1 Tahun Jokowi-JK, Sebuah Pembelajaran Kebangsaan



Menurut Prof. Azyumardi Azra dalam sebuah Talk Show di Televisi, satu tahun kepemimpinan Jokowi-JK masih disibukkan pada hal-hal administratif. Semisal soal nomenklatur, pemilihan pejabat eselon dan lain sebagainya. Selain itu, terlihat rasa canggung atas suana politik yang ada. Antara ingin lepas sama sekali dengan kepentingan partai, atau ingin fokus kerja dengan barisan Menteri-menteri Independen.

Bagi saya, terlepas dari baik tidaknya kinerja, satu tahun kepemimpinan Jokowi-JK ini bisa menjadi pembelajaran kebangsaan bagi siapapun. Tidak hanya elite politik, namun juga rakyat biasa seperti saya.

Pertama, Jokowi-JK adalah satu-satunya pasangan sipil yang dipercaya oleh rakyat secara langsung untuk memimpin bangsa ini. Artinya, mindset bahwa pemimpin harus dari militer (yang mungkin saja merupakan bagian dari cara berfikir orde baru) sudah sedikit bergeser. Reformasi, sedikit demi sedikit mulai menemukan bentuknya.

Kedua, kita mendapati barisan relawan atau tim sukses atau tim kampanye yang tidak selalu solid pasca menangnya calon yang diusung. Begitu pun sebaliknya, tidak sedikit yang awalnya bukan mendukung, namun kemudian turut mendukung demi keutuhan bangsa dan negara. Dua hal ini menjadi pembelajaran berharga sekaligus mengukur sejauh mana kedewasaan kita sebagai sebuah bangsa.

Namun tak sedikit pula yang karena tidak mendukung Pak Jokowi-JK dalam pilpres, tetap konsisten sebagai kritikus, atau setidaknya sinikus yang menertawakan bahkan mengumpat. Tipe ini hanya menjadi penonton dan memperkeruh suasana yang memang sudah keruh tanpa memberi solusi.

Sementara, ada Partai seberang yang bergabung dan ingin ikut menjaga keutuhan bangsa, malah disebut penghianat dan semacamnya. Ini benar-benar menjadi sebuah pembelajaran berharga bagi kita semua, bahwa ada banyak tipikal orang yang ketika dibenturkan oleh politik, nampak sisi lain yang mengejutkan, mengharukan, dan menggelikan.

Dalam eskalasi politik yang berkembang sendiri, kita mengetahui sejauh mana idealitas jargon Koalisi tanpa syaratyang ternyata cukup susah diterapkan dalam politik. Juga bagaimana tarik ulur antara kepentingan partai dan juga kehendak publik yang terwakili oleh LSM maupun gerakan massa. Contohnya soal Pelantikan Komjen BG sebagai Kapolri. Ini bisa menjadi pembelajaran penting jika nanti terjadi pemilu lagi, agar ketika memilih, tidak hanya jargon sebagai pertimbangannya.

Belum lagi, ‘konflik gagasan’ di dalam kabinet antara menteri satu dengan menteri yang lain, atau antara Presiden dan Wakil Presiden dalam menanggapi banyak hal. Seperti soal pembekuan PSSI yang lalu, yang mana antara Presiden dan Wakilnya nampak perbedaan pendapat yang mencolok.

Satu tahun ini, mungkin menjadi masa transisi untuk beradaptasi dengan administrasi dan kultur birokrasi yang ada, sebagaimana yang disampaikan Prof. Azra. Termasuk, konstelasi politik yang pasang surut.

Semoga, setahun ini dua hal itu sudah tertata dengan baik. Kekuatan Parlemen pun juga sudah cukup untuk menopang segala agenda Pemerintah. Mengingat, banyak hal penting dalam memajukan bangsa ini, selain membutuhkan anggaran, juga membutuhkan Political Will. Jika kekuatan politik bagus, maka stabilitas negara juga terjaga.

Semoga empat tahun tersisa Pemerintahan bisa semakin fokus pada program pembangunan dan pemajuan bangsa dan negara. Energinya tidak lagi terkuras untuk membahas hal-hal administratif dan politis. Dua hal itu semoga sudah clear. Kita sebagai rakyat biasa, selain ikut membangun bangsa dengan kemampuan masing-masing, juga turut mendoakan.

Semoga Pak Jokowi-JK bisa amanah dan selalu diberikan petunjuk Tuhan untuk memajukan Bangsa ini. Aamiin.

Blitar, 21 Oktober 2015
A Fahrizal Aziz
www.jurnal-fahri.blogspot.com

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini