Ilustrasi : Soto Ayam |
Ada sebuah tulisan berjudul "Indonesia taste of Asia" yang pernah saya tulis. Juga ada yang berjudul "Indonesia negara kopi". Dua tulisan itu, secara eksplisit untuk mengangkat budaya kuliner Indonesia.
Ternyata ada yang mengkritik tulisan itu secara pribadi kepada saya. Katanya, saya kampanye budaya konsumeristik. Mengajak orang doyan makan. Katanya, sama saja saya menghamba kepada nafsu duniawi.
Saya tidak pernah punya pikiran seperti itu. Saya pun juga harus jelaskan bahwa saya memang suka makanan, sebagaimana manusia biasa. Tapi saya tidak doyan makan apalagi sampai menghamba konsumeristik.
Komentar bapak itu awalnya saya jawab dengan sangat sederhana "Tapi anda lebih gemuk dari saya." hehehe
Artinya saya tidak ingin menyederhanakan sebuah ide. Ide tentang kulinasi, adalah upaya untuk menghargai kekayaan bangsa serta etos masyarakat kita. Bukan kampanye "nafsu duniawi".
Kalau masalah nafsu duniawi, atau konsumerisme itu soal perilaku sosial. Toh, banyak sekali produk makanan dan minuman dari luar negeri, yang dikemas sedemikian rupa, berjaya begitu megahnya karena kekuatan kapital. Capital Power.
Saya juga baru tahu bahwa ide yang menurut saya memiliki dimensi yang luas itu. Tidak hanya dari segi kekayaan kuliner, tapi juga dari segi ekonomi kerakyatan, ditangkap begitu sederhananya dan begitu negatifnya. Tapi tidak apa-apa, toh saya masih bisa memberikan penjelasan tambahan.
Untuk menyakinkan apakah saya menghamba pada konsumerisme, atau memiliki nafsu duniawi yang doyan makan, bisa dilihat secara langsung. Saya tidak gemuk. Bahkan sebagian orang menyebutnya kurus. Meski sebenarnya juga tak kurus-kurus amat.
Bahkan bapak itu --sekilas dari perawakannya di fotonya yang terpublish di sosial media-- tampak lebih gemuk dan perutnya sedikit buncit.
Baru kali ini ada bapak buncit yang bilang saya doyan makan. Hehe
1 Maret 2016
A Fahrizal Aziz
A Fahrizal Aziz
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini