IMMAWAN BUNG KARNO, (bagian pertama)

IMMAWAN BUNG KARNO

Sepenggal kisah kedekatan IMM dengan Soekarno
(bagian pertama)

oleh : Rusdianto
Direktur Eksekutif Global Base Review (GBR)
Kedatangan Bung Kindi (sebutan nama Djazman Al Kindi) oleh Soekarno waktu itu. Sowannya pengurus DPP IMM periode awal tahun 1965 membawa misi bersejarah dalam pergerakan mahasiswa.
Penting untuk diketahui bahwa restu Soekarno dalam proses mendirikan organisasi pergerakan mahasiswa waktu itu sangatlah vital. Apalagi kelahiran IMM sebagai entitas kaum pergerakan Islam dan laboratorium intelektual umat menjadi rentan di intervensi karena waktu itu sangat berpengaruh terhadap eksistensi partai Komunis Indonesia.
Dalam pertemuan tersebut, Soekarno memberi sedikit wejangan kepada pengurus the founding father Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah “kaoem moeda Muhammadijah jangan loyo, teroes pimpin pergerakan”. Kemudian, Bung Karno bertanya kepada Kindi “apa jang hendak kalian sampaikan ?”.
Djazman Al Kindi beranjak dari tempat duduknya, dengan lugas dan singkat menyampaikan maksud kedatangannya ke Istana Negara khusus menemui Presiden Soekarno. Kindi katakan “Pak Presiden, kami pengoeroes baroe Ikatan Mahasiswa Muhammadijah, bahwa kami akan akan laksanakan munas I di Kota Barat Solo tanggal 1-5 Mei 1965 besok. Pengoeroes sangat belia terbentuknja, kami memohon doa dan restoe kepada bapak Presiden agar organisasi jang belia ini dapat toemboeh sampai lahirnja kaoem pergerakan masa depan”.Ujar Kindi

Bung Karno yang posisi duduknya dekat meja kepresidenan, segera bangun sambil berujar “Bung Kindi, namamoe seperti tokoh petoealang dan ilmoewan, namoen wajahmoe mirip China Batavia. Ide dan gagasan moe sungguh moelia karena ingin mengabdi kepada bangsa dan Negara.
Kalian semoea tau waktu saya di Bengkoeloe masoek pengoeroes Muhammadijah dan istri saya iboe kalian semoea, tokoh Aisyiyah Moehammadijah Bengkoeloe”. Hati saya soedah terpikat dengan Muhammadijah sehingga saya menjadi kader / anggoeta Moehammadijah di sana.
Saya senang sekali pergerakan dan perjoeangan Moehammadijah. Saya pun sudah menjadi moerid mengaji Goeroe kijai Ahmad Dahlan sejak tahoen 1916  bersama pemoeda lain”.Cerita Soekarno pada pengurus baru IMM pada tahun 1965 itu.
Setelah Bung Karno berbicara, kemudian berjalan kearah meja resmi kepresidenan, lalu mengambil selembar kertas putih beserta Bolpoint merah. Kertas yang diambil belum pernah dipakai menulis dan masih bersih dari coretan tinta. Sedangkan Bolpoint merah yang dimaksud adalah pemberian HOS Cokroaminoto ketika belajar dirumah Cokro dan menjadi anak kos di gang peneleh Surabaya.
Bung Karno “sapaan akrab bapak bangsa itu”, sebelum menulis dikertas putih dengan Bolpoint merah yang ujungnya lancip. Bung Karno sejenak bertanya “saya memanggil kawan-kawan sebutan “Bung”, kalian memanggil saya apa ?” demikian pertanyaan seorang Karno.

Tak menunggu lama “Bung Kindi” menjawab pertanyaan Soekarno lagak santai “Immawan Bung Karno pak”.
Semua seisi ruangan kepresidenan itu kaget dan merasa bingung. Semua pengurus IMM yang hadir waktu itu sempat khawatir “kira-kira” mau menjawab apa dari pertanyaan Soekarno itu. Namun, kecerdasan intelektual seorang Djazman Al Kindi sangat sigap menjawab dan memberi Gelar “Immawan  Bung Karno”.
Atas gelar itulah “Soekarno” menulis makna dan tujuan kehadiran pengurus IMM di istana kepresidenan dengan kalimat“Saya Beri Restu Kepada Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah”  tertanda Soekarno pada Rabu, 16 Februari 1965 di Istana Merdeka.

Sudah tentu tulisan bersejarah ini tak dimiliki oleh organisasi pergerakan mahasiswa lain. Hanya IMM yang mempunyai hubungan langsung dan mendapat restu dari Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno-Hatta.
Mengapa sangat penting restu Bung Karno karena tahun-tahun 1965 merupakan tahun dimana bangsa Indonesia sangat kritis dan rentan kehilangan sebuah ideologi. Karena memang selain rongrongan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk mengganti ideologi pancasila dengan asas komunisme.
Juga, ingin membubarkan seluruh organisasi Islam, baik pada level ormas maupun tingkat kemahasiswaan. Termasuk Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang telah diberi restu oleh Soekarno pun dirong-rong oleh CGMI underbow PKI waktu itu. Buktinya, saat pengkaderan IMM diwilayah Bandung - Jawa Barat dan sekitarnya, CGMI melakukan intervensi dengan berbagai cara dan berusaha membubarkan aktivitas pengkaderan yang dilakukan oleh IMM.
HUT ke 10 KAA, IMM dan Ke-Indonesia-an
Pertemuan di Istana sehari sebelum pelaksanaan hari Ulang Tahun ke 10 Konferensi Asia Afrika (HUT 10 KAA) di Al Jazair Timur Tengah. Tentu pertemuan tersebut banyak hal yang di bahas antara pengurus pertama (assabiqul al awwalun) IMM dengan presiden Bung Karno.
“Boeng Kindi” dan kawan-kawan, sebelum saja beroejar, saya maoe dengar kalian mengaji, adakah diantara kamoe semoea bisa mengaji ?”. Tanya Bung Karno kepada Bung Kindi dan kawan-kawan waktu itu.
Dengan tanggungjawab dan rasa ketaqwaan yang tinggi. Maka Bung Kindi mengajukan Immawati Siti Ramlah untuk membaca Al-Qur’an di majelis pertemuan tersebut. Lalu tak lama kemudian al-Qur’an pun di bacakan oleh Siti Ramlah pada surat Al Imron.
Mungkin saja maksud Bung Karno meminta pada Bung Djazman dan kawan-kawan untuk mengaji itu bermaksud baik. Bisa saja Soekarno (Bung Karno) menguji kemampuan kader-kader IMM yang notabene akan menjadi anggota Muhammadiyah. Tentu yang paling utama adalah harus bisa mengaji.
Namun, di luar dugaan Bung Karno, bahwa seorang Immawati Siti Ramlah adalah penghafal Al-Qur’an 30 Juz. Walaupun di foto (dokumentasi) asli pertemuan tersebut nampaknya Immawati Siti Ramlah tak memakai Jilbab. Tetapi pakaiannya langgam adat Jawa campur Sulawesi Makassar serta batik asli keratin Solo.

Disi lain, immawan justru menampilkan sisi unik dengan memakai jas hitam, dasi merah, baju putih dan celana hitam.

Tentu dengan penampilan itu pengurus awal DPP IMM ini tak mengecewakan Bung Karno. Pasalnya mereka sangat akrab dan bercengkrama dengan Bung Karno presiden pertama Republik Indonesia itu.
Setelah selesai mengaji (membaca) al-Qur’an, Bung Karno langsung memimpin pertemuan tersebut dengan berdialog dan berdiskusi langsung dengan para pengurus awal IMM.
Bung Karno waktu, meminta kepada kepada tamu (Bung Kindi dkk) agar dapat mendengarkan pidato dan inti pemikiran Soekarno pada saat disiarkan nanti melalui berbagai media massa pada saat di acara HUT KAA ke 10 di Al Jazair. Tetapi sedikit banyak pidato Bung Karno sudah diketahui oleh Djazman Al Kindi dan Kawan-kawan. Berikut beberapa hal penting yang di bahas oleh Bung Karno.
Dokumen tersebut dalam bahasa Inggris. Dokumen itu sebelum di faximily atau di telegramkan ke kedutaan Indonesia di Al Jazair. Dokumen tersebut sangat penting karena 4 (empat) tahun setelah Al Jazair merdeka pada tahun 1962.
Hal-hal penting di bahas oleh Bung Karno bersama adalah pasca berakhirnya Perang Dunia II pada Agustus 1945, tidak berarti berakhir pula situasi permusuhan di antara bangsa-bangsa di dunia. Di beberapa belahan dunia masih ada masalah dan muncul masalah baru. Penjajahan yang dialami oleh negara-negara di kawasan Asia dan Afrika merupakan masalah krusial sejak abad ke-15.
Walaupun sejak tahun 1945 banyak negara, terutama di Asia, kemudian memperoleh kemerdekaannya, seperti Indonesia (17 Agustus 1945), Republik Demokrasi Vietnam (2 September 1945), Filipina (4 Juli 1946), Pakistan (14 Agustus 1947), India (15 Agustus 1947), Birma (4 Januari 1948) dan Ceylon (4 Februari 1948), dan Republik Rakyat Tiongkok (1 Oktober 1949), namun masih banyak negara lainnya yang berjuang bagi kemerdekaannya seperti Aljazair, Tunisia, Maroko, Kongo, dan di wilayah Afrika lainnya. Beberapa Negara Asia Afrika yang telah merdeka pun masih banyak yang menghadapi masalah sisa penjajahan seperti daerah Irian Barat, Kashmir, Aden, dan Palestina. Selain itu konflik antarkelompok masyarakat di dalam negeri pun masih berkecamuk akibat politik devide et impera.
Lahirnya dua blok kekuatan yang bertentangan secara ideologi, yaitu Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat (kapitalis) dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Sovyet (komunis), semakin memanaskan situasi dunia. Perang Dingin berkembang menjadi konflik perang terbuka, seperti di Jazirah Korea dan Indo-Cina. Perlombaan pengembangan senjata nuklir meningkat.
Hal tersebut menumbuhkan ketakutan dunia akan kembali dimulainya Perang Dunia.

Walaupun pada masa itu telah ada badan internasional yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfungsi menangani masalah dunia, namun pada kenyataannya badan ini belum berhasil menyelesaikan persoalan tersebut, sementara akibat yang ditimbulkan oleh masalah-masalah ini sebagian besar diderita oleh bangsa-bangsa di Asia dan Afrika.
Bung Karno mengungkapkan bahwa lahirnya ide Konferensi Asia Afrika (KAA) ini pada awal tahun 1954, para pemimpin dari berbagai Negara berkeinginan yang sama untuk berkumpul sehingga yang hadir waktu itu adalah Perdana Menteri Ceylon, Sir John Kotelawala, mengundang para perdana menteri dari Birma, India (Jawaharlal Nehru), Indonesia (Ali Sastroamidjojo), dan Pakistan (Mohammed Ali) dengan maksud mengadakan suatu pertemuan informal di negaranya.
Undangan tersebut diterima baik oleh semua pimpinan pemerintah negara tersebut. Pada kesempatan itu, Presiden Indonesia, Soekarno, menekankan kepada Perdana Menteri Indonesia, Ali Sastroamidjojo, untuk menyampaikan ide diadakannya Konferensi Asia Afrika pada pertemuan Konferensi Kolombo tersebut.
Beliau menyatakan bahwa hal ini merupakan cita-cita bersama selama hampir 30 tahun telah didengungkan untuk membangun solidaritas Asia Afrika dan telah dilakukan melalui pergerakan nasional melawan penjajahan.
Sebagai persiapan, maka Pemerintah Indonesia mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh para Kepala Perwakilan Indonesia di Asia, Afrika, dan Pasifik, bertempat di Wisma Tugu, Puncak, Jawa Barat pada 9 – 22 Maret 1954, untuk membahas rumusan yang akan dibawa oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo pada Konferensi Kolombo, sebagai dasar usulan Indonesia untuk meluaskan gagasan kerja sama regional di tingkat Asia Afrika. 
Pada 28 April – 2 Mei 1954, Konferensi Kolombo berlangsung untuk membicarakan masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama.
Dalam konferensi tersebut, Perdana Menteri Indonesia, Ali Sastroamidjojo, mengusulkan perlunya diadakan pertemuan lain yang lebih luas antara Negara-negara Afrika dan Asia karena masalah-masalah krusial yang dibicarakan itu tidak hanya terjadi di Negara-negara Asia yang terwakili dalam konferensi tersebut tetapi juga dialami oleh negara-negara di Afrika dan Asia lainnya.
Usul ini diterima oleh semua peserta konferensi walaupun masih dalam suasana skeptis. Konferensi memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk menjajaki kemungkinannya dan keputusan ini dimuat di bagian akhir Komunike Konferensi Kolombo.
Kemudian, pemerintah Indonesia, melalui saluran diplomatik, melakukan pendekatan kepada 18 Negara Asia Afrika, untuk mengetahui sejauh mana pendapat negara-negara tersebut terhadap ide pelaksanaan Konferensi Asia Afrika.
Ternyata pada umumnya mereka  menyambut baik ide ini dan menyetujui Indonesia sebagai tuan rumah konferensi tersebut, walaupun mengenai waktu penyelenggaraan dan peserta konferensi terdapat berbagai pendapat yang berbeda.
bersambung ....
_______________



0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini