Ritus Kesunyian (38)





 “Gar..”
“Untuk apa kamu kesini? Bukankah sekarang ada jam pelajaran.”
Awan berdiri di belakang Egar, ia hampir tak mampu merangkai kata untuk berbicara dengan Egar. Ia ingin berbicara banyak hal tentang tulisan Mamannya di media massa itu. benarkah Egar telah memberikan informasi seperti itu?
“Meskipun kamu terus mengkritik sekolah ini, para siswa telah memahami apa yang diajarkan di sekolah ini, Gar.”
“Benarkah? Pantas saja mereka tidak terlalu merespon. Sebentar lagi sekolah ini tak akan lagi ada peminat, dan sekolah ini akan segera hancur. Kamu harusnya paham maksud saya, saya hanya ingin kalian sadar jika selama ini kalian telah terlalu jauh salah melangkah. Buktinya adalah Kakak saya, gara-gara dia mempelajari persepsi Bu Mira tentang Pendidikan itu, ia jadi bunuh diri. Ia kehilangan arah hidupnya.”
“Aku tahu jika kamu merasa sangat kehilangan dia, tapi...”
“Diam, kamu jangan bersikap seolah-olah kamu mengetahui apa yang saya rasakan. Apa yang terjadi dengan Refan juga akan terjadi dengan kamu. Ingat, penyakitmu itu bisa saja membunuh kapanpun, saat kamu mati, apa kamu tidak pernah berfikir bagaimana menderitanya orang yang dekat dengan kamu selama ini? Apa kamu tidak pernah berfikir betapa menderitanya mereka setelah kematianmu nanti.”
Awan tercenung, ia hanya menundukkan kepala.
“Kalian hanya belajar untuk mengikuti perasaan kalian masing-masing, tidak belajar tentang sesuatu yang rasional. Kalian tidak mau dipaksa untuk mengerti, harusnya kalian bisa lebih bersifat rasional.”
“Kamu benar-benar memilih untuk membunuh perasaan itu, Gar?”
“Bisa saja saya melakukan banyak hal tentang hobi saya, keinginan saya, kesukaan saya, dan menolak segala apa yang diajarkan Mama saya selama ini. Tapi, ketika saya hanya belajar mengikuti keinginan saya, sewaktu-waktu saya akan kehilangan kendali. Belajar dengan sistem yang diajarkan Mama, adalah pembelajaran terbaik yang selama ini saya alami. Saya tidak perlu terbebani oleh banyak hal, termasuk tentang kematian Refan.”
“Apa kamu tidak menyayangi Kak Refan?”
Egar terperanjat, sebuah pertanyaan yang begitu asing, pertanyaan yang sangat tidak rasional. Jauh dari apa yang dia pelajari selama ini.
“Apakah kesunyian itu telah membunuh perasaanmu? Tega betul. Perasaan memang bisa membuatmu bersedih, tapi perasaan pula yang bisa membuatmu bahagia. Begitu kejam jika perasaan itu harus dibunuh. Lalu bagaimana caramu bahagia selama ini?” lanjut Awan.
“Bahagia?” bathin Egar. Ia memandang ke arah Awan. Bahagia? Pertanyaan itu sangat sulit ia jawab, tiba-tiba ia merasa bingung dengan pertanyaan itu, “Saya sudah lupa apa itu bahagia,” jawabnya.
Awan menyodorkan sebuah buku krayon kecil, Egar terkenjut, bagaimana mungkin buku itu bisa ada ditangannya?
“Kemarin kamu menjatuhkannya di taman itu.” dengan segera Egar meraihnya, ia tak ingin orang lain mengetahui isinya, “Kamu selalu membawa buku krayon itu, itu menunjukkan jika kamu tak benar-benar benci dengan Refan,” lanjut Awan.
“Diam.. sudah saya bilang jangan sebut-sebut nama Refan.”
“Dalam buku kecil itu ada kebahagiaan, bukan? Sebuah kenangan yang tak akan tergantikan, dan Refan lah yang telah mengajarkanmu banyak hal tentang kebahagiaan.”
Egar menatap lekat wajah Awan, terlintas dengan kuat bayangan Refan, lalu ia menunjukkan buku krayon kecil itu dihadapan Awan, “Saya akan buktikan kalau pendapatmu itu salah.” Egar melemparkan buku krayon itu ke kolam ikan, Awan terbeliak, gerak matanya mengikuti dengan seksama kemana buku itu terlempar, dengan segera buku krayon itu tenggelam.
“Egar.. kenapa ...”
“Buku itu bukan apa-apa, apa yang kamu katakan salah, tentang kenangan, kerinduan, dan kebahagiaan,” tegasnya, lalu ia pergi meninggalkan Awan yang terpekur menyaksikan buku krayon itu tenggelam perlahan-lahan. Tanpa berfikir panjang, Awan pun berlari dan menceburkan diri ke kolam, dengan sekuat tenaga ia menyelamatkan buku krayon itu.

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini