Pada pilpres 2014 silam saya mendukung Jokowi-JK sebagai Presiden. Sebagai pendukung, saya ikut ‘kampanye’, meski dalam bentuk tulisan. Saya menulis di blog dan juga media warga seperti Kompasiana tentang alasan kenapa saya mendukung Jokowi-JK. Sebagai warga biasa, bagi saya dukung mendukung adalah hal yang wajar, bahkan saya tidak membayangkan bahwa pilpres 2014 silam berjalan cukup emosional antar pendukung. Beberapa bulan, bahkan setelah pilpres berakhir, masih ada yang memberikan sejenis umpatan kepada saya melalui pesan di beberapa akun media sosial atau di akun media warga yang isinya kurang lebih begini : Nyesel kan milih Jokowi?
Dalam tulisan ini saya akan mencoba memberikan komentar secara jujur tentang kepemimpinan Jokowi-JK setidaknya dalam tahun pertamanya.
Saya sebenarnya bukan pengagum Joko Widodo, saya sedikit mengagumi Jusuf Kalla. Tetapi secara figur, jika harus memilih siapa Presiden setelah SBY, maka saya memilih Dahlan Iskan. Namun suasana politik kala itu sedang tidak baik, terutama untuk Partai Demokrat yang akan mengusungnya sebagai capres. Sementara, figur Jokowi sudah sangat dikenal dengan beragam image yang melekat. Namanya pun juga mudah disebut dan diingat. Karena itu, kemudian PDIP membidiknya.
Pada waktu Pak Jokowi bersedia dicalonkan sebagai Presiden dimana masih ada amanah Gubernur kala itu, sebenarnya saya termasuk yang mengkritik. Karena ketersediaannya maju sebagai capres, akan membuat elektabilitas figur-figur lain, yang mungkin lebih memiliki kesempatan yang luas, menurun. Terbukti, hingga diakhir pendaftaran calon, hanya mengerucut dua pasangan itu.
Karena hanya ada dua pasangan, dengan berbagai pertimbangan dan keinginan untuk ikut bersuara dan berpartisipasi dalam pesta politik, saya mendukung Jokowi-JK. Alasannya, karena ada Pak JK. Itu saja. Andaikan kala itu Jokowi tidak menggandeng Pak JK. Mungkin saya akan golput.
Bagi saya, pesta politik semacam pemilu itu adalah pesta bersama. Pesta untuk para calon, tim sukses, partai, hingga rakyat yang akan memilihnya. Ikut ber-opini, ikut berpartisipasi (meski tidak secara praksis) adalah hal yang biasa. Tidak ada yang salah dan tidak ada yang perlu dipersalahkan. Saya memilih mendukung Jokowi-JK dan saya tidak perlu mempermasalahkan atau menyalahkan yang berbeda. Saya ingin berupaya semaksimal mungkin untuk tidak mencampur-adukkan emosi dan kebencian dalam setiap pilihan yang dibuat.
Meskipun kita bisa mendapati betapa banyaknya “emosi” yang muncul dimana-dimana, yang sudah pada taraf menghina, mencaci, memperdaya publik dan memfitnah. Bahkan yang melakukan itu tidak hanya warga biasa, tokoh yang mustinya menjadi panutan kita pun juga kadang khilaf dan mengikuti emosinya. Emosi itu tidak padam, bahkan semakin menjadi-jadi setelah pilpres berlangsung. “Emosi” itu juga hinggap pada orang-orang yang dulunya menjadi pendukung.
Sekedar komentar
Sebagai warga biasa, yang hanya bisa bersuara dan memilih presiden, dan tidak bisa menentukan kebijakan atas hal-hal yang strategis, ditambah minimnya pengetahuan yang saya miliki, yang mungkin saja kritik saya nanti akan berisi “kritik kosong” karena kurangnya pemahaman atas suatu hal. Tapi saya ingin mengomentari kepemimpinan Jokowi-JK dalam setahun terakhir ini.
Dalam bidang Politik, Hukum, dan HAM. Kita merasakan betul terjadinya kelimbungan. Minus suara parlemen yang membuat citra Pemerintah dan Parlemen pun nampak tidak harmonis. Meskipun ketidak harmonisan itu ternyata bukan hanya dari oposisi, tapi juga dari dalam sendiri. Ada banyak orang-orang dalam yang kemudian menjadi orang luar. Suasana politik yang ada semakin tak menentu.
Dalam hukum, kita juga mendapati kembali adagium “siapa kuat, dia menang”. Keterpilihan Menteri yang membidangi hukum dan memiliki hubungan erat dengan parpol, keterpilihan pimpinan tertinggi Kejaksaan, yang juga memiliki hubungan erat dengan parpol, munculnya pra peradilan, kisruh KPK-Polri, Kriminalisasi, dan lain-lain. disanalah, orang seperti kita, yang hanya warga biasa, tidak tahu apa yang harus diperbuat. Yang biasa hanya bersuara, dan itupun mempengaruhi nol sekian persen. Hampir tidak ada.
Saat seperti inilah, Presiden dan jajarannya, memiliki peluang besar untuk menuntaskan hal-hal yang tidak bisa dituntaskan oleh warga biasa yang tak memiliki wewenang apa-apa. Jadi, tidak perlu mengatakan “mengkritik saja mudah”, karena kalau tidak mengkritik, apa lagi yang bisa diperbuat? Kalau warga biasa bisa menuntaskan masalahnya, kenapa dia harus meminta Presiden turun tangan?
Selanjutnya, yang mungkin sangat saya sesalkan adalah hukuman mati kepada beberapa gembong narkoba. Sekilas memang terlihat gagah dan tegas, tapi perlu diingat, hukuman mati itu muncul ketika tingkat kepercayaan publik menurun terhadap pemerintah. Selain banyaknya argumentasi yang menentang eksekusi hukuman mati, di lain hal ada upaya untuk memperbagus citra. Hukuman mati yang ‘membunuh’ pengedar narkoba sekilas memang terlihat baik, tapi narkoba yang beredar tidak serta merta aksi pengedar. Ada produsen yang susah terendus hukum, ada konsumen primer-sekunder yang menjadi pasar narkotika, bahkan ada oknum penegak hukum yang terlibat. Tentunya, beredarnya narkotika tersebut adalah ulah jejaring yang telah menjadi rangkaian sistem. Membunuh pengedarnya saja bukan sebuah solusi.
Logika yang sering digunakan adalah, dengan membunuh satu pengedar bisa menyelamatkan sekian ratus ribu warga. Itu logika yang keliru, karena pengedar bukan pembunuh, dan pengguna narkotika juga bukan orang yang terpaksa menggunakan, kadang justru konsumen lebih aktif mencari. Disinilah, alih-alih ketegasan yang dibuat, justru terkesan hukum sebagai ajang balas dendam.
Di bidang ekonomi, tentu kita bisa mendapati begitu banyak kompleksitas pasar yang fluktuatif, naiknya harga-harga akhibat naiknya BBM, merosotnya pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah terhadap dollar yang terus turun, dll. Sebenarnya, soal ekonomi, saya kurang begitu paham detailnya, tapi mungkin ada hubungan erat dengan pergulatan politik ekonomi dunia antara Eropa, Amerika, dan China/Tiongkok. Pencabutan subsidi di berbagai sektor mungkin juga mempengaruhi banyak hal.
Menurut saya, raport ‘terburuk’ era Jokowi-JK adalah dalam bidang Polhukam, meskipun banyak yang berpendapat dari segi ekonomi, makanya resufle kabinet yang lalu lebih menyorot ke isu ekonomi. Tapi, saya agak menyayangkan ketika posisi menteri yang membidangi polhukam, diserahkan kepada seseorang yang memiliki hubungan dengan partai politik. Tidak hanya menteri, tapi juga lembaga lain yang sekelas dengan menteri, misalkan kejaksaan. Karena hukum ini seperti pisau bermata dua, disatu sisi bisa mengungkap keadilan, tapi disisi lain bisa menjadi ‘alat politik’ yang kejam.
Kita tentu tidak ingin kembali ke masa lalu, ketika hukum bisa dengan gampang digunakan untuk meringkus mereka-mereka yang secara politik berseberangan dengan rezim. Karena harus diakui, di era serba terbuka seperti ini, kegaduhan politik dan kelimbungan hukum bisa mempengaruhi banyak hal, termasuk ekonomi.
Diluar dari itu semua, kita menyadari betul jika era Jokowi-JK ini penuh dengan tantangan, baik internal maupun eksternal. Pertaruhan antara idealisme ‘koalisi tanpa syarat’, trisakti, nawacita, dsj dan kenyataan politik yang kadang saling bertolak belakang. Benturan antara optimisme dan realitas yang kadang sangat dilematis. Baik sosok Presiden maupun Wapres adalah orang yang tidak lagi memiliki kekuasaan penuh di Partai.
Berbagai problematika yang ada sebagian adalah pekerjaan rumah jangka panjang yang musti diatasi, misalkan soal penegakan hukum, itu menjadi amanah reformasi yang terus didengungkan hingga kini. Ada banyak suara sumbang yang mencoba mendramatisir suasana, yang bertumpukan dengan kepetingan politik sektoral yang kadang kala membuat keadaan seolah begitu genting.
Padahal, betapapun negatifnya apa kata media tentang kondisi negara kita saat ini, kita harus tetap bersyukur dengan keadaan yang ada. Stabilitas sosial kita lebih baik daripada beberapa negara timur tengah yang terus dilanda conflict of interest. Di Malaysia pun, rivalitas politik sudah dalam taraf yang cukup mengkhawatirkan. Kemaren, dan dalam beberapa kesempatan, kita masih melihat Pak Jokowi dan Pak Prabowo, yang bertempur di Pilpres, nampak bersahabat dan seolah tak ada rivalitas. Itu adalah modal sosio-politik yang sangat luar biasa.
Perihal fluktuasi ekonomi, akses pekerjaan, nilai tukar rupiah, pembangunan infrastruktur dan lain-lain, biarlah berjalan sesuai dengan rancangan pembangunan yang telah dibuat. Sebagai warga, kita tentu boleh bersuara, mengkritik dan memberi saran, namun jangan sampai mencampur adukkan “emosi” dengan membumbuhi kata-kata yang bisa melecut pertikaian.
Kita harus bersama menjaga ekspektasi publik terhadap kepemimpinan sekarang ini selama lima tahun kedepan. Pertanyaan kecewa atau tidak kecewa itu adalah sesuatu yang semestinya tak muncul karena kita tidak sedang memilih baju di butik, kita tengah memilih pemimpin yang harus menyelesaikan kompleksitas permasalahan dan itu tidak mungkin bisa terselesaikan dalam waktu setahun atau mungkin lima tahun kedepan. Butuh penyadaran bersama dan kontribusi dari mulai hal-hal kecil yang bisa kita perbuat.
Saya tidak pernah menyesal dengan pilihan saya, karena andaipun bukan Jokowi-JK yang memimpin bangsa ini, kita juga tidak tahu akan lebih baik atau malah lebih buruk. Masing-masing dari kita hanya menduga, dan itu jelas hanya akan menghabiskan waktu karena tidak mungkin terjadi. Menyalahkan memang mudah, tapi mengkritik itu tetap perlu. Karena mendukung beda dengan mengkultuskan, dan mengkritik bukan berarti benci.
Terima kasih sudah membaca. (*)
Blitar, 22 Agustus 2015
*A Fahrizal Aziz
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini