Para Sarjana tak harus membuka lapangan kerja



Ada yang mengatakan kalau sarjana semestinya tidak mencari kerja, tapi menciptakan lapangan pekerjaan baru agar bisa mempekerjakan orang-orang yang belum bekerja. Saran itu sangat bagus dan konstruktif, namun sebenarnya tidak selalu relevan pada semua jenis pekerjaan. Mereka yang belum bekerja, atau katakanlah pengangguran, tidak semata karena belum mendapatkan pekerjaan, melainkan karena tidak memiliki skill pada bidang pekerjaan tertentu. Misalkan, ada lowongan pekerjaan menjadi penjaga warnet, namun yang bersangkutan sama sekali buta teknologi, dan kalau di paksa bekerja, hasilnya juga tidak maksimal.

Begitu pun misalkan, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang desain. Ada banyak lowongan untuk menjadi desainer visual, tapi tidak semua orang memiliki skill tersebut. Salah seorang editor senior di koran terkenal di Malang juga sempat mengeluhkan susahnya mencari wartawan. Juga sebuah CV jasa pengembang website yang susah mencari kontent writer. Belum lagi bidang lain seperti Pendidikan, akuntan, translator, dll. Masalah utamanya bukan kurangnya lapangan pekerjaan, tapi minimnya skill yang dimiliki sehingga meskipun ada lowongan pekerjaan, mereka tidak terserap.

Dan untuk membuka lapangan pekerjaan pun juga tidak mudah. Selain butuh skill, jaringan, kemampuan manajemen dan leadership. Membuka lapangan pekerjaan adalah hal yang bagus, atau minimal memiliki usaha yang dikerjakan sendiri. Tapi masuk dalam sebuah perusahaan dan lembaga untuk ikut mengembangkan di dalamnya juga tidak kalah bagus. Meskipun tidak menciptakan lapangan pekerjaan baru, tapi ikut mengembangkan lapangan pekerjaan yang sudah ada juga sangat penting.

Misalkan, Sarjana ekonomi yang akhirnya bekerja di sebuah perusahaan retail. Selain dia bekerja sesuai posisi yang dia emban, dia juga bisa melakukan inovasi atau kreatifitas agar pekerjaannya lebih baik dibandingkan yang bekerja di posisi itu sebelumnya. Misalkan juga, sarjana pendidikan yang akhirnya mengajar di sebuah sekolah yang kurang maju. Dia kemudian memberikan ide-ide, mencari jaringan, dsb sehingga sekolah itu bisa lebih maju.

Bisa juga, sarjana pertanian yang kemudian bekerja di departement pertanian dan ikut serta mengembangkan pertanian dengan sumbangsih pemikirannya. Kemampuan mengembangkan lembaga yang sudah ada itu sering disebut interpreneur. Jadi, bangsa ini memang membutuhkan banyak enterpreneur, tapi juga membutuhkan interpreneur agar lembaga-lembaga yang sudah ada, bisa lebih maksimal perannya. Masih banyak sekolah-sekolah yang meski gurunya rata-rata sarjana, tapi lembaganya kurang maju. Memang ada pemerintah yang bertugas mengurus itu, tapi mengandalkan pemerintah terbukti tidak selalu bisa.

Banyak juga lembaga-lembaga formal yang pelayanannya tidak maksimal atau programnya kurang berjalan baik. Sementara sarjana-sarjana yang cemerlang justru bekerja di sektor informal. Misalkan, kenapa Televisi Nasional yang dikelola Pemerintah, yang usianya setengah abad lebih, bisa dengan mudah tersaingi atau bahkan kalah dengan televisi swasta yang usianya belum genap dua dasawarsa. Tentu akan berbeda jika misalkan  teknisi terbaik setiap universitas kemudian direkrut untuk mengembangkan lembaga tersebut.

Bisa juga seorang teknokrat yang memutuskan untuk berwiraswasta dengan membuat lembaga penelitian seadanya. Lembaganya itu barangkali bisa mempekerjakan orang, tapi andai dia bekerja di lembaga yang memiliki akses dan dana yang besar, bukankah kemampuannya itu bisa lebih terwadahi? Kita melihat sendiri salah seorang ahli mobil listrik, yang di perusahaan sebelumnya di Jepang memiliki ruang terbuka untuk mengaktualisasikan karya-karyanya, namun nampak terseok-seok ketika harus berjuang sendiri dengan fasilitas seadanya.

Andaikan dia bekerja di perusahaan mobil listrik nasional misalkan (andaikan ada) dan didukung oleh fasilitas dan pendanaan yang kuat dari pemerintah, tentu akan luar biasa. Dana yang digelontorkan untuk produksi itu tidak habis begitu saja, setelah karya jadi dan pasar dalam negeri terbuka, maka bisa menjadi incomenegara yang besar pula.

Yang menjadi soal kemudian, berapa banyak sarjana cemerlang yang bersedia bekerja di lembaga pemerintah yang aturan birokrasinya begitu ketat itu? inilah yang membuat mereka masuk ke sektor swasta atau setidaknya membuka pekerjaan sendiri. Ada banyak lembaga swasta yang akhirnya lebih maju, dan tak sedikit lembaga pemerintah yang menyerap tenaga non ahli karena desakan kebutuhan.

Jadi tidak harus membuka lapangan pekerjaan sendiri, bisa juga masuk dan mengembangkan lapangan pekerjaan yang sudah ada. Karena menjadi enterpreneur maupun Intrapreneur, keduanya sama pentingnya.

Blitar, 11 September 2015
A Fahrizal Aziz

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini