Keempat preman itu tertawa terbahak-bahak.
“Nyali loe boleh juga, bocah. Kita main-main bentar ya.”
Lalu Awan memasang badannya dan berdiri di depan Edo.
“Mau apa kalian dengan temanku?” tanya Awan, kali ini wajah Awan terlihat garang.
“Eh, loe nyingkir aja. Gua cuman punya urusan sama Edo, bukan sama loe.. kalau loe tetap disitu, gue bakal singkirin loe dengan paksa.”
“Kalian jangan sakiti teman aku...” pekik Awan.
“Kelamaan...”
Tiba-tiba, salah seorang dari mereka maju dan melayangkan sebuah pukulan ke pipi Awan hingga tersungkur.
“Awan...” Edo tersentak, lalu ia dengan segera membalaskan sebuah pukulan ke arah preman itu, tapi pukulannya ditangkis, justru Edo terkena pukulan balik ke perutnya. Berkali-kali preman itu melayangkan pukulan ke perut, kening dan pipi Edo. Tiga orang mengeroyoknya dan salah seorang hanya diam, menghisab putung rokok sambil mengamati situasi yang ada.
Dengan berat Awan berdiri dan mencoba menolong Edo, tapi apa daya, Awan malah ikut menjadi bulan-bulanan mereka.
“Gue kan dah bilang, gue cuman punya urusan ma Edo. Loe nggak usah ikutan, kalau loe terus ikut-ikutan ni gue kasih....” sebuah pukulan telak bersarang ke perut Awan, namun Awan meradang, ia menahan rasa sakitnya dan membalas sebuah pukulan, dengan jitu pukulan itu mengenai pelipis salah seorang preman hingga berdarah.
“Shiit...”
Edo sudah terkulai lemas, wajahnya sudah babak belur, kini konsentrasi mereka bertiga tertuju ke Awan yang sebenarnya juga sudah letih. Fajar dan Fian hanya mematung ketakutan di pojok gang buntu, mereka tak berani berbuat apa-apa.
“Loe berani nonjok gue ya,” sahut preman itu sambil mencengkran krah baju Awan, lalu ia melayangkan sebuah pukulan ke pelipis Awan, namun Awan mampu menahan dengan tangannya. Dua preman lainnya kemudian ikut bertindak dengan menarik tangan Awan dan menguncinya. Kini Awan tak bisa berbuat apa-apa.
“Ke..ke...napa kal...kal...lian menyakiti teman...ku,” tanya Awan dengan terbata-bata.
“Diam loe, nih gue kasih....” preman itu melayangkan sebuah pukulan ke arah Awan.
“Hentikan!!!”
Ia menghentikan tangannya yang beberapa centimeter lagi nyaris mengenai kening Awan.
Mamang dan Egar sudah berdiri dibelakang mereka. Mamang dengan panik melihat kondisi Edo yang sudah terkulai lemas. Lalu, para preman itu dengan segera pergi meninggalkan mereka. Egar mengamati Awan yang merintih kesakitan, wajah Awan terlihat lebam-lebam. Egar mendekati Awan dan memegang pundaknya.
“Egar...” ucap Awan dengan berat.
“Kamu bisa saja lari, kenapa kamu malah menantang mereka?” protes Egar.
“Edo ada...lah...te..man..”
Fajar dan Fian menghampiri Edo yang terkuali lemah sambil menahan sakit.
“Ayo,” Egar mengulurkan tangannya. Dengan berat Awan meraihnya, Egar menolongnya berdiri.
“Mang, bawa mereka ke rumah sakit,” pinta Egar.
***
Egar menyendiri di balkon rumah sakit, ia tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh Awan, dia melindungi Edo, dia menyebut itu teman? Apa maksudnya? Dulu, ia pernah berjalan-jalan dengan Kak Refan, saat itu ada dua orang yang menghadang mereka dan meminta sejumlah uang. Egar sangat ketakutan dan bersembunyi dibalik punggung kakaknya.
“Jangan sakiti adikku,” ucap kakaknya kala itu.
Lalu kedua preman itu menganiaya mereka, namun dengan cekatan Kak Refan terus berusaha melindunginya, sampai akhirnya kedua preman itu menyerah dan pergi. Apakah teman juga seperti itu?
“Den ingin pulang atau masih ingin disini?” tanya Mamang.
“Sebentar.”
Egar berjalan menuju ruang perawatan, ketika sampai di depan pintu, dia melihat banyak sekali orang, ternyata mereka adalah keluarga Edo, Fajar, Fian, dan Awan. Terlihat Ibu-ibu dengan raut panik, takut terjadi sesuatu dengan anaknya. Sebuah ekspresi yang jarang ia temui. Ia jadi teringat ketika demam tinggi, dan kala itu Kak Refan begitu panik sampai-sampai tidak tidur semalaman hanya untuk memastikan keadaannya.
Melihat situasi itu, Egar mengurungkan niatnya untuk masuk, ia membalikkan badan, namun seseorang memegang tangannya ketika ia hendak pergi. Ternyata itu Awan.
“Gar, makasih ya,” ucap Awan, disamping Awan telah berdiri seorang perempuan paruh baya, ia tersenyum kepadanya. Itu adalah Ibu angkat Awan.
“Kamu adalah temanku yang baik,” lanjut Awan.
“Teman?” dengan segera Egar melepaskan genggaman tangannya dan beranjak pergi meninggalkan Awan. Ia berjalan dengan perasaan yang tak menentu, sepertinya ia tengah mengalami kerinduan yang begitu dalam.
Selama di Mobil, Egar hanya diam sambil memandangi jalanan, sekalipun jalanan begitu ramai, namun ia merasakan kesepian yang teramat sangat. Ia terus menerka arti kata ‘teman’ dan raut kekhawatiran yang ditampakkan oleh Ibu mereka tadi. Ia mengambil buku krayon itu, melihat halaman tengah. Sebuah gambar keluarga: Ayah, Ibu, dan dua anak saling berpegangan tangan. Tapi salah satu dari gambar anaknya sudah ia beri silang. Ia teringat kata-kata Kak Refan.
“Suatu saat kamu akan memahaminya, dek. Ketika kamu sudah mulai dewasa dan mengerti arti dari hidup ini.”
Hatinya semakin gelisah, memikirkan masa lalu, berulang kali ia menggerutu dalam hati, mencoba membunuh perasaan yang kadang muncul sewaktu-waktu. Dari balik kaca spion, Mamang bisa merasakan kegundahan hati Egar.
“Sial....,” bathin Egar, ia berulang kali memukul kaca mobil.
Mamang hanya diam.
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini