Produsen Isu





“Itu-itu sumbernya darimana ya?” tanya salah seorang bapak kepada saya, setelah melihat banyaknya postingan di WA, yang entah darimana asalnya, dan anehnya dipercaya begitu saja.

Saya sendiri juga tidak tahu, mungkin ada produsen khusus yang membuat kontent semacam itu lalu disebarluaskan, dan orang yang menerimanya nampak takjub lalu menyebarkannya. Ada juga yang menyebarkan karena “ancaman” di kalimat terakhirnya, misalkan barangsiapa tidak menyebarkan informasi ini maka dianggap tidak mencintai agamanya. Betapa konyolnya hal-hal demikian.

Menariknya pula, yang share di berbagai sosmed tersebut kadang juga bukan orang biasa, alias bukan orang yang awam. Sebenarnya tidak masalah jika yang ia share adalah hal-hal positif-informatif. Bukan hal-hal yang bersifat propaganda. Misalkan, melihat banyaknya respon atas ucapan Ahok terkait surat Al Maidah 51, ada postingan yang menyatakan : jika ada seorang muslim yang diam saja atas kasus ini, maka syahadatnya dipertanyakan. Artinya, agar syahadatnya dianggap shohih, maka ia harus menyebarkan postingan tersebut.

“Memangnya siapa yang berhak mempertanyakan syahadat kita? situ Tuhan?” Sesekali ingin membalas semacam itu, tapi saya lekas sadar bahwa yang share sebenarnya juga bukan produsen tulisan tersebut, ia hanya konsumen. Reaktif atau diamnya kita terkait kasus Ahok belakangan bukan berarti tidak peduli dengan agama, tapi setiap reaksi kadang rawan di politisir, yang secara tidak langsung akan menguntungkan calon lain. Dengan bereaksi berlebihan justru akan menjadikan agama sebagai bola yang seenaknya disepak siapapun untuk kepentingan mereka. Ini tentu jauh lebih ngeri.

Namun beberapa postingan juga bisa dilacak sumbernya, biasanya dari website atau telegram, meski tak sedikit yang tanpa keterangan sumber. Pernah saya membaca semacam quote tentang kehidupan, ada beberapa quote yang diposting jadi satu. Salah satu quote tersebut saya tahu adalah quote Dalai Lama, pemimpin spiritual Buddha dari Tibet. Saya tahu karena pernah membaca bukunya, dan versi bahasa mandarinnya. Tapi digabungkan dengan hadits-hadits dan kata mutiara lain, sehingga jadilah rangkaian postingan yang indah. Sayang keterangannya tidak dicantumkan, bahwa salah satu quotenya adalah dari pemimpin Agama Buddha.

Tapi kita juga tidak tahu siapa yang membuat postingan-postingan tersebut. Siapa yang menjadi produsennya. Sama halnya ketika muncul isu yang silih berganti. Kita juga tidak tahu siapa yang menciptakannya. Banyak yang menyebut media, tapi banyak yang menyangkalnya, karena media hanya merespon yang sedang berkembang. Tapi isu juga bisa muncul dari statement tokoh yang kemudian di respon secara luas.

Kasus Ahok terkait surat Al Maidah tidak akan booming jikalau Buni Yani tidak menyebarkannya, tidak memotongnya hanya pada bagian tersebut. Ketika saya melihat versi panjangnya, saya menyadari jika fikiran orang yang melihat potongan video tersebut berbeda dengan fikiran orang ketika melihat versi panjangnya. Pidato itu lebih banyak membicarakan program lokal di kepulauan seribu. Orang yang melihat videonya secara penuh, akan berfikir bahwa topik utama yang dibahas adalah soal program pemberdayaan di kepulauan seribu. Tapi yang melihat potongan videonya, akan berfikiran bahwa Ahok sedang berupaya melecehkan Al Quran.

Tapi potongan video tersebut kemudian menjadi viral, menjadi isu. Mirip dengan dulu statement Prof. Muhadjir Efendy tentang Full Day School, produsen isunya adalah Mendikbud sendiri, baru kemudian direspon oleh publik. Isu-isu tersebut semakin menarik diperbincangkan jika topiknya kontroversial, dan memiliki kepentingan politik ideologis dibelakangnya.

Artinya, orang yang punya posisi memangku kepentingan orang banyak, adalah salah satu dari produsen isu. Selain itu, semisal kasus kenaikan harga rokok kemarin, produsen isunya adalah sebuah Lembaga Penelitian yang konon didanai bomblerg. Benar tidaknya itu soal lain, yang jelas kita tahu bahwa produsen isunya adalah lembaga. Termasuk di beberapa kasus, lembaga semisal LSM/NGO juga gemar menjadi produsen isu. Dalam kancah politik misalkan, beberapa tahun belakangan figuritas diciptakan lembaga survey. Meski lembaga survey menyatakan jika sumbernya juga dari Masyarakat.

Isu-isu juga tercipta dari program acara talk show politik yang bahkan tingkat popularitasnya melebihi tayangan entertaintment. Isu-isu tersebut menjadi perbincangan, menjadi konklusi positif atau bisikan-bisikan yang lewat begitu saja. Beberapa isu juga menyebabkan huru hara, fitnah, sampai perpecahan. Misal isu tentang PKI yang belakangan muncul, dikhawatirkan akan memicu kebrutalan seperti dulu. Juga isu etnisitas, dikhawatirkan akan mengulang peristiwa 90-an.

Sementara kita, kadang hanya jadi konsumen yang dipaksa atau terpaksa untuk mengunyahnya. Kita anggap itu sebagai celoteh biasa, atau kita anggap serius sampai terprovokasi dan emosi memuncak. Gara-gara respon berlebihan atas kasus Ahok misalkan, berapa kemudian sesama Muslim yang saling menghujat, bahkan meragukan keimanan saudaranya sendiri. Juga isu etnisitas pribumi dan non pribumi yang sempat kencang.

Di era digital ini, tentu akan banyak isu-isu muncul dari sumber yang tak jelas, dan kemudian menjadi viral. Tidak ada yang bisa membendungnya, kecuali kita sendiri. (*)

Blitar, 15 Oktober 2016
A Fahrizal Aziz

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini