sumber : ada.web.id |
Sekitar tiga tahun silam saya berbincang dengan seorang bapak di Malang. Bapak itu sedang mencarikan sekolah lanjutan untuk putra keduanya, sambil curhat panjang lebar. Katanya dia trauma menyekolahkan anaknya di sekolah x, “Bayarnya mahal, tapi setelah lulus hanya bisa menyalah nyalahkan orang, bahkan hormat bendera saja disebut musyrik,” gerutu sang bapak.
Bapak itu ingin anak keduanya sekolah di tempat yang benar. Tidak fanatik, tidak –katanya—berpaham keras. Saya sendiri memang pernah mendengar tentang sekolah-sekolah semacam itu, tapi tidak mengira jika sefatal ini. Menurut sang bapak, kalau sekedar menyalah-nyalahkan, menyebut orang lain sesat dan kafir, lalu buat apa sekolah? Sekolah harusnya memberikan persepsi lebih utuh agar menjadi lebih bijak. Bijak adalah ciri orang berpendidikan, dan ciri orang berpendidikan, menurut Buya Hamka, justru semakin sedikit menyalahkan orang.
Hal serupa, meski berbeda konteks, juga sering saya temui dalam sebuah pengajian. Padahal itu pengajian yang audiensnya anak sekolah. Sang Ustad memaki-maki Amerika, Yahudi, dan Zionis. Saya mendadak juga jadi benci dengan Amerika kala itu, apalagi yang dipersoalkan masalah peristiwa 11 september. Saya juga mendadak benci yahudi, serta mendadak ketakutan dengan kekuasaan yang ternyata menjerat kita semua.
Namun saya sungguh beruntung karena bertemu seorang guru yang punya persepsi lain soal itu. Justru beliau bukan guru agama, melainkan guru bahasa inggris. Dijelaskanlah apa itu arti dakwah. Menurutnya dakwah itu mengajak kepada hal baik. amr ma’ruf. Sementara nahi munkar-nya bisa dengan banyak cara, seperti dengan pendidikan seperti ini. Karena “nahi” artinya mencegah, bukan membasmi. Kalau mencegah, maka orientasinya adalah memberikan pendidikan agar kemunkaran itu tidak terjadi. Kalau sudah terjadi, lalu melakukan sweeping, atau ngebom, namanya bukan mencegah. Jangan sampai alih-alih nahi munkar, justru menciptakan kemunkaran baru, yaitu rasa benci dan fitnah.
Kalau direnungi lebih mendalam, banyak yang menyebut dakwah, sebenarnya justru provokasi. Setelah mendengar, bukannya hati tambah tenang, jiwa lebih tertata, tapi justru emosi menjadi meledak-ledak. Rasa benci semakin membuncah, dan sampai tidak sungkan membuat tuduhan-tuduhan yang bisa jadi fitnah. Tidak mau tabayun, kekeh pada pandangan sempit dan ilusif-nya sendiri.
Jika begitu adanya, maka umat tidak akan pernah dewasa. Energi umat hanya habis untuk menghujat, curiga, dan waspada. Padahal energi umat itu bisa diarahkan untuk hal produktif. Kita lihat dalam arena politik misalkan, ada sebagian yang sibuk menghasut agar tidak memilih pemimpin non muslim, tapi tidak menyiapkan dan memberikan alternatif pemimpin muslim yang kaliber.
Kita marah-marah karena disuatu kota banyak muslim berobat ke rumah sakit milik non muslim, tapi tidak mau membangun rumah sakit yang sama kelas pelayanannya. Energinya hanya untuk marah-marah, tapi tidak produktif.
Lagi, dan ini sangat sering kita temui, marah-marah pada yahudi, dan boikot semua produknya. Bahkan pernah suatu ketika ada himbauan jangan mengakses google, agar google rugi sekian juta dollar. Setelah ditanya, itu dapat info darimana? Ternyata dari google juga, atau dari whatsapp yang kini sahamnya diakuisisi oleh facebook. Ini sungguh ironis. (*)
Blitar, 20 September 2016
A Fahrizal Aziz
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini