Apa yang dimaksud pengabdi ilmu? Sebutan itu sebenarnya tidak melekat pada orang yang mencari banyak ilmu dari guru ke guru, melainkan pada orang yang getol mendalami satu ilmu saja. Dalam konteks akademik, kemudian ia disebut pakar atau ahli dalam disiplin ilmu tertentu.
Menjadi pengabdi ilmu adalah sebuah upaya yang penuh kedisiplinan, karena disekitarnya pasti banyak sekali godaan yang sangat pragmatis. Pernah suatu ketika saya berbincang dengan kandidat doktor hukum perdata (sekarang sudah doktor). Kebetulan ia putra salah satu daerah yang katakanlah tertinggal. Jarang sekali putra daerah sana yang bergelar doktor. Kalaupun ada, enggan untuk pulang.
Saat itu, beliau mendapatkan tawaran untuk menjadi calon DPRD. Proyeksi kedepannya menjadi tokoh sana dan bila memungkinkan untuk maju pilkada. Kalkulasi politiknya cukup jelas. Namun ia menolak. Katanya, kalau mau berpolitik, sudah jauh-jauh hari ia lakukan sejak menjadi aktivis mahasiswa. Tapi ia memilih bertahan di kampus, mengambil master dan doktor di satu bidang ilmu yang ia inginkan.
Usianya masih dibawah 40 tahun. Untuk ketokohan secara politik, itu masih kategori usia muda. Jangan kira bertahan menjadi pengabdi ilmu/ilmuan itu mudah. Tantangannya besar, godaannya juga besar. Tantangannya meliputi aktivitas akademik, pengayaan teori, penelitian, membuat paper, menulis, dll. Kepakarannya tidak saja ditentukan oleh tugas formal perkuliahan, melainkan juga bagaimana ia merespon setiap isu atau problematika yang terkait dengan bidang yang ia tekuni. Sementara bidang hukum perdata, meski kasusnya sangat banyak, tapi jarang orang tahu.
Godaannya, terkait dengan finansial. Karena ia memilih mengabdi sebagai ilmuan, maka ia hanya menjadi PNS. Memang ada beberapa sumber dana yang bisa ia akses, misal dana penelitian, namun dana itu dibuat untuk membiayai penelitian, bukan untuk bersenang-senang. Bahkan dibandingkan dana beberapa NGO, dana kampus itu masih kalah besar. Ternyata, betapa tidak mudahnya menjadi ilmuan.
Bahkan ada juga yang menjadi ilmuan, habitatnya di kampus, namun kurang produktif menghasilkan karya-karya ilmiah karena terlalu sibuk mengurus birokrasi kampus. Bisa jadi karena terlalu sibuk dan menyita waktunya kegiatan birokrasi itu, bisa jadi pula karena mengurusi birokrasi lebih menguntungkan secara finansial ketimbang memproduksi karya-karya akademik.
Makanya tak sedikit para master yang tidak segera lulus doktor, atau banyak doktor yang tidak sampai jadi Profesor. Untuk itu, para ilmuan, terutama di Indonesia, adalah orang-orang yang benar-benar disiplin dan berjuang penuh. Sampai mereka menjadi pakar atau ahli, baik di bidang sosial atau sains. Hasil pemikiran dan penelitian mereka menjadi rujukan, di Pemerintahan mereka sering diminta menjadi staff ahli. Termasuk ketika dalam persidangan dan membutuhkan saksi ahli, mereka diundang untuk memberikan analisis sebagai pakar. Kita bayangkan betapa pentingnya posisi mereka dalam kehidupan. Apa jadinya kalau pengabdi ilmu di negeri ini semakin berkurang.
Pemahaman mereka memang akan menjadi sektoral, hanya satu disiplin ilmu, tapi analisisnya akan lebih tajam. Karena ilmuan itu tahu sedikit tapi banyak, berbeda dengan yang bukan ilmuan, mungkin banyak tahu tapi sedikit. Seorang pakar sejarah hanya tahu soal sejarah, tapi pengetahuannya luas dalam bidang itu. Kita yang bukan ilmuan, mungkin tahu soal sejarah, tapi hanya sedikit-sedikit.
Merekalah pengabdi ilmu, yang konsisten dan disiplin ditengah godaan yang begitu derasnya. (*)
Blitar, 23 September 2016
A Fahrizal Aziz
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini