Apa yang diinginkan Buya Syafii Maarif atas statement-statement yang selama ini beliau ajukan? Pujian, jabatan, atau hal-hal pragmatis lainnya? yang semacam itu nampak tidak melekat pada diri Buya, pada gaya hidupnya. Bahkan jika diperhitungkan, dibandingkan Aa Gym, Dai yang juga seorang pengusaha, atau Yusuf Mansur yang terkenal sebagai pioner sedekah, Buya Syafii tidak pernah menampakkan kemapanan hidup. Termasuk dengan Habib Rizieq, pentolan FPI yang difasilitasi mobil mewah.
Dan memang tidak bisa dipersamakan. Buya adalah akademisi, bukan Da’i. Buya tidak memproduksi fatwa, atau tips-tips keagamaan. Buya memproduksi teori, analisis yang terukur. Jika Buya menyebut Umat Islam kini rapuh, kita bisa melacaknya sendiri, baik dari segi ekonomi, politik, pendidikan, dan lain sebagainya. Ada fakta, ada analisa.
Beberapa waktu sebelumnya, Buya menyebut Ahok bukan orang jahat. Definisi jahat adalah melanggar hukum, dan dalam sebuah negara, jahat tidaknya orang ditentukan oleh lembaga penegak hukum, dan sejauh ini belum ada lembaga penegak hukum yang memvonis Ahok bersalah/terlibat kejahatan. Itu berbeda arti jika Buya bilang Ahok tidak berdosa, dan itu sesuatu hal yang musykil. Sehingga, ucapan Ahok bukan orang jahat, didasarkan pada status hukum yang saat ini ada.
Dalam fikiran yang jernih, harusnya bukan figur Buya yang kita kritisi, bukan pula Ahok. Tapi lembaga penegak hukum. Karena dalam konteks negara, jahat dan dosa itu berbeda, tidak semua perilaku dosa itu bisa dijerat oleh hukum negara. Bagi seorang Muslim, makan daging babi itu dosa, tapi itu bukan kejahatan. Seorang Muslim tidak bisa dipenjara karena ia makan daging babi. Tapi ada juga dosa yang sekaligus kejahatan, seperti menyuap, mencuri, dan membunuh.
Sejujurnya, saya pun tidak selalu sependapat dengan statement Buya Syafii Maarif. Saya membaca buku-buku beliau, juga mengikuti tulisan-tulisan beliau di media massa. Pada intinya, manusia memang tidak didesain untuk selalu sama. Tapi belakangan kita menjadi takut sekali untuk berbeda, mengingat derasnya hujatan, makian, atau stigma. Bahkan ada stigma bahwa Muslim yang tidak peduli aksi 411 itu adalah Kaum Munafik.
Derasnya hujatan kepada Buya terkait argumen apakah Ahok menista Al Qur’an atau tidak, juga riuh terdengar. Bahkan ada petisi mencabut gelar Buya. Rasa benci kian terorganisir, tidak saja untuk Ahok, namun juga kepada orang lain yang tidak sepaham. Yang tidak ikut-ikutan pun juga kena imbas, yang diam dan tidak merespon, dianggap munafik. Ini mengerikan. Seolah semua harus sama dalam satu cara pandang.
Pada situasi semacam ini, hati harus ditata. Sebagai orang yang berada di kultur akademik, argumentasi adalah hal biasa, dan bukan sesuatu yang final. Argumentasi dibalas dengan argumentasi, maka terjadi dialog akademik yang sehat. Bukan argumentasi dibalas dengan caci maki. Ini yang membuat Umat terkungkung pada polarisasi konflik dan tak akan maju-maju, karena yang ada hanya energi marah-marah.
Buya dengan fikiran akademisnya, membuka setiap kemungkinan argumentasi yang berbeda, dan beliau pun kerap kali memposisikan diri berbeda. Kultur akademik melihat persoalan dari akarnya, bukan dari ramuan yang meredakan sementara. Seperti Balsem, meredakan sementara, tapi tidak menyembuhkan. Meredakan, tapi tidak menusuk pada inti penyakit itu sendiri.
Fenomena Ahok ini, kalau kita telusur lebih jauh, tidak semata soal cuilan Pidatonya di Kepulauan seribu. Rasa tidak suka, antipati terhadapnya, adalah tumpukan dari rasa kesal dari beberapa skandal yang diduga menjeratnya, seperti kasus sumber waras, reklamasi, sampai penggusuran. Atau mungkin, Ahok dijadikan media semata untuk memasukkan pengaruh lain yang lebih luas, yang kita tidak tahu. Sampai-sampai Muncul gambar Mujahid yang menyiapkan peti mati untuk Ahok.
Rasa tidak suka itu bertumpukan dengan ekspansi ekonomi Tiongkok yang kini bergerak maju, bahkan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia, yang khawatir Ahok dijadikan pintu untuk menguasai Indonesia. Prasangka dan kekhawatiran itu muncul menjadi bumbu-bumbu isu yang makin sedap.
Namun disatu sisi, secara politik, Kekuatan Parpol Islam terus melemah. Di Pilgub DKI saja, tiga aktor utama justru bukan dari Parpol Islam, atau yang berhaluan Islam. Demo 411 bergerak dari memenjarakan Ahok, sampai melengserkan Jokowi. Sembari meraba-raba siapa figur yang kelak kan mengisi dua posisi strategis dalam politik tersebut. Artinya perjuangan itu belum komplit, masih mengawang-ngawang. Tagline-nya membela Islam, namun kita sendiri masih tidak tahu apa barometer kemenangannya. Apa hanya sekedar Ahok dipenjara, atau Jokowi lengser? Setelah itu whats next?
Lalu untuk apa kita menghujat Buya Syafii Maarif atau tokoh-tokoh lain semisal Nusron Wahid? Jikalau kita sendiri belum tahu sisi mana yang kita bela, bagian Islam mana yang akan kita menangkan, sehingga kita punya kekuatan disana? Jika domainnya Ahok dan Jokowi, maka sisi yang diserang adalah sisi politik. Apalah arti jikalau nanti Ahok atau Jokowi benar-benar lengser, namun diisi kembali oleh figur yang tidak sesuai.
Apakah Ahok nantinya divonis bersalah atau tidak, apakah dia akan menang Pilgub DKI atau tidak, itu urusan Kepolisian dan warga DKI Jakarta yang punya hak suara. Kita ngotot seperti apapun juga tak akan berdampak. Yang jelas, saya tetap takzim kepada Buya Syafii Maarif. []
Blitar, 10 November 2016
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini