#9
Rindu yang sedikit terobati
Sejak beredar tulisan Prof. Wahliya yang mengkritik Sekolah itu, Egar tak terlihat lagi masuk sekolah, atas desakan dewan guru dan dewan komite, Egar di skorsing dalam waktu yang tidak ditentukan, meskipun Bu Mira berulang kali menolak. Bahkan pihak Komite mengajukan agar ia di keluarkan, tapi Bu Mira masih menolak, sampai ditemukan jalan tengahnya, yaitu berupa skorsing. Kini, Egar hanya menghabiskan waktunya di rumah sambil menyiapkan strategi baru untuk menghancurkan sekolah itu.
“Sepertinya ini sudah cukup, mungkin saja dengan bantuan Mama, dewan Pendidikan akan segera menegur sekolah itu,” Bathin Egar sambil mengirimkan bahan tulisan ke email Mamanya.
Tak lama kemudian, ponselnya berdering, sebuah panggilan masuk, nomor luar negeri.
“Halo..”
“Egar.”
“Iya, Pa.”
“Apa kabar nak?”
“Baik. Ada perlu apa Papa menelpon saya?”
“Papa hanya ingin menanyakan keadaan kamu, Nak.”
“Papa tidak perlu memikirkan itu, saya sudah jelas baik-baik saja.”
“Egar, kamu masih ingat besok hari apa?”
“Papa pasti mau bilang kalau besok adalah ulang tahun Refan. Refan sudah mati. Tidak usah diungkit-ungkit lagi.”
“Nak, Papa sayang sama kalian.”
“Sayang?” Egar terdiam sejenak, tidak biasa-biasanya Papanya berkata demikian.
“Kembalilah ke sekolah itu, belajarlah dengan Bu Mira,” lanjut Papanya.
“Papa telah banyak melakukan hal-hal yang membahayakan, bagaimana kalau Mama tahu? Kenapa Papa bersikeras agar saya sekolah disana?”
“Harusnya kamu sudah mengetahui jawabannya, Nak. Maafkan Papa masih belum bisa kembali ke Malang, tapi Papa sudah susun scedule untuk bertemu denganmu, Nak.”
“Saya sudah terbiasa dengan ini, jadi Papa tenang saja. Saya telah melakukan apa yang terbaik bagi diri saya sendiri, dan sekarang tujuan saya adalah menghacurkan sekolah itu di mata masyarakat, karena sekolah itu berbahaya.”
“Egar, kamu memang anak Papa yang cerdas, tapi kamu lupa satu hal, Nak.”
“Apa maksud Papa?”
“Bahwa hidup tidak hanya sekedar angka, setelah kematian kakakmu, Papa baru menyadari jika selama ini, Papa telah salah memandang kehidupan.”
“Setelah kematian Refan, Papa telah berubah. Papa seperti Refan, apakah Papa juga telah terpengaruh oleh Bu Mira, kenapa perempuan itu begitu penting sekarang ini?”
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini