MA akhirnya memberikan vonis 18 tahun penjara bagi mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaq yang kerap disebut LHI. Vonis itu 2 tahun lebih lama dari tuntutan awal. Selain itu, hak politiknya pun juga dicabut. Fenomena ini, menambah deretan panjang kasus korupsi yang menjerat elite kita. Apalagi, kasus ini menimpa petinggi partai dakwah, yang menjadikan nama Islam sebagai corong perjuangan.
Hampir semua percaya, jika politik adalah sebuah kultur kumuh yang berbahaya. Siapun yang berada di dalamnya, harus ektra hati-hati. Sekalipun ia seorang Ustad atau Kyai. Selama ini, LHI disebut-sebut sebagai Ustad. Dimana Ustad selalu dilekatkan dengan sifat religius dan kaya akan ilmu. Dua hal itu kemudian berdampak pada perilakunya sehari-hari.
Siapapun percaya, Ustad akan memberikan teladan yang baik. Maka banyak masyarakat yang gembira, ketika ada Ustad yang bersedia terjun ke politik. Jika politik ibarat lumpur, kehadiran Ustad diharapkan bisa menjadi air yang membasuh sedikit demi sedikit lumpur yang ada. Sehingga yang keruh terlihat lebih jernih. Untuk itulah, para caleg atau partai Islam yang isinya para Ustad, dulunya diharapkan mejadi partai alternatif, yang mengajarkan politik lebih santun dan bersih.
Namun, menurut Buya Syafii Maarif, tak ada partai Islam yang benar-benar ideal pasca Masyumi. Apalagi, sampai memimpikan lahirnya pemimpin-pemimpin sekelas Agus Salim dan M. Natsir. Akan tetapi, ekspektasi masyarakat terhadap “Islam” entah itu secara institusional maupun personal, masih sangat tinggi. Terbukti, meski tak signifikan, Partai Islam masih memiliki tempat. Bahkan jika Partai Islam bersatu, suaranya mampu mengimbangi suara partai Nasionalis.
Mungkin saja, karena ekspektasi itulah, “Politisi Ustad” menjadi salah satu “komoditi politik” sebagai upaya untuk meyakinkan masyarakat, bahwa di tangan para Ustad inilah politik bisa berjalan lebih baik, kebijakan bisa lebih memihak, dan rakyat bisa lebih sejahtera. Karena Ustad biasanya tak berorientasi pada hal-hal duniawiyah, namun bertujuan membangun kemaslahatan umat.
Pemikiran tersebut memang tak salah. Karena secara teologis, keharusan untuk memilih pemimpin yang paham agama dan berorientasi pada kesejahteraan umat adalah anjuran.
Namun, jika mengacu pada kasus LHI. Maka siapapun pasti akan mengelus dada. Karena selama ini, LHI kerap disebut Ustad oleh kader-kader atau simpatisan Partai Dakwah. Dan secara pribadi, saya pun percaya, LHI bukan sembarang Ustad. Dalam artian, dia bukan Ustad “aji mumpung” yang dipoles untuk meraih jabatan politik tertentu. Jika sudah level menjadi Presiden PKS, tentu sudah melalui penjaringan yang ketat. Penjaringan secara administatif, ideologis maupun politis.
Tapi politik tetaplah politik. Meskipun berlabel “Ustad” bukan sebuah jaminan untuk bisa istiqomah, apalagi posisi LHI adalah ketua partai, yang memiliki legitimasi kuat dalam mengontrol kader-kadernya, baik yang di dalam partai, sebagai menteri maupun di DPR. Maka ini bisa menjadi pelajaran bagi rakyat Indonesia, bahwa jaminan politik tak bisa diukur oleh gelar. Siapapun bisa terperosok, jika tak hati-hati.
Dan juga, Kasus LHI tak bisa kita jadikan argument untuk menggeneralisir bahwa “Ustad” semuanya seperti itu. Jika cara berfikirnya demikian, maka yang dirugikan adalah Islam secara keseluruhan. Walaupun, tak bisa dipungkiri, perilaku personal bisa berimbas pada institusional. Dan saya sebagai muslim, tentu sangat sedih dengan fenomena ini.
Semoga, rakyat bisa belajar banyak dari kasus LHI ini, dan tak mudah untuk terpengaruh dengan segala atribut-atribut agama yang bisa jadi hanya “bahasa politik”. dan kita berdoa, semoga Ust. LHI adalah korban terakhir dari kerasnya kultur politik kita.
Hukuman 18 tahun penjara dan pencabutan hak politik ini, semoga bisa menjadi pelajaran bagi politisi lainnya. Terutama bagi mereka yang memiliki posisi super penting seperti ketua partai. Untuk itu, wajar kiranya kalau LHI mendapatkan hukuman berat. Karena selain ia ketua Partai yang memiliki wewenang besar, yang kata Hakim MA –Artidjo Alkostar—rawan “korupsi politik”. LHI juga membawa nama Ustad dan atribut keIslaman lainnya, dimana yang dirugikan bukan lagi personal, namun juga institusional.
Ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua.
Blitar, 17 September 2014
A Fahrizal Aziz
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini