Egar memandang lekat lukisan itu, dengan segera ia meraihnya, “Kenapa Ibu tidak meminta Awan untuk melanjutkan lukisan ini? Bukankah dia pandai melukis?”
“Awan?” Bu Mira terkejut, ternyata Egar telah dengan baik mengingat Awan, ia pikir Awan tidak pernah ada dalam pikirannya, “Ibu pernah meminta Awan untuk melanjutkannya, tapi ia tidak mampu, ia tak kuasa untuk melanjutkan lukisan ini, menurutnya lukisan itu bermakna sangat dalam.”
“Harusnya Ibu tahu maksud dari lukisan ini.”
“Ibu tidak mengetahuinya.”
Egar kembali menatap lekat lukisan itu, “Kalau begitu, Ibu pasti tahu kenapa Refan memutuskan untuk bunuh diri, tolong beritahu saya.”
Bu Mira terdiam lagi, ia bingung harus berkata apa.
“Kenapa Ibu diam?”
“Ibu tidak tahu.”
“Bohong. Ibu pernah membuat tulisan di website, bahwa ada seseorang yang secara sadar melakukan bunuh diri untuk melakukan sesuatu demi orang banyak, apa maksud Ibu? Ibu tidak menjelaskan kronologinya dengan jelas dalam tulisan itu. Saya yakin jika yang Ibu tulis itu adalah Kakak saya.”
Bu Mira tertegun, tiba-tiba airmatanya menepi mengingat kejadian itu, dan dengan berat ia menjawab.
“Ibu tidak tahu, tapi dia berpesan satu hal..”
“Apa itu?”
“Dia sangat menyayangimu, sebelum bunuh diri, dia pernah meminta agar Ibu menyampaikan ini ke kamu, tapi kesempatan itu baru bisa datang hari ini.”
“Bohong, bohong sekali jika Refan menyayangi saya. Jika dia menyayangi saya harusnya dia tidak meninggalkan saya dengan cara seperti itu, jika dia menyayangi saya tidak mungkin dia membiarkan saya hidup sendiri di rumah besar itu, Refan adalah orang terkejam dan terjahat yang pernah saya kenal,” Egar tak mampu menahan emosi, lalu ia membanting lukisan itu dan berlari keluar rumah Bu Mira.
Mamang kaget tak kepalang. Egar terus berlari, airmatanya menepi. Mamang beranjak dari tempatnya dan berniat mengejar Egar, namun Bu Mira menahan Mamang.
“Jangan dikejar, biarkan dia sendiri.”
“Tapi Bu, dia...”
Bu Mira mengambil lukisan itu dan memberikannya ke Mamang.
“Mamang bawa lukisan ini ya, dan berikan kepada Egar jika sudah sampai di rumah nanti. Saya akan menghubungi security kompleks agar menahan Egar, sepertinya dia belum sampai keluar kompleks perumahan,” ucap Bu Mira.
Egar terus berlari, ingin rasanya ia berteriak sekencang-kencangnya, ia menghentikan langkah di taman kompleks perumahan, suasana begitu sepi, hanya lampu taman dan gemericik air mancur yang menemaninya. Bayangan Refan terus berkelindan, memori tentang kematiannya masih sangat kuat. Kala itu, ia berlari menyusul Kakaknya itu, namun terlambat, Kakaknya sudah berdiri di atas tiang jembatan. Dengan sekuat tenaga Egar memanggil Kakaknya, namun Kakaknya hanya melemparkan senyum, lalu dengan tenang menghanyutkan tubuhnya ke sungai.
“Jahat kamu Kak, jahat...” Egar terus mengumpat.
Disaat bersamaan, Awan baru saja pulang dari Madrasah, setiap malam Awan memang rutin menuntut ilmu di salah satu yayasan keagamaan. Rumah Awan tidak jauh dari Bu Mira, masih satu kompleks perumahan. Sambil bersepeda, Awan mengamati pria yang duduk menyendiri di taman itu, dan ia pun terkejut.
“Egar...” teriaknya.
Egar mendongakkan kepala, ia amati sosok yang sangat ia kenal, dengan setelan busana muslim, Awan berlari ke arahnya.
“Egar, ini kamu. Ngapain malam-malam sendiri disini?” tanyanya keheranan.
Egar hanya memandang wajah polos Awan, masih terlihat luka lebam akhibat pukulan dari preman beberapa waktu lalu.
“Bukan urusan kamu, tinggakan saya sendiri,” pinta Egar.
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini