Statement yang dilontarkan Tuah di akun facebooknya yang kemudian di chapture oleh banyak orang, termasuk media massa, sebenarnya bukan hal yang baru. Banyak yang memiliki pola pikir seperti Tuah, bahwa misalkan, Muhammad adalah penafsir tunggal, atau Al Qur’an itu adalah serupa mahluk yang bisa saja salah. Atau juga, dibutuhkan tafsir yang lebih kontekstual agar relevansi dari ajaran-ajaran Islam itu bisa terus mengikuti zaman.
Pemikiran yang semacam itu banyak kita temui, dan pada taraf tertentu, tidak menimbulkan gejolak. Kasus Tuah ini menjadi heboh hanya karena pemilahan diksi, sekaligus perilakunya yang memang terlalu berlebihan seperti melempar Al Qur’an. Dua hal ini sebenarnya bukan substansi, melainkan hanya cara menyampaikan. Inilah yang membuat suasana menjadi riuh.
Sama halnya dengan tema Ospek Fakultas Usludin UIN Surabaya beberapa waktu lalu yang menggunakan diksi “Tuhan membusuk”. Secara substansi, deskripsi atas tema besar itu bukanlah sesuatu yang baru, namun menjadi heboh karena diksinya yang terlalu bombastis, seolah hendak menyamai “Kematian Tuhan”-nya Nietzse.
Dari beberapa foto yang beredar, kita mendapati Tuah tengah memegang sebuah bendera salah satu Organisasi Mahasiswa Islam terbesar di Indonesia. Menurut informasi, Tuah juga masih menginjak semester lima. Semester yang masih menyala-nyala sebagai aktivis mahasiswa, yang terbiasa dengan pergulatan wacana. Apalagi, di Organisasi yang memang memiliki concern atas itu.
Memang ada sedikit perbedaan jika mengkaji Agama dalam perpesktif akademik dengan mengkaji agama dalam perspektif untuk ibadah. Sebagai kerangka ilmu, agama dikaji layaknya sains. Dalam pengkajian sains, kritik menjadi suatu yang lumrah. Misal, ada teori yang mengatakan Bumi adalah pusat tata surya, teori itu bisa terbantahkan setelah ada fakta baru bahwa ternyata pusat tata surya adalah matahari. Selama pengkritiknya memiliki data dan fakta, ia tak bisa disebut “berdosa”.
Berbeda jika mengkaji agama untuk ibadah. Biasanya di pesantren atau di madrasah diniyah, pelajarannya pun berkutat pada hal-hal ubudiyah. Ilmu yang dipelajari adalah untuk diamalkan, bukan dipertanyakan.
Apa yang disampaikan Tuah melalui akun facebooknya itu, semestinya tidak serta merta disebut “Menghina Islam”. Ada hal lain yang bisa diperdebatkan lebih panjang, misalkan kenapa Tuah menulis “Muhammad sebagai penafsir tunggal, dan Al Qur’an perlu di revisi”. Lalu ada tambahan “Minimal kembalikan saja urusan itu ke negara biar negara saja yang merelevansikannya sesuai dengan kebutuhan zaman”.
Tuah mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah “Penafsir”. Artinya, Nabi lah yang memahami makna secara spesifik atas Al Qur’an tersebut. Lalu kenapa yang direvisi Al Qur’an? Seharusnya adalah tafsirnya. Kalau hanya soal tafsir sudah ada mufassir setelah Nabi, sebut saja Ibnu Katsir, At Thabari, Ibnu Atiyah, Fakr Ar-Razi, Rasyid Ridhlo, hingga Husain Az-Zahabi.
Tetapi karena ia menyebut Nabi sebagai “Penafsir tunggal” itu berarti tidak ada yang berhak menafsirkan lagi? tetapi kenapa ia menulis diberikan saja kepada negara (agar di tafsirkan negara). Ini tentu saja sangat kontradikrif dengan kalimat sebelumnya.
Mungkin maksud Tuah bukan Al Qur’an yang direvisi, melainkan tafsir-nya yang butuh pembaharuan (tadjid). Kalau itu, tentu sudah banyak Ulama yang melakukan. Bahkan dalam kultur kontemporer, dikenal istilah tafsir hermeneutik yang juga kontroversial itu, dalam rangka melakukan kontekstualisasi atau dalam bahasa tuah “merelevansikannya”.
Kalau begitu, ini memang pure soal diksi. Hanya soal bagaimana merangkai kata yang tepat agar maksud substansialnya bisa tersampaikan.
Tapi harus kita pahami, Tuah dan mahasiswa yang memiliki pemikiran seperti dirinya itu karena dipengaruhi banyak faktor. Salah satunya, wacana post-modernisme yang populer belakangan ini. Terutama setelah era reformasi. Post-moderisme mencoba menanyakan ulang segala kepastian-kepastian yang dibangun oleh era modernisme, yang dikuasai sepenuhnya oleh Sains dan industrialisasi. Segala hal mulai dipertanyakan, mulai dari Politik, seni, sains, hingga agama. Istilah ini juga kerap disebut dekonstruksi.
Sebagai Mahasiswa hukum, Tuah mungkin mencoba mendekonstruksi tafsir/ajaran/pemahaman yang selama ini diyakini mayoritas masyarakat. Hanya saja, dia tidak menjelaskan secara spesifik bagian mana yang hendak di dekonstruksi. Ia hanya membidik secara umum. Kita tentu harus memahami posisi Tuah yang masih mahasiswa semester lima dan tengah gegap gempitanya dengan wacana-wacana. Sama halnya dengan orang baru pertama kali ke bandara dan takjub melihat mewahnya pesawat. Ia akan berbicara panjang lebar tentang suasana bandara dan pengalaman naik pesawat itu ke orang-orang.
Semestinya, Tuah tidak lekas di D.O, dia masih butuh bimbingan para dosen agar belajar lebih bijak dalam menyampaikan sesuatu. Apalagi, dia baru menginjak semester lima yang itu berarti tengah dalam masa transisi menuju kematangan berfikir. Sebaiknya pula, media tidak lekas membungkus-nya dengan stigma “penghina Islam”. Sekalipun kita geram dengan postingannya.
Setelah heboh karena postingan yang kontroversial itu, saya mencoba mencari akun facebooknya, namun sudah tidak ada. Yang ada adalah akun twitter yang sudah lama tidak aktif dan juga blognya di batubaraf1.blogspot.com. sepertinya Tuah memang rajin membaca, diskusi, dan semacamnya. Harusnya dia memberikan klarifikasi atas kasusnya ini, setidaknya melalui esai. Klarifikasi, ucapan minta maaf, atau penjelasan lebih utuh tentang postingan-postingannya.
Dengan kapasitas yang dia miliki, harusnya dia bisa menjadi mahasiswa yang cermerlang. Tapi entahlah kenapa bisa jadi seperti ini. (*)
Blitar, 25 September 2015
A Fahrizal Aziz
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini