan pada siapapun, karena....”
“Saya sudah paham itu. Sekarang jawab pertanyaan saya, darimana kamu tahu Refan?” lagi-lagi Egar memotong, kali ini dia mulai emosi. Segala hal tentang Refan memang sangat sensitif baginya.
“Aku hanya menebak,” jawab Awan.
“Menebak? Saya bukan anak kecil yang mudah dibohongi.”
“Apakah aku harus menjawabnya?”
“Dan apakah Saya harus katakan ke teman-temanmu jika kamu memiliki riwayat penyakit jantung, sehingga kamu selalu tidak mengikuti jam pelajaran olahraga?”
Kali ini Awan merasa terancam, ia tidak ingin teman-temannya tahu jika ia memiliki penyakit jantung dan mengkhawatirkan keadaannya. Penyakit yang sudah lama bersarang di tubuhnya. Dokter mengatakan jika itu adalah penyakit jantung bawaan sejak lahir. Ia bahkan masih beruntung bisa hidup hingga kini tanpa ada masalah yang serius.
“Aku tahu dari .... dari Mamang,” Jawab Awan spontan.
“Mamang?” Egar terdiam sejenak, lalu ia mengambil ponsel yang tergeletak diatas meja dan dengan cepat menelepon Mamang.
Awan hanya terdiam, terpaku dalam kebingungannya. Darimana Egar tahu tentang penyakit jantungnya? Bahkan ia yakin tidak ada seorangpun yang tahu tentang penyakit jantungnya, termasuk teman sekelasnya.
Tak lama kemudian Mamang masuk ke dalam ruangan, ia melihat Awan dan Egar sudah menunggunya. Awan sadar jika ia berbohong, entahlah, yang jelas sangat tidak mungkin ia mengatakan yang sebenarnya, tentang darimana ia mengetahui sosok Refan. Sore itu mungkin Egar akan mengetahui semuanya, jika ia di tugaskan oleh Bu Mira untuk mendekatinya dan menjadi temannya.
“Ada apa den?” tanya Mamang.
Egar mengalihkan pandangan ke arah Awan, dengan rasa bersalah Awan menundukkan kepala. Ia tak bisa membayangkan jika kebohongannya akan terbongkar.
“Mamang pernah menceritakan seseorang kepada Awan?”
“Menceritakan seseorang?” Mamang mencoba memutar memori, “Siapa ya den?” lanjutnya.
“Refan,” sahut Egar dengan nada tegas.
Mamang terhenyak, belum sampai ia memikirkan itu, sebuah kata-kata sudah melayang dan menghantam jiwa Mamang. Mamang pun melirik ke arah Awan yang tengah menunduk, air mukanya seketika berubah. Padahal saat berbincang dengan Awan di balkon tadi, Mamang hendak menceritakan kepada Awan tentang Refan, tapi Mamang mengurungkan niatnya karena takut menyakiti hati Awan. Kini, Ia bingung karena Egar menanyakan hal itu kepadanya. Itu berarti, Awan sudah tahu tentang Refan?
“Be..be..benar den,” jawab Mamang dengan spontan pula.

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini