***
Sementara itu, Awan tengah berdiri didepan Egar. Awan mendengar dengan jelas apa yang di bicarakan dalam pertemuan itu, karena Awan menguping di balik jendela kayu. Mereka saling bertatapan. Awan melempar senyum kecil, tapi Egar tak menghiraukannya, ekspresinya tetap datar.
“Minggir, saya mau lewat.”
Namun Awan tak bergerak. Ia tetap berdiri didepan Egar. “Ikut bergabung dengan kami yuk, kami sedang membuat lukisan besar untuk dipajang didepan kelas memperingati ulang tahun ntar,” ajak Awan.
Namun Egar tak tertarik, ia berjalan menerobos, menghindari Awan yang berdiri didepannya, namun Awan tak mau menyerah, ia memegang tangan Egar, “Ayolah, sob. Kita kan teman satu kelas. Setelah ini pelajaran seni dan kita akan bersama membuat lukisan besar itu,” Awan mulai mendesak.
Egar teringat sebuah peristiwa, saat Refan memintanya untuk menemani ke galeri kesenian.
“Ayolah dek, temenin kakak, kakak nggak ada temen,” pinta Refan.
“Nggak kak, nanti kalau Mama tahu bakal marah, kita kan dilarang pergi ke tempat-tempat seperti itu,” jawab Egar.
Lalu Refan menarik tangannya, dan akhirnya Egar mau juga menemani kakaknya itu untuk pergi ke galeri seni. Meskipun akhirnya Mama mereka tahu dan Refan mendapatkan hukuman tidak boleh keluar rumah selama satu minggu.
“Lepaskan tangan saya, saya benci orang yang suka memaksa seperti kamu,” pinta Egar sambil secara kasar melepaskan tangannya dari genggaman Awan.
“Gar...” Awan terus berusaha. Sementara Egar semakin tak tahan, bayangan Refan semakin kuat dibenaknya, Awan telah membangkitkan kembali ingatannya tentang Refan. Egar berjalan dengan cepat dan meninggalkan Awan yang berdiri mematung sunyi. Egar tak ingin kejadian itu terulang lagi.
“Sial... anak itu semakin mengingatkan saya dengan Refan,” umpatnya sambil berlalu. Pada jam pelajaran kali ini, ia akan menghabiskan waktunya di taman sekolah, ia tak sudi bergabung dengan mereka untuk membuat lukisan. Melukis adalah hal yang sangat disukai Refan, ia trauma.
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini