Ternyata banyak hal yang mempengaruhi emosi seseorang. Tidak saja karena perlakuan orang lain, namun juga sebab hari dan cuaca. Dalam buku Mood and Temperament, yang diterbitkan Guilford Publications, karya D. Watson, emosi negatif sering muncul pada awal pekan, dan akhir pekan sering mendatangkan emosi positif. Emosi negatif antara lain, marah, depresi sampai bad mood. Emosi positif meliputi rasa bahagia dan syukur.
Namun emosi adalah hal yang dibutuhkan manusia. Manusia tanpa emosi, kata A Ben-Ze'ev, masuk klasifikasi nonemosional. Emosi dibutuhkan untuk merespon keadaan. Emosi memberikan gejolak bagi seseorang untuk bergerak dan bertindak dalam mencapai tujuan hidup. Emosi yang dikelola dengan baik akan menjadi power untuk meraih sesuatu, semisal menduduki sebuah jabatan tertentu, atau mencipta suasana tertentu. Maka orang tanpa emosi justru problem tersendiri.
Maka istilah “jangan sampai emosi” itu sebenarnya kurang tepat. Karena emosi itu bisa positif bisa negatif. Secara biologis, emosi diproses dalam sistem limbik otak. Semakin aktif sistem limbik otak, justru yang muncul adalah emosi negatif. Terutama marah. dalam beberapa literature, emosi negatif muncul ketika otak tak mampu berfikir rasional. Negatif tidaknya emosi seseorang sangat dipengaruhi oleh rasionalitas fikirannya.
Ada hadist riwayat Bukhari-Muslim yang populer : Jangan mengadili antara dua orang waktu sedang marah. Hadits ini ternyata memiliki landasan psikologis yang kuat. Karena marah bisa dipengaruhi dari rasa benci, atau tidak suka atas perilaku seseorang, yang membuat ia tak begitu mampu berfikir jernih dan rasional. Maka dimata hukum, setiap pelaku kejahatan selalu memiliki asas praduga tak bersalah.
Ciri emosi negatif akhibat tidak bisa berfikir rasional lainnya ialah, melakukan kejahatan diluar batas, sampai menghancurkan sesuatu atau membunuh. Kadar yang lebih rendah dari itu, ialah suka menghujat atau menghina dengan kata-kata yang tidak elok diucapkan.
Karena dalam kajian psikologis, marah pun bisa dikelola. Marah yang rasional akan melahirkan kritik. Kritik itu bersifat mengkritisi, artinya membenarkan apa yang menurutnya keliru. Tidak mudah orang mengkritik. Orang yang mengkritik harus paham duduk persoalannya, dan sebisa mungkin memberikan jalan keluar (solusi) atas apa yang ia kritisi. Namun marah yang tidak terkontrol akan melahirkan hujatan, caci maki, dan sejenisnya yang tidak pernah menyelesaikan masalah, justru akan melahirkan konflik dan kekacauan baru.
Memang ada banyak faktor yang mempengaruhi emosi seseorang, seperti faktor lingkungannya. Dulu ada yang mengkritisi kenapa ada Mantan Jenderal yang kalau bicara begitu menusuk dan emosional. Kita bisa pahami karena latar belakangnya dulu sebagai prajurit, yang sering dihadapkan pada situasi genting. Itu membuatnya menciptakan fikiran yang selalu waspada atas suatu hal, baik seseorang atau gerakan.
Atau, ada orang yang terlihat nampak emosional dan meledak ledak. Selain faktor karakter dasar, juga karena faktor lingkungan. Mungkin ia sering dihujat, dihina, dilecehkan, diremehkan, atau disalah salahkan. Dalam beberapa artikel Psikologi, banyak anjuran agar jangan sering menyalahkan anak kecil. Karena itu menjadi sebab menguatnya emosi negatif, yang membuat anak tidak bahagia, dan bisa tumbuh menjadi sosok yang tempramental.
Memang tidak semua teori-teori tersebut berlaku, karena tidak ada yang mutlak dalam Ilmu Pengetahuan. Namun ada fakta empiris yang bisa kita benarkan dan jadikan acuan.
Tapi dengan membaca literature diatas, sedikit banyak membuat saya sendiri menggeser persepsi dan tidak terlalu responsif terhadap orang yang marah. Apalagi di Sosmed. Terutama di WA, yang antara bahasa tulis, tutur, dan ekspresinya bisa sangat berbeda. Sebenarnya bukan faktor orangnya, tapi faktor fikiran kita menangkap bahasa tersebut.
Ada yang kalau bertemu cenderung santun, tapi di WA sering share tulisan-tulisan provokatif nan emosional. Kita tidak bisa mengidentifikasinya, karena bisa jadi itu bukan tulisan yang ia buat. Namun tulisan orang lain yang mungkin wewakili fikiran dan emosinya, namun secara pribadi ia tak akan membuat tulisan semacam itu.
Di era digital ini tantangan terbesarnya memang mengelola emosi. Karena seringnya salah paham, atau salah tafsir bahasa. Sekalipun sudah ada emoticon. Karena merubah orang lain itu tidak mudah, maka cara terdekat adalah merubah fikiran kita sendiri. Bersabar untuk tak reaktif dengan bahasa tak elok. Susah memang, tapi harus terus berusaha. []
Blitar, 16 November 2016
A Fahrizal Aziz
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini