Munculnya ajaran untuk membunuh orang kafir pada buku pelajaran Pendidikan Agama Islam yang terkuak beberapa waktu lalu, menjadi satu catatan penting bahwa sebagian dari kita, bahkan yang bekerja dibalik penyusunan buku ajar tersebut, masih berfikir sangat literal. Meskipun, jika menelisik sejarah lebih utuh, memang tidak bisa dipungkiri, ada golongan tertentu yang memiliki paradigma semacam itu. Bahkan, dalam internal umat Islam, pernah terjadi peristiwa berdarah-darah. Sebut saja perang Shiffin dan Jamal. Atau konflik Syiah-Sunni, Hamas-Fatah, dll. Belum lagi perang bersejarah seperti perang salib.
Namun yang menyedihkan, istilah “Kafir” itu kemudian direduksi sebagai orang yang tidak memeluk Agama Islam atau non muslim. Padahal, sejak era Nabi Muhammad SAW, Islam tidak pernah memiliki masalah dengan non muslim, dalam arti sebagai keyakinan. Bahkan Kakek Rasullulah sendiri adalah seorang non Muslim. Musuh terbesar Islam adalah kemiskinan dan penindasan. Sebagai contoh, Piagam Madinah, dimana Nabi Muhammad Saw begitu memberikan penghargaan kepada Non Muslim, baik itu Nasrani atau Yahudi.
Namun Islam begitu kritis kepada penindasan, misalkan penarikan upeti yang tinggi kepada rakyat, pembunuhan anak perempuan, atau perbudakan yang tidak manusiawi. Bahkan untuk melawan penindasan itu, kalaupun harus mengobarkan perang, akan dijalankan.
Lantas, ketika siswa diajarkan “Boleh membunuh orang kafir”, kafir dalam perspektif yang bagaimana? Inilah yang seharusnya dijelaskan oleh guru, dalam rangka mengklarifikasi sejarah, agar tidak serta merta memandang kafir sekedar Non Muslim, tapi tentu dengan argumentasi dan alasan yang jelas. Kalau kafir hanya dalam arti Non Muslim, Nabi pun tidak pernah memiliki masalah, bahkan bisa hidup berdampingan satu sama lain.
Silahkan membenci orang kafir. Tapi jangan membenci non muslim. Karena banyak non muslim yang memberikan sumbangsih besar terhadap ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi, yang bisa kita rasakan dan mungkin saja kita belum sempat berterima kasih pada mereka. Sementara ada sebagian orang barat yang sudah merasakan khazanah keilmuan Islam, dan mereka memberikan apresiasi, seperti dengan melakukan dokumentasi ilmiah. Misalkan, meskipun pengobatan modern paling maju sekarang ini adalah Amerika, namun barat masih menempatkan Ibnu Sina/Avicenna sebagai bapak kedokteran modern.
Belum lagi peletak dasar Renaissance eropa yang konon berasal dari pemikiran-pemikiran Ibnu Rusyd, yang karyanya masih terus dikaji dan didokumentasikan. Bahkan Ibnu Rusyd mendapatkan sebuatan khusus yaitu Averous. Sementara itu, literature budaya, termasuk budaya jawa, justru lebih banyak ada di Belanda, di Leiden University. Bagi para sinistis, Belanda mencuri dari kita. Sama halnya ketika barat yang konon mencuri buku-buku dari Baitul Hikmah yang telah dihacurkan oleh Kerajaan Mongol.
Padahal, belum tentu juga Indonesia mampu merawat literature-literature kuno itu dengan baik, dan juga, andaikan barat tidak mengambil bahkan mengkonsumsi buku-buku dari Bani Abbasiyah, belum tentu juga kita mengenal nama-nama seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al Farabi, Al Jabr, dll dimana nama-nama mereka tercatat dengan rapi dalam literature barat. Dalam konteks Ilmu Pengetahuan, baik Islam maupun Barat sebenarnya memiliki hubungan yang mutualistik. Termasuk, klasifikasi yang dilakukan oleh Michael Heart yang menempatkan Nabi Muhammad Saw sebagai tokoh paling berpengaruh dalam sejarah.
Namun tidak bisa dipungkiri, gelombang kebencian sebagian Muslim kepada Barat muncul karena sikap ekspansionis dan semena-mena dari negara-negara adidaya. Sebut saja nama George W. Bush yang konon mengobarkan api permusuhan. Di Eropa, nama Ratko Mladic menjadi sangat mengerikan karena dengan tangan dinginnya, ribuan Muslim Imigran dihabisi. Ditambah dengan sentimen berupa karikatur Nabi Muhammad, atau buku Sarkastik dari Robert Morray.
Dalam perspektif politik lah konflik, sentimen, dan kebencian itu hadir. Tidak hanya Islam dan Barat, tapi dalam internal Umat Islam sendiri, konflik kerap terjadi karena benturan Politik. Contoh paling nyata adalah di Arab Spring. Islam yang keras, yang mengumandangkan La Hukma Illallah juga muaranya pada kekuasaan politik. ISIS juga bertujuan mendirikan Islamic State, dimana Khalifahnya adalah orang yang sudah mereka tunjuk sendiri. Dalam Politik inilah, sengketa itu bermula.
Sementara ada sebagian orang barat (Orientalis) yang mengkaji Islam secara obyektif, yang kemudian menulis dengan sangat baik tentang Islam, sebut saja John L. Esposito dan Karen Amstrong. Keduanya juga adalah orang barat dan juga non muslim.
Jadi, kembali lagi, kafir seperti apakah yang dimaksud? Tentu kafir tidak sebatas non muslim. Tentu bukan pula barat. Karena Barat tidak pernah membenci Islam secara Umum, begitu pun Islam yang tidak membenci Barat. Bahkan, Islam juga berkembang pesat di Barat. Lagipula, Islam pun juga tak mengenal timur dan barat.
Di negara mayoritas muslim, termasuk Indonesia, Barat juga tidak serta merta dibenci. Buktinya, film-film barat juga laris manis, terutama film Hollywood. Facebook dan Twitter juga laku keras. Apalagi Laptop dan Gadget. Komputer-komputer juga masih banyak yang menggunakan Microsoft. Apple masih menjadi gadget paling bergengsi disini. Belum lagi produk-produk barat lainnya, baik produk teknologi, seni, fashion, musik, hingga literature Ilmu Pengetahuan.
Silahkan membenci orang kafir, tapi tentukan dulu kriteria kafir. Apa kafir yang suka menindas dan berbuat kerusakan, atau yang suka berperang, memfitnah, dan sulit berdamai? Apa kafir seperti kafir Qurays? Barangkali, tokoh-tokoh agama yang paham Ilmu bahasa bisa mengkaji ini secara intens, berikut dengan pakar tafsir dan sejarah Islam, agar makna Kafir bisa dengan jelas diketahui.
Blitar, 23 April 2015
A Fahrizal Aziz
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini