oleh A Fahrizal Aziz |
Karena ada suatu urusan, maka saya menemui salah satu pengurus Organisasi. Saya diminta untuk membantu mengelola media, terutama untuk mengisi kontent dan menata rubrik yang ada. Kata bapak itu, sekarang memang jarang kader Ilmuan. Lebih banyak yang tertarik menjadi saudagar, atau terjun ke politik praktis, sisanya menjadi pengelola amal usaha. Maka kader ilmuan seperti saya, harus terus mendapatkan ruang.
Tapi saya harus jelaskan, bawah saya tidak masuk kategori kader ilmuan. Mungkin saya punya sedikit skill dalam dunia tulis menulis, dan sedikit pengalaman di dunia Jurnalistik. Tapi keduanya bukanlah ilmuan. Seorang jurnalis juga tidak bisa disebut ilmuan. Mungkin seorang jurnalis punya wawasan dan pengetahuan yang luas karena interaksinya dengan banyak orang, atau dengan buku-buku, tapi itu tidak bisa disebut ilmuan.
Ilmu dengan pengetahuan itu berbeda. Apa yang kita tahu, wawasan yang kita miliki, bisa disebut pengetahuan. Tapi belum bisa disebut ilmu. Kita tahu tentang politik, sejarah, sosiologi, kedokteran, musik, dll tapi itu hanya sebuah pengetahuan. Lalu apa yang disebut ilmu?
Orang berilmu itu bukan yang tahu banyak hal. Ia cukup tahu satu hal, tapi mendalam. Ia tidak hanya memiliki wawasan dan pengetahuan dalam satu hal itu, tapi juga memahami filosofi dan metodologinya, serta bisa menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru baik melalui analisis yang ia buat, atau dari riset yang ia lakukan.
Sederhananya begini, anda punya pengetahuan tentang ilmu silat. Tahu sejarahnya, penggagasnya, level-levelnya, tapi belum tentu punya ilmu silat tersebut, sehingga meskipun tahu, anda tidak bisa silat. Juga lagi dalam hal kesehatan. Anda punya pengetahuan tentang jenis-jenis obat, jenis-jenis penyakit, dll dari buku. Tapi anda tidak bisa mendiagnosa, tidak punya otoritas untuk melakukan treatment terhadap orang yang sakit.
Termasuk dalam bidang sosial, ada yang disebut sosiolog, sejarawan, ekonom, teolog, pakar fiqh, pakar hadits, dll. Mereka kuliah sampai doktor, punya pengetahuan, tapi sekaligus punya ilmu untuk menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru. Mereka punya otoritas, punya “surat ijin” untuk melakukan penelitian dalam bidang itu. Makanya, orang kuliah sampai doktor, mendalami satu bidang, tahu metodologi dari bidang yang ia geluti.
Itulah kenapa, di Universitas, disiplin ilmu ditajamkan pada satu bidang, yaitu agar orang jadi ilmuan dalam bidang itu. Ketika perkuliahan pun yang dipelajari lebih banyak metodologi, bukan wawasan. Beda dengan sekolah, misal mengambil IPA, semua yang berkaitan dengan IPA dipelajari. Begitupun kalau mengambil IPS. Tapi ketika kuliah, lebih dikerucutkan lagi, ditajamkan lagi. Misalkan IPS, dipilih satu, mau ekonominya, sosiologinya, politiknya, dsj. Itu nanti masih dikerucutkan ketika lanjut ke s2. Misal ekonomi, mau yang mikro apa makro. Kalau lanjut doktor, akan lebih dikerucutkan lagi.
Setelah menjadi doktor, maka disiplin ilmunya jelas. Misal mengambil sosiologi, spesifikasinya jelas tentang sosiologi agama, atau sosiologi politik. misal Islamic studies, maka spesifikanya jelas, entah pada pemikiran islam (firqah), atau bidang yang lain. Itulah yang disebut ilmuan. Orang yang disiplin dan konsisten dalam satu bidang, mengabdi penuh dalam bidang itu. Mereka pun juga punya otoritas penuh untuk berbicara dalam bidang yang mereka geluti.
Sehingga, sebutan “Ilmuan” itu tidak sekedar untuk mereka yang suka membaca, diskusi, atau menulis. Tapi lebih dari itu, yaitu mereka yang telaten dan disiplin dalam satu bidang dan mendamalinya secara sungguh-sungguh.
Saya hanya orang yang suka menulis, kadang suka membaca dan diskusi, tapi bukan ilmuan. Apalagi saya ini mudah “tergoda” untuk baca-baca yang lain. Tidak disiplin dalam satu bidang. Kadang nulis tentang pendidikan, kadang politik, kadang sastra, musik, seni, filsafat, dll. Bandingkan dengan ilmuan, biasanya dari A-Z yang ia tulis tentang bidang itu. Karena tulisan-tulisan itulah yang kemudian menjadi identitas keilmuannya.
Seorang ilmuan bidang pemikiran Islam, yang ia tulis selalu pemikiran tokoh-tokoh, bahkan mengkomparasikan tokoh satu dengan yang lainnya. Konsisten disitu. Seorang ahli fiqh, yang ia bahas selalu soal fiqh. Begitupun ahli sejarah, ia selalu melihat fenomena dengan perbandingan masa lalu, dari sejarah yang telah terjadi. Itulah menariknya ilmuwan, ketika menulis dalam bidangnya, lebih punya totalitas, dan kita perlu untuk membacanya sebagai sudut pandang. Jika dikaitkan akan menarik.
Misal, soal komplek pelacuran, dilihat dari sudut pandang fiqih bagaimana, lalu dilihat dari sudut pandang ekonomi sudah beda lagi, dilihat dari sudut pandang kesehatan juga beda lagi, apalagi kalau dilihat dari sudut pandang psikologi, pendidikan, hingga politik. Seorang ilmuan mungkin tidak akan mengkomparasikan dengan ilmu-ilmu lain, karena mereka harus setia dengan disiplin mereka sendiri.
Tapi perspektif ilmuan-ilmuan itu penting untuk mengambil sebuah kebijakan oleh suatu pemerintahan. Maka menjadi pemimpin itu harus punya banyak persepsi agar bijak dalam menentukan kebijakan. Kita sebagai pembaca bebas, yang bukan ilmuan (atau yang belum menemukan identitas keilmuan kita) bisa membaca dari banyak sudut pandang, tapi kita tak punya otoritas layaknya ilmuan-ilmuan itu. (*)
Blitar, 25 September 2016
A Fahrizal Aziz
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini