Hermeneutik dalam kontroversi



Hermeneutik, sebagai metode tafsir kontemporer, menjadi sesuatu yang kontroversial dan dianggap bukan bagian dari tradisi Islam. Banyak yang menilai, dan memang terlacak bukti sejarahnya, Hermeneutik telah membredel otentitas Al Kitab yang dalam satu sisi membuat pengikutnya menjadi agnostik, atau bahkan dalam tensi tertentu justru menjadi atheis.

Kekhawatiran itu juga muncul dari kalangan muslim yang anti terhadap Hermeneutik. Jika Hermeneutik digunakan untuk menafsir/menakwil Al Qur’an, maka dikhawatirkan akan banyak sekali para muslim yang berfikiran sangat longgar atau bahkan out of context. Otentitas Al Qur’an sebagai kitab suci akan terancam.

Tapi terlepas dari kontroversi tersebut, memang sangat mustahil kalau Kitab Suci tanpa tafsir. Dalam Islam sendiri, dikenal dua tafsir populer. Tafsir Bil Matsur (intertextual dengan Hadits atau sunnah rosul) dan tafsir Bil Ro’yi yang kecenderungan dengan akal, namun tidak terlepas dari konteks waktu dimana ayat itu diturunkan.

Hermeneutik, bisa menggunakan keduanya, baik referensi teks hadits/sunnah rosul dan juga ro’yi (akal) namun bedanya, ada upaya kontekstualisasi yang sesuai dengan kekinian. Yang lain juga, dasar hermeneutik selain mengkaji teks kitab sucinya, juga mengkaji author (penulis). Umat Islam menyakini kalau Al Qur’an adalah teks yang Author-nya adalah Tuhan, meski ditulis oleh Umat-Nya.

Disinilah terjadi benturan dan debat sengit, bahwa hermeneutik tidak bisa digunakan menafsir Al Qur’an yang kita imani sumbernya dari Tuhan. Berbeda dengan Al Kitab yang kita percaya sudah di format ulang oleh Gereja atau pihak yang memiliki otoritas tertentu.

Kristen pun terpecah menjadi dua golongan, Katolik dan Protestan. Yang Katolik menyakini bahwa wakil Nabi yang mendapatkan otoritas dari Tuhan adalah Paus yang pusatnya di Vatikan. Untuk itulah, Katolik lebih mampu mengkonsolidasikan jama’ah-nya dibandingkan protestan karena terpusat. Dalam tradisi Islam, Katolik ini mungkin sejenis Syiah Imamiah di Iran.

Sementara Kristen Protestan justru berfikirnya lebih bebas dan longgar. Bagi mereka, Tuhan tidak membutuhkan Agama, yang membutuhkan adalah manusia. Maka manusia kemudian menciptakan agama dan aturan yang mereka butuhkan. Sebagian mereka juga menyakini jikalau ada banyak kesalahan dalam Al Kitab, itu suatu kewajaran karena ditulis oleh manusia. Bahkan, penunjukkan Yesus sebagai Tuhan pun suatu yang dimaklumi karena mereka menyakini kalau Yesus adalah manusia terbaik yang diciptakan Tuhan dan berhak menjadi simbol keTuhanan.

Protestan menganggap Agama sebagai (sekedar) institusi, bukan hal sakral yang langsung dilegitimasi oleh Tuhan sebagaimana yang diyakini oleh Muslim.

Namun seiring waktu berjalan, ketika hermeneutik benar-benar digunakan untuk menafsir Al Qur’an, kekhawatiran akan lemahnya sisi fundamental agama Islam itu tidak selalu terbukti. Yang ada, justru sebaliknya, Al Qur’an bisa disebut sebagai kitab suci yang paling adaptatif dengan jenis tafsir macam apapun. Di Amerika, ada sosok kharismatik asal Pakistan yang secara serius mengkaji Hermeneutik sebagai tafsir kontemporer. Tentu beliau mempertimbangkan banyak hal, termasuk dengan membatasi Hermeneutik sebagai sebuah takwil atas suatu ayat. Takwil itu kemudan disandarkan pada hal-hal yang lebih kontekstual.

Contoh sederhana, istilah Mustad’afin misalkan. Secara definitif bisa berarti orang-orang yang tertindas. Namun dengan hermeneutik, orang-orang yang tertindas itu bisa dimaknai macam-macam sesuai dengan konteks zaman. Kalau zaman nabi orang-orang terindas itu adalah para budak, di era kekinian, dengan tafsir hermeneutik, orang-orang tertindas itu bisa macam jenisnya.

Misal buruh pabrik yang bekerja lebih dari 12 jam sehari dengan gaji di bawah UMR. Bisa juga buruh outsourcing yang hidupnya bergantung pada kontrak jangka pendek dan tidak mendapatkan jamsostek. Bisa juga Direksi BUMN yang diperas oleh oknum birokrat demi sebuah misi politik, atau Mahasiswa yang mendapatkan apresiasi rendah padahal beban studinya sudah melampui aturan yang ada.

KH. Ahmad Dahlan misalkan, menemukan kunci hermeneutik dengan melawan TBC (Takhayul, Bid’ah, Khurafat) karena dahulu, banyak orang miskin yang hidup saja sudah, harus terbebani dengan adat dan tradisi yang sangat jauh dari nilai-nilai ajaran Islam. Mereka tertindas secara budaya. Selain itu, dengan mendirikan PKO (Penolong kesengsaraan Oemoem) juga bagian dari upaya menolong orang-orang tertindas tersebut.

Prof. Amin Abdullah menemukan kunci hermeneutik baru ketika mendapati kaum difable (tuna daksa/cacat) yang memiliki akses rendah terhadap pendidikan karena minimnya fasilitas dan jangkauan publik. Menurutnya, para difable itu termasuk orang-orang yang tertindas karena negara tidak memberikan fasilitas dan kesempatan yang dapat mereka akses. Untuk itulah, beliau menggagas kampus inkuli dan mendirikan Pusat Layanan Difable di kampus yang beliau pimpin.

Gagasan hermeneutik lain misalkan, yaitu melihat banyaknya konflik antar suku dan agama, maka muncullah gagasan pluralism. Meskipun gagasan ini lumayan debatable.

Semakin berkembang zaman, semakin banyak pola yang berubah dalam kehidupan, dan disanalah Al Qur’an merangsang setiap Muslim untuk selalu Iqra’ (membaca) dan tatafakkaru (berfikir). Jadi, hermeneutik sebenarnya bukanlah sesuatu yang cukup gawat. Pada satu sisi, hermeneutik justru membantu menemukan solusi baru, apalagi dalam bidang sains. Banyak fakta-fakta sains yang ditemukan dalam Al Qur’an, dan itu juga bentuk lain dari tafsir hermeneutik.

Apapun kekhawatiran tentang hermeneutik, sebagai muslim, saya yakin jika tak mudah untuk meruntuhkan otentitas Al Qur’an. Bahkan terbukti sebaliknya, banyak ilmuwan yang menemukan fakta-fakta ilmiah dalam Al Qur’an. Dan sebagai muslim, kita harus selalu yakin bahwa Al Qur’an adalah kitab yang diturunkan langsung oleh Allah Swt melalui perantara Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw.

Jika sudah yakin dan mengimani Al Qur’an, maka tak perlu khawatir, Dzalikal kitabu la roibafih. (*)

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini