Meski kedua tokoh ini memiliki sikap berbeda dalam memandang reformasi dan rezim orba kala itu, namun agaknya para Mahasiswa, yang hingga kini terus menggaungkan agar Presiden lengser, perlu membaca ulang sepak terjang kedua tokoh ini.
Amien Rais merupakan salah satu tokoh paling vokal pada periode akhir Presiden Soeharto. Bahkan, beliau membuat 10 alasan kenapa Pak Harto harus mundur. Tidak hanya itu, Pak Amien pun turut serta dalam lautan massa, berorasi dan membakar semangat mahasiswa agar reformasi segera terwujud. Dalam pandangannya, reformasi bisa terwujud jika rezim orba lengser.
Sementara Cak Nur (Nurcholish Madjid) lebih lunak. Beliau ingin Pak Harto sendiri yang menyiapkan reformasi, maksimal dua tahun kedepan. Dalam pandangannya, reformasi kala itu masih sebatas euforia, belum memiliki pandungan atau blue print yang jelas. Termasuk, siapakah nantinya yang akan memimpin reformasi ini selepas Pak Harto lengser.
Dua tokoh ini memang berada di gelanggang yang berbeda. Pak Amien berada dalam barisan massa, sementara Cak Nur berada di dalam Istana, menjadi penasehat Presiden. Mungkin, jika konteksnya ditarik ke masa sekarang, Cak Nur akan dianggap sebagai bagian dari Istana. Sama seperti misalkan, ketika Mahasiswa terpecah dalam dua kubu (metode menyampaikan aspirasi). Ada yang demo di jalanan, ada yang menghadiri undangan makan malam.
Tapi karena tahun 1998 suasana sudah sangat keos, krisis ekonomi yang bertumpukan dengan krisis kepemimpinan, akhirnya opsi pertama lah yang menang. Desakan demi desakan terus terjadi, bahkan muncul dari salah orang paling penting kala itu, Pak Harmoko.
Akhirnya, Presiden Soeharto yang terkenal sebagai pemimpin bertangan besi itu dengan rela dan tanpa perlawanan yang sengit, melepaskan jabatannya sebagai Presiden.
Untung ada Pak Habibie
Sebenarnya, pasca Pak Harto menyatakan mundur sebagai Presiden, dan kemudian digantikan B.J Habibie, reformasi yang dimaksud belum nampak terjadi. Karena, tak bisa dipungkiri, B.J Habibie kala itu merupakan bagian dari kekuatan Politik Pak Harto. Artinya, kehendak publik yang diinginkan kala itu adalah reformasi yang benar-benar terlepas dari rezim Orba. Padahal, Pak Habibie sendiri menjadi Wakil Presiden juga tak terlepas dari kehendak Pak Harto.
Untungnya, sikap Pak Habibie nampak sangat netral. Bahkan dengan berani ‘membubarkan’ Golkar dan menjadikannya Partai, setara dengan Partai-partai yang lain. memang diluar nalar politis kita, bagaimana mungkin Pak Habibie berani melakukan itu. Padahal bisa saja Pak Habibie meneruskan cara kepemimpinan Pak Harto, toh beliau kan bagian dari kekuatan Golkar.
Kalahnya Amien Rais, dan Pentingnya petuah Cak Nur
Pasca reformasi, kita harus menunggu setidaknya tujuh tahun untuk melihat tokoh Reformasi, Amien Rais, maju sebagai Capres di tahun 2004. Kenapa? Karena Pak Amien kala itu mewakili suara reformasi. Bahkan beliau mendapatkan julukan bapak reformasi. Artinya, ketika Pak Amien maju menjadi Capres kala itu, dan kalau menang, maka kita akan melihat seperti apa sih reformasi yang dimaksud.
Sementara di tahun itu, Cak Nur sudah mulai sakit-sakitan karena penyakit livernya yang akut. Tahun 2004 ini menjadi pertaruhan penting karena inilah moment yang secara langsung bisa menjawab tanda tanya besar kita tentang reformasi.
Tapi yang mengagetkan, justru Pak Amien kalah dalam pemilu. Bahkan berada di posisi ketiga, di bawah SBY-JK dan Mega-Hasyim. Kenapa? Bukankah beliau bapak reformasi yang di tahun 1998 menjadi kehendak publik?
Para pengamat politik berpendapat bahwa kalahnya Pak Amien karena banyak faktor, salah satu yang paling berpengaruh adalah ‘konflik’ antara dirinya dan Gus Dur yang kemudian mempengaruhi suara warga NU. Gus Dur sendiri tidak lolos dalam pencalonannya sebagai Capres di tahun 2004 tersebut. Sementara suara NU sudah tertuju pada dua tokohnya yang menjadi Cawapres, yaitu KH. Solahudin Wahid dan KH. Hasyim Muzadi.
Kekalahan Pak Amien di tahun 2004 tersebut sebenarnya menjadi simbol bahwa reformasi, yang di tahun 1998 nampak ‘seksi’, mungkin sudah kurang diminati. Hingga saat ini, ketika membicarakan reformasi, banyak yang skeptis. Sampai-sampai muncul gambar Pak Harto tersenyum sambil melambaikan tangan disertai tulisan : Penak Jamanku to. Ini menurut saya adalah kritik yang menohok.
Ketika banyak orang skeptik dengan reformasi, kita teringat kembali dengan petuah Cak Nur. Di tahun 2004 Cak Nur mungkin tidak begitu mengikuti isu politik dengan intens karena kesehatannya yang menurun. Tahun 2005 akhirnya Cak Nur wafat pasca transplantasi hati. Namun warisan intelektualnya akan terus hidup hingga sekarang, termasuk petuahnya dulu tentang reformasi.
Kita hanya bisa berandai-andai. Misal dulu gagasan Cak Nur diterima publik, dan reformasi memang dipersiapkan sendiri oleh Pak Harto, apa yang kira-kira terjadi? Muncul dua pendapat : Pertama, pendapat yang negatif, Pak Harto akan semakin mempertajam kekuasaannya dan lupa pada agenda reformasi tersebut mengingat tipikal kepemimpinannya yang otoriter. Kedua, mungkin akan berhasil karena kala itu “syahwat” Politik Pak Harto sudah tak begitu besar. Selain itu, sejarah Indonesia tidak perlu lagi ternodai dengan turunnya Presiden secara tidak terhormat karena desakan demonstran.
Gagasan Melengserkan Jokowi-JK dan belajar dari Sejarah
Gagasan melengserkan Presiden sekarang ini perlu dibaca dengan serius agar sejarah kelam itu tidak kembali terjadi. Pertama, dalam tubuh demonstran, sudah tidak ada lagi sosok seperti Amien Rais yang memiliki gagasan yang sangat rigid terkat alasan-alasan kenapa Presiden harus lengser.
Sebenci apapun orang terhadap Pak Amien, tidak bisa dipungkiri, bahwa Pak Amien mengkritik dengan analisis yang matang. Bahkan dia menulis dua buku yang sangat referensial berjudul Selamatkan Indonesia dan Tauhid Sosial. Artinya, kritik yang ditujukan Pak Amien memang didasarkan pada pertimbangan intelektual yang matang, terlepas dari pro dan kontra. Itulah yang mungkin kurang dimiliki demonstran sekarang ini.
Bahkan lebih gawat, jika dulu Pak Harto dilengserkan karena memang bukan Presiden hasil pilihan langsung. Maka sekarang ini Jokowi-JK dipilih secara langsung, satu paket. Itu berarti, jika Jokowi-JK kemudian lengser atau dilengserkan, maka akan menjadi preseden yang buruk bagi sejarah perpolitikan di Indonesia. Karena Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat, bisa dilengserkan pula atas nama rakyat.
Preseden ini berangkali akan lebih buruk dari Mesir, dimana Presiden yang dipilih secara demokratik, bisa dilengserkan oleh kekuatan Militer. Artinya, kedaulatan rakyat dibajak oleh militer. Anda bisa membayangkan jika Presiden yang dipilih oleh rakyat dilengserkan pula oleh rakyat. Bukankah ini bisa menimbulkan masyarakat anarki?
Belum lagi masa transisi peralihan kepemimpinan yang mungkin akan terjadi “saling sikut” elite politik. Jabatan Presiden bukan jabatan sembarang. Ini jabatan super penting dan super sakral. Jika itu terjadi bukankah instabilitas sosial semakin terganggu?
Tahun 1998 kita punya Pak Habibie yang mampu meredam gejolak politik dan ekonomi itu, tapi bagaimana dengan sekarang?
Kita memang membutuhkan sikap nasionalisme yang tinggi layaknya Pak Amien Rais agar Indonesia mengalami perubahan yang lebih baik, tapi memiliki kematangan berfikir seperti Cak Nur itu juga perlu. Dua tokoh ini telah memberikan kita contoh yang berharga di masa lalu.
Sekarang misalkan Jokowi-JK lengser, akankah kondisi bangsa menjadi lebih baik? bukankah nantinya justru jabatan Presiden dan Wakilnya akan menjadi “santapan” empuk para politisi? Akhirnya para elite lebih sibuk berdebat soal jabatan ketimbang mengurusi kondisi sosial ekonomi yang butuh penanganan cepat ini. []
Blitar, 1 November 2015
A Fahrizal Aziz
www.jurnal-fahri.blogspot.com
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini