Cerita tentang Mie Instan


Mi Instan di Kedai susu

Cerita tentang Mie Instan yang menjadi makanan favorit anak kos memang bukan sekedar rumor. Setidaknya, itu saya alami sendiri. Mie Instan dipilih selain karena ekonomis, juga karena rasa.

Di dekat kontrakan saya, di Sumbersari Gg. II Kota Malang, ada warung yang khusus menyediakan menu mie instan. Jadi tinggal pilih saja, mau pesan soto, kare, ayam bawang, dll. Harganya nyaris sama, karena meski berbeda rasa, intinya tetaplah Mie.

Warung itu ramai. Satu mangkok untuk mie instan biasa (siap saji) hanya Rp 3.000,- kalau yang versi duo, hanya Rp 4.000,- harga ini benar-benar ekonomis mengingat harga lalapan tempe saja, sudah Rp 6.000,-/porsi.

Rata-rata, mereka yang memiliki rice cooker di kos pun lebih memilih membeli mie instan disitu ketimbang masak sendiri. Kalau masak sendiri, selain repot, juga listriknya mahal. Tentu sangat eman-eman kalau hanya memasak satu mie instan saja menggunakan rice cooker.

Warung itu sendiri baru buka sore hari sampai tengah malam. Justru, antara jam 22.00-00.00 itulah puncak ramainya warung. Mungkin itu jam-jam anak kos mengerjakan tugas dan terlilit kepalaran di malam hari.

Yang mudah, pedagang tidak perlu menyiapkan menu layaknya warung nasi. Mereka cukup berbekal kompor dan panci rebus, dan beberapa cabai utuh karena biasanya cabainya menggunakan cabai asli. Selain itu juga ditambah sayuran dan telor. Jika menggunakan telor harganya tentu berbeda.

Yang menarik juga, jarang sekali pembeli yang menyebutkan nama “Mie” disitu. Mungkin karena semua sudah paham kalau warung itu hanya menjual mie instan. Kalau ingin beli, cukup bilang “..Soto dua, pakai telor..” “Kari ayam satu, pakai telor dan sayur..”.

Tapi benarkan mie instan yang murah meriah itu memang nilai gizinya seperti yang tertera dalam bungkus? Entahlah. Tapi tidak bisa dipungkiri, dari segi rasa, mie instan memang enak. (*)

Blitar, 6 Januari 2016
A Fahrizal Aziz

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini