Bidadari Ilalang (1)

 Karya A Fahrizal Aziz (*)



Malang, Juni 2013

“Ahira.” 

Nama itu kembali mencuat dalam ingatanku, ketika melihat sebuah lukisan indah bergambar perempuan yang sedang berdiri di depan cermin, lalu separuh cermin itu retak dan wajahnya tak nampak lagi sempurna di depan kaca. Aku tertegun, lukisan ini begitu hidup, aku seperti terbawa pada sebuah dimesi perasaan yang teramat dalam dan tak mampu terdefinisikan dengan kata-kata. Dari semua lukisan yang pernah dibuat Ahira, lukisan ini terlihat berbeda. Apa kabar dia ya?

Aku tersenyum kecil, mengenang masa itu, masa dimana aku masih sangat tergila-gila dengan Ahira, sampai-sampai harus membaca status facebooknya setiap hari, membaca ratusan puisi yang kata-katanya terlalu dalam dan aku meminta Vino –sahabatku—untuk mengartikannya, hingga berubah menjadi sangat rajin demi meraih simpatinya. Masa lalu yang lucu dan kekanak-kanakan. Sekarang mungkin saja Ahira telah bahagia dengan seseorang, bersama keluarga barunya, mungkin juga sudah dikaruniai anak yang lucu-lucu. Empat tahun sudah, kenangan itu berlalu.

Ini untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki lagi di pameran lukisan setelah empat tahun berselang, pameran lukisan adalah tempat yang begitu terkenang sekaligus menakutkan bagiku, karena disinilah aku mengenal Ahira lebih dalam, berharap ia menjadi pendamping hidupku. Namun setelah kenyataan tidak memihak padaku, ada rasa traumatik yang dalam, termasuk trauma untuk datang ke pameran lukisan ini. Aku datang ke tempat ini karena Vino memaksaku untuk datang, salah satu lukisannya terpajang disini. Setelah lulus SMA, dia memilih untuk mengambil jurusan seni, dia berharap menjadi seorang seniman.

“Libra.”
Terdengar suara memanggilku. Aku menoleh kebelakang, ternyata itu Vino, dia menghampiriku dengan senyum standartnya, lalu kami berdua saling berpelukan melepas rindu.

”Gue kira loe nggak bakal dateng kesini, karena masih trauma,” candanya. Aku hanya tersenyum, pandangan Vino beralih ke lukisan yang baru saja kulihat, ia menatap ke arahku, “Loe masih belum bisa nglupain dia ya?”.

“Ah, loe ngomong apa sih, ayo mana lukisan loe, penasaran gue, seumur-umur gue nggak pernah lihat loe melukis,” jawabku terkekeh.

Kami beranjak pergi menuju tempat dimana lukisan Vino di pajang. Sementara bayangan akan lukisan Ahira itu masih menempel kuat di memori otakku, lukisan yang begitu indah, kenapa dia membuat lukisan seperti itu ya? Entahlah, apa juga peduliku, dia sudah bahagia dengan orang lain, aku tak perlu lagi menyisakan waktu dan pikiran untuknya. Aku telah belajar melupakannya, selama empat tahun ini.

“Taraaa....”
Dengan bangga Vino memperlihatkan hasil lukisannya yang terpajang disini, sebuah bibir pantai dengan beberapa jejak yang menuju riak-riak, aku mengerutkan kening, lukisan yang cukup bagus untuk selera orang awam sepertiku, tapi sangat tidak menarik karena latar yang diambil sangat tidak ku suka; pantai.

“Loe paham nggak lihat lukisan ini?” tanya Vino.
“Hmm... sedikit sih,” jawabku.
“Coba apa kira-kira artinya?”
“Hmm.... orang yang mau bunuh diri kali, mau nyebur laut,” jawabku terkekeh.
“Ah, payah loe. Dari dulu loe juga nggak paham masalah beginian.”
“Hehehe...”

Lalu kami berjalan bersama menuju food courtterdekat, sekaligus melepas rindu. Berbincang banyak hal.

“Dia ada disini juga?” tanyaku pada Vino sambil menyantap kebab turky yang kami beli barusan.

“Nggak, dia jarang sekali kesini kok, tenang aja, kalian nggak bakal ketemu disini.”
“Dia pasti udah bahagia ama keluarganya ya,” responku.
“Hmm..... mungkin.”
“Mungkin? Maksudnya?”
“Nggak apa-apa kok, Ahira itu seniorku di komunitas, jadi aku sedikit tahu soal dia.”
“Bukannya dia udah lulus?”
“Udah sih, dia udah lulus tahun kemaren. Tapi....”
“Tapi kenapa sih Vin? Loe kok bikin gue penasaran gitu?”
Vino terdiam sejenak, ia menghabiskan jus alpukatnya, ia semakin mendramatisir keadaan.

“Loe masih begitu antusias ma dia? Jangan-jangan loe masih...”
“Ah lupain aja, ganti topik. Loe masih lama disini? Jalan-jalan yuk,” ajakku.
“Sory, gue nggak bisa ninggalin lokasi, soalnya gue yang jadi penanggung jawab pagi ini.”
“Ya udahlah,” jawabku sedikit kesal, lalu aku berdiri dan beranjak meninggalkan Vino.

“Bra.” Panggilnya. Aku berhenti sejenak. “Ntar malem gue ke rumah loe,” lanjutnya. Aku hanya memberikan jempol, setelah itu berlalu dari hadapan Vino, mencari angkutan kota yang akan mengantarkanku pulang ke rumah.
***      

Meski sudah hampir empat tahun mencoba melupakan Ahira, namun sepertinya itu bukan hal yang mudah. Melihat lukisan indahnya tadi pagi, membuatku teringat kembali olehnya, lembut suaranya, senyum manisnya, dan segala hal tentangnya. Ah, memang payah sekali aku ini. Sebagai lelaki aku terlalu rapuh untuk menerima kenyataan, sampai-sampai harus merindukan perempuan yang telah dimiliki orang lain.

Tapi memang dalam kurun waktu itu, aku tak pernah menemukan perempuan seperti Ahira, dia mungkin terlalu sempurna untuk ukuran perempuan kebanyakan. Ah, beruntung sekali pria yang bisa meminangnya, ia telah mendapatkan salah satu bidadari surga. Jika tahu begini, harusnya aku tidak datang ke tempat pameran itu, lukisan Ahira tadi pagi telah kembali membuka kenangan lama yang sudah kucoba sekuat tenaga untuk melupakannya, setidaknya mencoba mengacuhkannya. Berat sekali.

Sejak empat tahun yang lalu, setelah tahu Ahira dipinang orang lain, aku tak lagi menghubunginya, seluruh akses hubungan telah ku blokir. Mulai dari facebook, twitter hingga nomor hp. Aku tak ingin terus-terusan hidup dalam bayang-bayangnya, karena hanya membuat dada ini sesak. Sekalipun Ahira tidak pernah mendengar sepatah katapun dariku; jika aku mengaguminya. Tapi sebagai anak sastra, harusnya dia paham bahasa tubuhku. Entahlah, aku tidak peduli lagi.

***
Malam hari, sesuai janji Vino, ia berkunjung ke rumah. Ia datang dengan stelan kaos kuning merk cappa dan celana jeans biru bergaya pencil. Dari penampilan, tak banyak berubah, masih sama seperti tiga tahun silam. 

Dengan senyum sumringah, ia berjalan memasuki kamarku. Aku masih setia di depan laptop, membaca komik online. Kuamati dengan seksama raut wajahnya, sepertinya ada sesuatu yang hendak dia sampaikan, begitu misterius.

“Besok ke rumah mimpi, yuk,” tiba-tiba dia membuka topik itu.
“Rumah mimpi, sekolah anak jalanan yang dibuat Ahira itu?” tanyaku.
“Ya iyalah, selama ini aku juga ikut mengajar mereka, barangkali kamu tertarik.”
“Hmm...” aku berfikir ulang untuk pergi kesana, takut-takut kalau bertemu dengan Ahira, dan jika bertemu, itu akan sangat fatal. “loe pengen gue bertemu dia?” lanjutku.

“Nggak, loe nggak bakal ketemu dia kok. Lagipula, besok itu acaranya cuman diskusi bareng Pak Yusril, salah satu dosen di kampusku,” jelas Vino.

“Loe kenapa ngajak gue kesana? Emang kenapa Ahira nggak dateng?” tanyaku.
“Loe masih nanyain Ira, padahal gue nggak pernah nyinggung, udahlah akui aja kalau loe masih menaruh rasa....”

“Vin, loe nggak paham banget sih. Mana mungkin gue tertarik ama istri orang,” potongku dengan agak kesal.
Vino terperanjat, aku agak emosi, suaraku tadi memang sedikit membentak, sampai-sampai Mama menghampiri kami.

“Ada apa ini? kalian berantem?” tanya Mama dengan raut khawatir.
“Oh, nggak kok tante, si Libra lagi main drama,” jawab Vino sambil tersenyum getir. Lalu Mama kembali ke dapur, melanjutkan aktivitasnya.

“Besok gue jemput ya, gue jamin deh loe nggak bakal ketemu Ahira, sekalian temenin gue buat nemuin Pak Yusril. Secara, Pak Yusril kan dosen pembimbing proposal skripsi gue.”

Ternyata ujung-ujungnya adalah untuk menemani Vino bertemu dosen pembimbingnya. Tapi sosok Ahira masih memberikan tanda tanya. Aku tidak tahu apakah ini rindu, karena empat tahun tidak bertemu dengan seseorang yang penting di masa lalu? ah, entahlah. I dont care.

Bersambung, Chapter 2 Minggu depan. Rabu 28 September 2016


Penulis
Ahmad Fahrizal Aziz. Ketua Paguyuban Srengenge, Pegiat Literasi Blitar, Pendiri Komunitas Penulis Kota Blitar dan Redaktur srengenge.net

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini