Cerpen saya yang berjudul “jual diri” dikritisi habis di ruang diskusi Gd. Student Center UIN Malang. Setiap rabu sore kami memang rutin mengadakan bedah karya dan diskusi sastra disana. Kadang ada yang sehabis kuliah langsung menuju tempat diskusi, dengan wajah yang lelah dan tas besar, ada juga yang datang dari kos-annya, wajah mereka sudah fresh, lengkap dengan wangi parfum yang menyengat. Saya yang termasuk seharian di kampus karena sehabis kuliah biasanya ke kantor redaksi untuk mengerjakan sesuatu, terutama terkait dengan Majalah yang diterbitkan Kemahasiswaan.
Siapapun bisa ikut diskusi tersebut, meski itu agenda rutin FLP Ranting UIN. Awal tahun 2013 saya ditunjuk menjadi Ketua-nya. Diskusi rutin berjalan kurang lebih selama setahun. Tak jarang break karena beberapa alasan. Di ruang itu hadir beberapa orang dengan referensi bacaan yang bermacam-macam, tidak saja novel atau cerpen, tapi juga buku-buku lain. Sebagian besar penggemar novel-novel Kang Abik. Novel-novel Kang Abik jua lah yang membuat saya tertarik dengan sastra. Baru di pertengahan perkuliahan bertemu dengan “supernova”, bertemu dengan “Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh” yang isinya begitu kompleks tersebut.
Saat membuka pendaftaran anggota baru di pertengahan tahun 2013, ada banyak pendaftar yang menulis alasan demi alasannya kenapa tertarik dunia tulis menulis pada tiga lembar formulir. Juga (sesuai kolom di formulir), menjelaskan buku-buku bacaan yang mereka sukai. Tercatat ada 100 lebih yang mendaftar, ada 100 formulir yang menumpuk dengan beragam isi yang menarik. Saya membacanya satu per satu setelah pengumpulan formulir.
Dari semua pengirim formulir, saya mengirimkan sms ke beberapa orang yang (menurut subyektif saya) isi formulirnya menarik. Tentu belum satu pun saya hafal wajah mereka. Salah satu yang saya kirimi sms adalah Fiqh Vredian. Pertemuan dengan anggota baru FLP UIN pun terjadi ketika OR di Aula Kelurahan Merjosari, dekat dengan Taman Sigha. Disana saya baru tahu yang namanya Fiqh Vredian, anak asal Banyuwangi yang sepertinya banyak bacaannya.
Beberapa kali akhirnya kami menghabiskan waktu untuk berbincang banyak hal, mulai dari sastra, pemikiran tokoh, hingga dunia pergerakan, termasuk keaktifannya di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ketika bertemu dengannya, setidaknya selalu ada buku yang dibawa. Beberapa kali pula kami berpaspasan di perpustakaan. “Saya tertarik dunia pemikiran setelah membaca bukunya Jalaludin Rakhmat,” jelasnya suatu ketika. Buku itu sudah dia baca sejak masih SMA. Tak bisa membayangkan bagaimana anak SMA sudah membaca buku seperti itu.
Pernah suatu ketika ia memperlihatkan cerpennya kepada saya. Untuk urusan cerpen, saya memang rada skeptik, karena ia terbiasa menulis artikel ilmiah. Apa bisa dia menulis cerpen? ternyata diluar dugaan. Cerpennya bagus, ekspresif. Menulis cerpen tidak saja butuh teknik, tapi juga feel yang kuat. “Mungkin cerpen ini bisa kamu tulis saat itu, dan susah untuk mengulanginya lagi,” canda saya.
Disaat yang berbeda, salah satu anggota baru FLP UIN, namanya Ubaidilah Al Faisal Samosir, memposting sebuah dokumen di group facebook. Ia memposting wawancara seorang wartawan dengan Linda Christanty. Saya pernah mendengar nama Linda Christanty beberapa kali, tapi belum pernah membaca tulisannya. “Tulisannya salah satu inspirasi saya Mas,” tulisanya pada sebuah koment setelah saya koment. Sepertinya dia memang memfavoritkan tulisan Linda Chistanty.
Pada sebuah pameran buku, kemudian saya menemukan salah satu buku kumpulan esai Linda Christanty berjudul “seekor burung kecil di naha”. Buku tipis itu kemudian saya beli. Ternyata Linda Christanty backgroundnya adalah wartawan. Meski tulisan-tulisan dalam buku itu disebutnya esai, tapi saya seolah membaca cerpen. Bahasanya menarik sekali. Pantas saja, Ubaid si anak Samosir itu memfavoritkan. Saya pun akhirnya juga memfavoritkan.
Linda sangat lincah mengolah bahasa. Detailnya terasa. Bahkan menuliskan ekspresi lawan bicarapun bisa. Disinilah batas antara fakta dan fiksi itu terlihat jelas. Batas antara tulisan yang selama ini kita anggap harus baku-ilmiah dengan yang naratif layaknya cerpen. Sama ketika saya membaca esai-esai Dewi Lestari di blog Dee Idea. Itu esai, cerpen, atau sekedar note?
Apapun itu, yang penting enak dibaca dan membekas. Dan, persinggungan dengan mereka membuat saya sadar untuk terus memperkaya bacaan. Mungkin saya terlalu banyak menghabiskan waktu untuk santai. (*)
Blitar, 28 Oktober 2016
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini