Hanya Amien Rais yang bisa?



Bisakah Partai Demokrat lepas dari sosok SBY? Pertanyaan ini banyak diajukan, terutama menjelang kongres Partai Demokrat mendatang. Mengingat begitu sentralnya sosok SBY di Partai Demokrat, sama seperti halnya sosok Megawati di PDIP, Wiranto di Hanura, Prabowo di Gerindra, dan Surya Paloh di Nasdem. Ketokohan sangat berpengaruh kuat terhadap sebuah Partai, dan tak sedikit Partai yang kemudian limbung, karena hilangnya tokoh sentral tersebut.

Beberapa Partai yang kehilangan tokoh sentral, banyak mengalami sengketa internal hingga perpecahan. Sebut saja Golkar, yang tokoh-tokohnya kini banyak mendirikan Partai sendiri. Bahkan kini Golkar tengah bergelut dengan sengketa internal. Kemelut yang terjadi dalam Golkar ini, tentunya pasca Soeharto lengser menjadi Presiden, dan Golkar kemudian berubah menjadi Parpol.

PKB pun sempat digoyang isu perpecahan antara Kubu Cak Imin dan Kubu Yeni Wahid. Padahal, PKB sempat memiliki tokoh sentral seperti Gus Dur. PKS, meski bisa disebut sebagai Partai yang memiliki basis grassroot paling loyal, tapi juga sempat mengalami sengketa internal, salah satunya dengan Yusuf Supendi, yang konon adalah pendiri Partai Keadilan, sebelum akhirnya berubah menjadi PKS.

PPP pun, sebagai Partai Islam yang paling berpengalaman sejak masa Orde baru, juga tidak luput dari sengketa internal. Partai lain, seperti Hanura, Gerindra, dan Nasdem, tinggal menunggu waktu, apakah akan bisa eksis dan kompak pasca goodfathernya nanti. Partai Demokrat sendiri, sempat menuai pujian setelah Anas Urbaningrum menjadi ketua Umum. Itu berarti, Partai Demokrat bisa mandiri dari Goodfather-nya, yaitu SBY. Dan itu berarti, Partai Demokrat tidak terbayang-bayang Politik dinasti. Namun setelah Anas terbidik KPK, dan posisi ketua Umum diambil alih kembali oleh SBY, tentu kembali pada narasi lama bahwa sebuah Partai tidak bisa lepas dari tokoh besarnya.

Kongres kedepan, akan menjadi bukti, apakah Partai Demokrat bisa lepas dari sosok SBY, meskipun SBY kemungkinan besar akan mendapatkan dua posisi penting lainnya, seperti Ketua Dewan Pembina dan Ketua Majelis tinggi. Setidaknya, regenerasi di Partai Demokrat akan menarik banyak perhatian, mengingat banyak Partai besar yang tidak mampu lepas dari tokoh besarnya, sebut saja PDIP.

Namun berbeda dengan apa yang terjadi pada PAN. Meskipun Partai ini didirikan oleh Amien Rais, namun agaknya Amien Rais tidak menjadi sosok sentral. Regenerasi berjalan berkesinambungan. Mulai dari Amien Rais, Sutrisno Bachir, Hatta Radjasa dan kini Dzulkifly Hasan. Amien Rais pun, baru saja melepaskan posisi sebagai ketua MPP PAN, yang kini dijabat oleh Sutrisno Bachir.

Tak berbeda dengan Partai lainnya, PAN juga termasuk Partai yang mengalami perpecahan suara ketika Pilpres 2014 silam. Sebagian besar mendukung Prabowo-Hatta, termasuk Amien Rais. Namun tak sedikit pula yang membelot ke Jokowi-JK, salah satunya Sutrisno Bachir yang kini justru terpilih menjadi ketua MPP. Sementara itu, sosok Dzulkifly Hasan, dinilai lebih moderat pada pilpres kemaren.

PAN seolah memainkan peran strategis, selain berhasil mengangkat nama Hatta Radjasa sebagai cawapres, PAN juga sukses menempatkan Amien Rais sebagai sosok Antagonis, dan sosok Dzulkifly Hasan yang moderat. Disisi lain, Sutrisno Bachir yang mendukung calon seberang, semakin melengkapi dominasi sayap PAN yang ada di kubu sendiri, ada yang ditengah, ada yang seberang.

Ketiganya, kemudian duduk bersama dalam kongres, dan yang ditengah (sikapnya lebih moderat) menjadi ketua Umum DPP, yaitu Dzulkifly Hasan. Dengan terpilihnya Sutrisno Bachir sebagai ketua MPP, maka komunikasi ke Pemerintah pun semakin mudah, selain komunikasi ke Parlemen yang tentu saja lebih mudah, karena satu payung dalam koalisi merah putih. Apalagi, setelah Dzulkifly Hasan menjad ketua MPR. Disinilah PAN menjadi Partai yang sangat diperhitungkan.

Meskipun PAN tidak menjadi Partai pemenang pemilu, namun PAN termasuk salah satu partai yang sangat baik dalam mengelola internalnya. Dibandingkan Demokrat, seharusnya PAN yang lebih cocok menyebut diri sebagai Partai penyeimbang. PAN juga tidak ragu-ragu dalam bergerak. Sama halnya dengan Amien Rais yang tidak ragu-ragu mengkritik siapapun, bahkan dengan bahasa yang sangat provokatif, seperti “perang badar” yang sempat ia lontarkan waktu pilpres dulu. Mungkin banyak yang sebal dengan Amien Rais, namun sebagai politisi, Amien Rais termasuk berani dalam mengkritik dan membuat kebijakan. Meskipun imbasnya akan kembali padanya sendiri.

PAN bisa menjadi contoh menarik sebuah Partai yang bisa melepaskan diri dari tokoh utamanya, bisa melakukan regenerasi secara berkala, minus konflik, dan memainkan peran strategisnya. Selama reformasi berjalan, PAN sudah dua kali menduduki posisi sebagai ketua MPR, dan berhasil mencalonkan kadernya sebagai Capres dan Cawapres. Amien Rais di 2004 dan Hatta Radjasa 2014. Belum lagi posisi Menteri dan Menko.

Ibarat bermain bola, barangkali PAN layak disebut sebagai Man of the match dalam pemilu 2014 silam, mengalahkan PDIP yang meski menjadi pemenang pemilu, namun gagal mendominasi Parlemen. Sementara di Pemerintahan, Presiden yang diusung PDIP memang menang, namun kabarnya hubungan sang Presiden dengan Partai semakin renggang. Dalam pos-pos menteri pun, kader PDIP juga tidak begitu dominan. Bahkan dalam koalisi Indonesia Hebat, peran PDIP pun agaknya setara atau bahkan tidak lebih dominan dibanding Partai Nasdem, dimana Surya Paloh sebagai tokoh sentralnya.

PAN sudah berhasil meregenerasi diri dari sosok Amien Rais. Lalu bagaimana dengan SBY di Partai Demokrat, Wiranto di Hanura, Prabowo di Gerindra, Surya Paloh di Nasdem, hingga Megawati di PDIP? Tentunya, apa yang terjadi di internal Partai akan mempengaruhi juga alam Demokrasi di negara kita. Memang ketokohan seseorang adalah simbol yang penting, terutama sebagai simbol pemersatu dan simbol kekuasaan. Untuk itu, tidak mudah bagi sebuah partai untuk melepaskan diri dari figuritas sang tokoh.

Kita masih menunggu kapan Partai Politik menjadi teladan demokrasi, bukan politik dinasti atau politik untuk kepentingan segelintir golongan. Partai yang baik adalah yang beregenerasi, berganti dari satu figur ke figur lainnya. Kalau Amien Rais saja bisa, kenapa yang lain tidak? atau jangan-jangan memang hanya Amien Rais yang bisa? Wallohu’alam.

Blitar, 26 April 2015
A Fahrizal Aziz

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini