dok. pribadi |
Menulis, atau membuat karya tulis, memang bukan sebuah tujuan hidup. Kadang itu hanya sekedar gejala atas aktivitas yang lain. Penulis pun, juga masih tabu untuk dijadikan sebuah profesi, lebih hanya sekedar hobi atau tuntutan akademik. Misalkan, seorang dosen yang harus membuat buku, menulis jurnal dan artikel karena tuntutan akademik, kenaikan pangkat dan sejenisnya. Mahasiswa harus menulis makalah, paper hingga skripsi pun juga karena tuntutan. Yang berafiliasi dengan organisasi kepenulisan, semisal FLP, juga menulis karena buah dari proker, sekedar mengisi waktu luang, hingga hobi.
Praktis. Menulis hanya sebuah aktivitas sampingan, atau gejala atas aktivitas lain. Tak heran jika sejak kecil, ketika ditanya soal cita-cita, “Penulis” tidak pernah sekalipun hinggap di benak anak-anak. Yang populer adalah Polisi, guru, pilot dan tentu saja ... dokter. Meskipun di negara-negara maju, terutama di Amerika, jangankan penulis, blogger pun bisa menjadi profesi yang menjanjikan.
Untuk itu, jika ada yang mau menulis sebagai sebuah dedikasi atau sebagai wujud aktualisasi diri, biasanya karena memang idealisme. Bukan sekedar tuntutan akademik atau program kerja. Bukan sekedar mempertajam eksistensinya kehadapan publik. Meskipun semua itu akan menjadi hadiah tersendiri, yang secara tidak sengaja didapatkan. Biasanya, idealisme itu muncul kuat, bersemi, dan nampak heroistik ketika masih menjadi mahasiswa. Spirit pengabdian masih menjadi mainstream. Tak terkecuali, yang tergabung dalam Forum Lingkar Pena (FLP) yang menjadikan menulis sebagai Dakwah .. ya.. sekali lagi .. Dakwah. Terdengar berat.
Benih-benih itu juga muncul di FLP UIN Maliki, yang dalam pandangan saya, akan menjadi FLP Ranting terbesar di Indonesia. Bukan tanpa alasan, jika melihat animo mahasiswa yang ingin ikut bergabung di dalamnya. Yang mendaftar bahkan lebih dari seratus, dalam dua segmen perekrutan. Tentu ini menjadi catatan tersendiri, minimal ada optimisme yang kuat sebagai pendakwah pena, setidaknya, FLP Maliki bisa menjadi saluran Jihad bil qolam. Bukan Jihad bil qital, yang belakangan digencarkan oleh ISIS.
FLP Maliki bisa menjadi satu wadah kecil perekrutan dan penyemaian paham bahwa dakwah tidak selalu melalui jalan politik, berupa negara, atau terafiliasi dengan parpol. Bahkan, dakwah pun tidak harus selalu disebut “dakwah”. Cukup kata “dakwah” itu tersimpan dalam pikiran kita masing-masing, selebihnya let it flow. Berkarya lah, dan lihatlah karya itu mengaliri kehidupan, bersemayam di benak para pembaca, dan jika Tuhan mengijinkan, karya itu akan menjadi referensi untuk perubahan, minimal merubah pandangan banyak orang terhadap sesuatu.
Dari sekian ratus pendaftar, atau yang saat ini ingin mendaftar sebagai anggota FLP Maliki, yang awalnya masih menjadi benih, kini sudah bertumbuh. Yang awalnya memang sudah bertumbuh, kini sudah nyaris mekar, dan kalau sudah mekar seharusnya bisa regenerasi. Beberapa yang bertumbuh diantaranya adalah Fitria. Yang sudah membuat novel. Tentu perempuan lebih mudah membuat novel –guyonan yang pernah saya ungkapkan ketika kumpul teman-teman FLP berapa bulan silam—Karena biasanya, dalam berkarya, perempuan lebih terbuka dengan perasaannya. Yang bagi laki-laki, mungkin disebut lebay.
Namun percayalah, anggapan “lebay” itu bukan karena kualitas karya. Namun memang tidak banyak laki-laki yang bisa menulis seperti itu. Itulah kenapa Fiqh tidak pernah bisa menulis cerpen atau novel dengan baik, kecuali jika lagi sedang patah hati, rindu, atau sejenisnya, yang itu melibatkan perasaan. Saya pernah membaca cerpennya Fiqh untuk seseorang, dan saya yakin dia tidak akan mampu menulis cerpen serupa dalam keadaan wajar, maksudnya, dalam keadaan ketika ia tidak terganggu perasaannya.
Tapi terlepas dari itu semua, menurut saya Fitria adalah kejutan. Karena dalam waktu yang tidak lama, setelah bergabung dengan FLP Maliki, dia langsung mampu menulis cerpen dan kini novel. Totalitasnya untuk menggeluti dunia fiksi, memperlihatkan bahwa menulis bukan sesuatu yang sulit. Menulis hanya butuh waktu. Dan waktu yang ia butuhkan tidak lama. Bahkan sudah mendahului saya yang belajar menulis novel sejak kelas 2 SMA.
Berbeda dengan Fiqh yang memang sudah jenius di awal. Sejak dia mulai bergabung dengan FLP Maliki. Terutama, untuk menulis artikel ilmiah populer. Fiqh, hanya butuh kesempatan untuk membuat karya tulis lainnya, semisal Jurnal atau Buku. Yang keduanya sudah ia kerjakan. Terakhir buku soal HAM yang berkolaborasi dengan dua orang yang jauh lebih senior darinya. Sama halnya dengan Fitria, Fiqh pun sudah melampau saya dalam satu sisi.
Selain Fiqh dan Fitria, tentu masih banyak lagi yang lain, yang hanya menunggu waktu, misalkan seperti Jihan, Bastomi, dan Fino. Atau nama-nama baru seperti Saiful, yang sudah membuat buku namun belum sempat ‘tersentuh’ oleh FLP Maliki.
Semoga saja, FLP Maliki masih punya energi untuk merawat benih-benih “pendakwah” pena ini. Kalaupun tidak punya cukup energi untuk merawat, rawatlah diri sendiri. Karena bagi saya, tak penting FLP Maliki mau ada atau tidak, karena senyatanya FLP Maliki hanya sekedar wadah, bendera atau simbol. Tapi yang harus ada, adalah semangat dan gairah penulisnya itu sendiri. Kita boleh lelah mengelola FLP Maliki, tapi jangan lelah untuk terus menulis.
Actually, congratulation for Fiqh and Fitria. Thanks for your dedicated and inspiration. Your mastery will embrace all member who crawl to be their passion in writing. You give the challenge to fastabiqul khoirot, to created the best of Us, to bring to live, to fill much spirit on this organization.
Semoga akan banyak lagi para eseis, cerpenis dan novelis yang lahir dari FLP Maliki. Amin.
27 Maret 2015
A Fahrizal Aziz
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini