Untuk apa membaca novel?



Setidaknya, muncul beberapa pertanyaan baru sebelum akhirnya menjawab judul diatas. Pertama, apakah pertanyaan “untuk apa membaca novel?” itu cukup penting ditanyakan, termasuk cukup pentingkah bagi seorang novelis sendiri, yang memproduksi novel-novel, untuk menjawab pertanyaan diatas? Apakah kiranya, seorang novelis juga perlu untuk menjelaskan secara argumentatif kenapa orang-orang harus membaca novel miliknya?

Novel sebenarnya bacaan yang cukup populer, setidaknya, dibandingkan Jurnal atau buku ilmiah yang menggunakan bahasa-bahasa interdispliner itu. “Saingan” terberat novel adalah buku-buku motivasi, buku-buku how to, atau buku-buku teks pelajaran yang memang diwajibkan. Selebihnya, novel menjadi semacam bacaan tambahan yang perlu tidaknya dibaca, tergantung ada atau tidaknya waktu.

Alasannya, novel tidak bisa dibaca sepotong-sepotong. Novel hanya bisa dinikmati jika kita benar-benar selesai membacanya, dan biasanya tebal novel rata-rata diatas 100 halaman. Berbeda dengan buku-buku how to, atau buku hasil penelitian, yang bisa langsung melompat ke bab tertentu. Yang seperti ini, biasanya untuk mengerjakan makalah atau tugas karya tulis lainnya.

Membaca novel memang butuh waktu, atau bagi yang susah untuk menikmatinya, membaca novel sangat menyita waktunya. Kadang butuh berjam-jam, atau bahkan berhari-hari untuk mengkatamkan satu novel. Yang lain juga, ada anggapan bahwa novel adalah jenis buku yang “berkelamin” perempuan. Artinya, banyak dari kita, terutama para pelajar sekolah yang merasa bahwa membaca novel adalah kerjaan perempuan. Laki-laki, umumnya membaca komik atau bermain playstation.

Belakangan, novel banyak diadaptasi ke layar lebar. Penerimaannya terbilang tinggi dibandingkan novel-nya itu sendiri. Contoh, novel Laskar Pelangi yang ketika di film-kan terjual sekitar 500.000 eksemplar, ketika diadaptasi menjadi film penontonnya mencapai 4 juta lebih dan merupakan film dengan rekor penjualan tiket tertinggi hingga saat ini. Juga novel-novel lain yang penjualan eksemplarnya berkisar antara puluhan hingga ratusan ribu, ketika di film-kan penjualan tiketnya mencapai 1 juta lebih.

Fenomena ini sangat unik. Bahwa para penonton yang jumlahnya beberapa kali lipat dari total pembaca itu sebenarnya sudah lama tahu novel itu, dan karena suatu hal mungkin belum atau tidak membacanya. Atau bisa juga, mereka tidak membeli novel itu namun sudah membacanya dari meminjam di perpustakaan atau meminjam teman. Itu berarti, sebenarnya, ada potensi besar bagi novel untuk terus hidup dan menjadi sumber energi untuk industri film, FTV, hingga Sinetron yang belakangan juga banyak mengadopsi dari novel yang kemudian dikembangkan ceritanya, semisal karya-karya Asma Nadia.

Tapi lebih dari itu, novel semestinya tidak semata menjadi ‘produk komersil’. Ada hal lain yang lebih dalam, sebagaimana yang dikatakan John Dewey dalam Art as Experience bahwa lewat karya-karya itu (dalam hal ini novel) kita bisa memasuki kemungkinan-kemungkinan pemaknaan lebih dalam atas pengalaman. Bahkan secara reflektif, Martin Heidegger menyebut sebuah karya adalah  The Happening of truth itself. Artinya, sebuah karya itu mampu menyadarkan kita pada berbagai kepalsuan dan kemandegan selama ini.

Betapa terkoyaknya kita ketika misalkan, membaca “Di bawah lindungan Ka’bah” yang ditulis Buya Hamka, yang memotret penderitaan dua sejoli yang saling mencintai, tapi terhalang oleh budaya karena ada kelas antara si kaya dan si miskin. Atau betapa tersadarkannya kita setelah membaca “Robohnya suara kami” yang berisi kritik baru atas praktek keberagamaan yang individualistik, padahal Tuhan yang dia sembah tersimbol sangat impersonal.

Juga betapa mahfumnya kita tentang perasaan dilematis seorang Ronggeng dalam Trilogi “Ronggeng dukuh Paruk”, demi melestarikan adat dan budaya, dia harus mengorbankan keinginannya untuk menjadi perempuan yang hanya loyal pada suami. Juga, betapa tertohoknya kita dengan 11 anak dari sekolah miskin di Belitong dalam “Laskar Pelangi” yang memiliki semangat besar untuk sekolah, sementara disisi lain, banyak kita ditemui di realitas, mereka bermalas-malasan ditengah fasilitas dan kemewahan yang ada.

Laskar Pelangi, tentu tidak hanya menyuguhkan sikap semangat anak-anak miskin itu menuntut ilmu, tapi juga mengandung pesan sekaligus kritik yang lebih luas. Misalkan, tentang kemiskinan yang tersistem dalam sebuah wilayah yang kaya raya dengan hasil minyaknya, kemerdekaan anak-anak bangsa yang dirampok oleh korporasi, serta optimisme bahwa masih ada guru-guru yang rela tak dibayar demi mencerdaskan mereka.

Membaca Laskar Pelangi, selain memotivasi dan mengharukan, juga membuat kita kesal dan menanyakan hal yang sangat mendasar lainnya tentang bagaimana mungkin mereka bisa hidup miskin ditengah melimpahnya sumber daya alam, keindahan wisata, dan lain sebagainya?

Tentu, informasi yang bercampur dengan emosi itu tidak bisa kita temukan dalam jenis tulisan lain. Novel mungkin memberikan kita informasi atau paradigma baru tentang suatu hal, namun disaat yang bersamaan, novel mengajak kita untuk memasuki alam perasaan yang mendalam, yang kata Schopenhauer bisa memberi “akses langsung” menuju hakikat terdalam kenyataan.

Sehingga, novel tidak semata menyuguhkan keindahan yang dibingkai dalam unsur instrinsik semisal tokoh, alur, dialog, setting, bahasa dan sejenisnya. Tapi secara lebih jauh, novel juga menyuguhkan atau sekurang-kurangnya mengajak kita berdialog tentang suatu kebenaran. Novel memang tidak secara eksplisit membidik logika kita sebagaimana buku pemikiran atau jurnal, tapi secara tidak langsung ia membidik dua hal : logika dan rasa.

Jika demikian, semestinya novel memang bukan sekedar pelengkap. Novel bisa menjadi sumber energi bagi kehidupan. Novel dibutuhkan sebagai teman “ngobrol” tentang realitas. Mereka yang duduk bersama secangkir teh, sepotong roti, dan sebuah novel ditangannya, sebenarnya sama juga dengan mereka yang berbincang serius dengan seseorang yang bercerita tentang suatu hal serius yang mereka tekuni dan teliti.

Tapi kembali lagi, memang tidak semua novel menyuguhkan hal-hal tersebut. Tidak semua novel membidik kerumitan dan kompleksitas atas realitas yang terjadi. Ada juga novel yang memang hanya mengejar sesuatu yang komersil, meskipun tidak semua yang komersil itu dangkal.

Selebihnya, penting tidaknya membaca novel, itu kembali lagi ke preferensi masing-masing. Segalanya, harus berangkat dari keingintahuan yang tinggi. (*)

Blitar, 12 September 2015
A Fahrizal Aziz
(*) Blogger, Pengurus FLP Jatim, Penggiat Sastra Balitar.

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini