Mengenal Widji Thukul dan Makna Puisinya, (bagian pertama)

Mengenal Widji Thukul dan Makna Puisinya
(bagian pertama)



Siapa yang tak mengenal nama Wiji Thukul. Penyair (sekaligus aktivis) yang menjadi korban penculikan tragedi 1998.  Ia lahir di Surakarta, 26 agustus 1963, nama aslinya adalah Widji Widodo. Thulu mulai menulis sejak SD, dan ketika di duduk di bangku SMP, thukul mulai tertarik dengan dunia teater. Waktu itu ia bergabung kelompok teatre jagad. Setelah menyelesaikan pendidikan SMP, Ia melanjutkan sekolahnya di Sekolah menengah karawitan dan mengambil jurusan tari. Akan tetapi di tengah perjalanan, wdji memutuskan untuk berhenti sekolah karena kesulitan ekonomi.

Untuk menyambung hidupnya, thukul pernah jadi pengamen yang masuk keluar kampung dan kota, sempat pula ia berjualan koran, jadi calo karci bioskop, jadi tukang pelitur di sebuah toko mebel dan pernah juga menjadi tukang servis.

Pada bulan oktober 1989, Widji Thukul menikah dengan seorang buruh biasa yang bernama Siti Dyah Sujirah. Buah dari perkawinannya itu, lahirlah anak pertamanya yang di beri nama Fitri Nganthi wani. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tanggal 22 desember 1993, lahirlah anak keduanya yang bernama Fajar Merah.

Kendati hidupnya di penuhi dengan kesulitan – kesulitan, Ia tetap aktif menyelenggarakan kegiatan teater, melukis dan memmbuat puisi, se;lain kegiatan sastranya, Ia juga mulai aktif di dunia pergerakan.

Tercatat ia pernah

  1. Ikut demontrasi memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil, PT. Sariwarna asli Solo, pada tahun 1992
  2. Pada tahun 1994, Thukul memimpin memimpin demontrasi petani di Ngawi Jawa Timur
  3. Tahun 1995 ia pernah mengalami cedera mata kanan karena dibenturkan pada mobil oleh aparat sewaktu ikut dalam aksi protes karyawan PT Sritek
  4.  Pada kerusuhan mei 1998, aparat telah menulis nama thukul ke dalam daftar pencarian Koppasus mawar.   Dan pada tanggal 27 Juli 1998, ia menghilangkan jejaknya hingga saat ini, dan Widji adalah satu dari belasan aktivis yang hilang pada masa Orba.
Puisi adalah senjata Thukul untuk melawan penguasa.

Kebanyakan puisi- puisi  Wiji Thukul dilatarbelakangi oleh dunia orde baru yang menceritakan sebuah perjuangan pengarang untuk melakukan perubahan terhadap masa nya yang menjadi kecenderungan tematik puisi tersebut adalah semangat nasionalisme. Puisi Thukul menggambarkan bagaimana seorang tokoh Wiji Thukul memperjuangkan kebebasan masyarakat di tanah airnya.

buku kumpulan puisi - puisi wiji thukul

Seperti yang telah di uraikan di atas, Widji Thukul adalah seorang penyair pemberani, yang mendengar namanya kita ingat nasibnya yang  penuh misteri. Sebaris  puisnya yang terkenal”maka hanya ada satu kata – LAWAN” judulnya “peringatan”.

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

(Wiji Thukul, 1986)

Dari Puisi Di atas terlihat, bagaimana thukul dengan puisinya menggambarkan kekecewaan rakyat kepada panguasa, sebuah kebenaran yang mualai terancam karena penguasa berlagak seperti Tuhan yang menang sendiri. Di akhir puisinya diatas, widji seakan akan mengajak seluruh khalayak umum untuk berani melawan kepada penguasa yang dzolim. 3 bait  terakhir dari puisi di atasa sampai saat ini di jadikan suntikan semangat untuk para aktivis di seluruh Indonesia.



Leon Agusta mengatakan “Baris baris puisi wijdi thukul itu di hafalkan oleh para buruh, tukang becak, tpedagang kaki lima, rakyat biasa. Dengan semangat bahwa widji thukul adalah juru bicara kesengsaraan nasib mereka. Widji thukul memang bukan penyair besar, ia juga mungkin bukan penyair adi luhung, tetapi mana da satu penyair di Indonesia yang popularitasnya di kalangan rakyat biasa bisa mengalahkan widji thukul, ia bisa mangalahkan popularistas WS rendra , sutarji atau penyair besar lainnya, karena ia juru Bicara rakyat biasa”

Sejumlah puisinya pun jadi inspirasi. Ada yang berhubungan dengan kekejaman penguasa, cerita masa pelarian, hingga kerinduannya pada keluarga. Sebagian lirik puisi Thukul ada yang dijadikan lagu perlawanan, yang hampir setiap ada aksi mahasiswa dan buruh selalu diperdengarkan. Salah satunya adalah puisi “bunga dan tembok”

BUNGA DAN TEMBOK

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri

Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun–tirani harus tumbang!


Makna dari Empat bait terakir dari puisi “ bunga dan tembok” , telah kami sebar biji biji , adalah sebuah kepedulian Thukul terhadap generasi mendatang. Telah kami sebar biji-biji juga berarti sebuah proses perkaderan. Pembentukan kader merupakan sekumpulan aktifitas perkaderan yang integrasi dalam upaya mencapai tujuan pergerakan. Perkaderan itu dilakukan secara sadar, terencana, sistematis, dan berkesinambungan serta memiliki pedoman dan aturan yang baku secara rasional dalam rangka mencapai tujuan. Dalam puisi “bunga dan tembok” itu Thukul yakin bentul, bahwa kelak ada segolongan aktivis yang akan membela hak – hak kaum tertindas. Inilah bentuk keyakinan itu : Suatu saat kami akan tumbuh bersama.

(bersambung)

____________________
____________________
 penulis:


Khabib M Ajiwidodo
ia adalah mantan aktivis mahasiswa, sekarang sebagai pimpinan redaksi srengenge online


0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini