Ahok dan Absurditas Etika Politik Kita



Ahok terkenal sebagai Pejabat yang suka marah-marah dan gampang naik pitam. Tidak hanya dalam forum debat atau misalkan, ketika menemui kesalahan yang dilakukan bawahannya. Ketika menjawab pertanyaan wartawan pun, kadang nadanya meledak-ledak.

Kemungkinan, Style Ahok memang begitu. Sama halnya dengan Tri Rismaharini. Salah satu ekspresi kemarahan Tri Rismaharini yang paling meledak-ledak adalah ketika melihat taman bungkul rusak pasca acara bagi-bagi es krim beberapa waktu silam.

Kalau sudah style, memang agak susah menilai apakah yang bersangkutan sedang emosi atau tidak. Begitu pun dengan pemilihan kata ketika berbicara. Sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin sedikit kagok dengan gaya Ahok yang seperti itu. Bahkan ada yang mengaitkannya dengan etika.

Tapi dalam politik, etika pun kadang bersifat absurd. Penilaian terhadap etika kerap kali reduksioner. Etika hanya dinilai berdasarkan ekspresi sekilas yang mungkin artifisial. Misalkan, di depan media, seseorang nampak begitu santun dan lembut, tapi disisi lain, bisa sangat arogan, apalagi kalau yang bersangkutan memiliki wewenang untuk merotasi bahkan memecat pejabat di bawahnya.

Etika lain yang juga kerap kita dapati misalkan, budaya pungli atau calo di beberapa lembaga pelayanan publik yang sering dikenal dengan istilah “orang dalam”. Tidak sedikit, secara personifikatif, oknum tersebut nampak sopan, lembut, dan ramah, namun sangat kompromistik.

Disinilah kadang makna etika itu menjadi absurd. Disatu sisi ada yang keras dan meledak-ledak, namun menolak segala bentuk kompromi. Ada yang terlihat santun, namun sangat permisif dengan segala bentuk kompromi.

Baru-baru ini, apa yang di sidangkan oleh MKD pun juga soal etika. Tentu etika yang bukan sekedar ekspresi wajah atau nada bicara, tapi lebih dari itu, berupa kemungkinan adanya pemufakatan jahat. Artinya, kita pun sudah bersepakat jika etika itu tak sesederhana nada bicara.

Apalagi, di tengah suasana politik yang keras dan penuh intrik, membicarakan etika seperti sebuah hiburan tersendiri. Semoga kita tak menghabiskan waktu untuk sekedar mengomentari gaya bicara Ahok yang memang begitu adanya.

Ada banyak etika-etika lain yang harus kita perhatikan. Di sekitar kita, diantara kesantunan-kesantunan yang memabukkan, atau bahkan di dalam diri kita sendiri.

Blitar, 8 Januari 2016
A Fahrizal Aziz

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini