Oleh: RAKHMAN*
Menterjemahkan firman Tuhan ke dalam bahasa manusia dengan fikiran, ucapan serta perbuatan untuk aksi nyata membumikan firman Tuhan, sesungguhnya memasuki wilayah mutlak dalam kenisbian namun itu merupakan suatu keharusan sebagai makhluk ciptaanNya yang berakal agar mendapatkan petunjuk jalan yang lurus. Firman Tuhan merupakan pintu menemukan hikmah bagi orang-orang yang berfikir, sebagai contoh di dalam QS Al-Maidah [5] ayat 3 yang melarang memakan daging babi dan hukumnya adalah haram sebagaimana dalam fiqih (hukum Islam/syariat Islam) berdasarkan firman Tuhan di dalam Al Qur’an.
Di dalam Al-Qur’an dan terjemahannya edisi asmaul husna dan doa yang diterjemahkan oleh Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an disempurnakan oleh Lajnah Pentashib Mushaf Al-Qur’an menyebutkan bahwa orang-orang yang lalai terhadap shalatnya adalah orang-orang yang tidak menghargai serta melalaikan pelaksanaan dan waktu-waktu shalat. Riya ialah merupakan perbuatan tidak untuk mencari keridhaan Allah, tetapi untuk mencari pujian atau kemasyuran di masyarakat. Enggan (memberikan) bantuan, sebagian mufasir mengartikannya dengan “enggan membayar zakat”.
Pengertian tersebut diatas mengandung makna dimensi ruhani (teologis) dalam shalat serta dimensi jasmani (sosiologis) dalam zakat yang keduanya merupakan satu rangkaian ibadah pengabdian kepadaNya. Oleh sebab itu pula hukum Islam (fiqih) berdasarkan QS Al-Maidah [5] ayat 38 dan 39 bahwa bagi yang mencuri baik laki-laki maupun perempuan adalah potong tangan sebagai hukum yang terutama. Tentunya tidak semudah itu pelaksanaannya karena harus melihat faktor dibaliknya, yaitu kemiskinan lahiriah/jasmani (dimensi sosiologis) serta kemiskinan batiniah/ruhani (dimensi teologis) sebagai dasarnya. Jadi pelaksanaan hukum tersebut harus terlebih dahulu memotong kemiskinan dalam dua dimensi (teologis dan sosiologis). Apabila masih melakukannya tiga kali tanpa jeda atau dengan jeda setelah diberi peringatkan maka layak dilaksanakan hukuman tersebut.
Penghargaan terhadap kemanusian (humanitas) dalam ajaran agama Islam sesungguhnya sangat tinggi sebagai contoh larangan membunuh manusia tanpa sebab adalah sama nilainya dengan membunuh seluruh ummat manusia, sedangkan menyelamatkan satu orang manusia sama nilainya dengan menyelamatkan seluruh ummat manusia (lihat QS Al-Maidah [5]: 32). Menyelamatkan diri dan sesama manusia dengan memberi makan batiniah (ruhani) dan lahiriah (jasmani) dalam wujud shalat dan zakat merupakan dua dimensi (teologis dan sosiologis), telah tergambar didalam shalat yang diawali takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam ke kiri dan ke kanan sebagai simbol kemerdekaan dan memerdekakan, sebagaimana seruan dalam adzan, hayya’alashalaa, hayya’alalfalaa yaitu marilah mendirikan shalat, marilah menuju kemenangan (kemerdekaan).
METODE PENDEKATAN (METODE APPROACH) DALAM REVOLUSI
Eksistensi insan paripurna bukan hanya merupakan perkembangan eksistensi tertinggi manusia namun juga merupakan puncak integrasi holistik perkembangan akal budi manusia dari tahap teologis, metafisis, ke positivis (Augus comte), dalam hal ini insan paripurna telah mencapai puncak pensucian jiwa dan penguatan diri dalam rangka hadir untuk melayani agama yang hanif sebagaimana dari kepasrahan nabi Ibrahim as pada agama yang hanif (agama tauhid) hingga perintah kepada nabi Muhammad saw dalam fiman-Nya “aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musryik. (TQS [6] al An’am: 79) Katakanlah (Muhammad); sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, (TQS [6] al-An’am: 162) tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).” (TQS [6] al An’am: 163).
Kisah baginda nabi Ibrahim as dan baginda nabi Muhammad saw patut kita teladani karena beliau adalah dua sosok nabi yang menjadi teladan bagi ummat manusia dalam revolusi tauhid dan sosial, oleh sebab itu sudah sewajarnya jika beliau didaulat sebagai revolusioner sejati, dan sang pencerah sejati yang menjadi teladan bagi ummat manusia. Jika baginda nabi Ibrahim as meletakkan fondasi agama tauhid melalui perjalanan spiritualnya, maka baginda nabi Muhammad saw menghapus lembaga-lembaga sosial dan ekonomi yang dibangun oleh nabi-nabi sebelumnya. Namun semuanya menegaskan kebenaran satu sama lain. Kebenaran tentang keadilan, kemanusian, kemerdekaan, kemulyaan, pembebasan, pencerahan, dan keteladanan.
Setelah baginda nabi Ibrahim as melihat bintang, bulan, dan matahari yang dia katakan, “Inilah Tuhanku” tetapi semuanya terbenam maka ia pun menyatakan kepasrahannya pada agama yang hanif (agama tauhid) dengan mengatakan; Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musryik. (TQS [6] al An’am: 79) Permasalahan ketauhidan sesuai dengan fitrah manusia sebagaimana Dia telah berfirman; Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu)agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini,” (TQS [7] al-‘Araf: 172)
Demikian pula kisah baginda nabi Muhammad saw sebagai pelangsung dan penyempurna risalah agama tauhid yang diperkenalkan oleh baginda nabi Ibrahim as sebagai agama monoteisme, hal tersebut dengan jelas beliau sampaikan kepada kaum musryik di Makkah, sebagaimana firman-Nya; Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya Tuhanku telah memberikan petunjuk ke jalan yang lurus, agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus. Dia (Ibrahim) tidak termasuk orang-orang musyrik.” (TQS [6] al An’am: 161) Katakanlah (Muhammad); sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam,(TQS [6] al An’am: 162) tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).” (TQS [6] al An’am: 163).
Kemantapan kesatuan holistik integratif yang tak terpisahkan pada dimensi uhrawi (teologis) dengan dimensi duniawi (sosiologis) tergambar dengan sangat jelas di dalam firman-Nya; Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku (TQS [51] az- Zariyat: 56) Di dalam ayat ini terdapat kata liya’budun yang berarti supaya mereka menyembah-Ku (beribadah). Makna beribadah bagi manusia di sini tidak hanya ibadah mahdah dan ghairu mahdah tetapi termasuk ibadah muamalah, bahkan setiap gerak gerik perbuatan diri kita adalah ibadah dan niyat dalam hati menjadi pangkal utama agar ibadah kita menjadi amal kebaikan, oleh sebab itu muraqabah harus senantiasa hadir dalam diri kita sebagai fondasi akhlak yang mulia.
Muraqabah merupakan fondasi terpenting dalam revolusi kemiskinan dua dimensi, terutama yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi ummat, di dalamnya tidak hanya menyangkut dimensi muamalah tetapi juga dimensi ibadah yang menjadi amal, sehingga aspek akhlak harus mendapatkan perhatian terutama.
“… Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah dan janganlah berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.” (al-Baqarah:60)
“Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (al-Baqarah:168)
Islam mendorong penganutnya berjuang untuk mendapatkan materi/harta dengan berbagai cara dengan syarat tidak melanggar rambu-rambu yang telah ditetapkan.
Salah satu hadits Rasulullah saw. menegaskan,
“Kaum muslim (dalam kebebasan) sesuai dengan syarat dan kesepakatan mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (at-Tirmizi, kitab al-Ahkam nomor 1272)
Rambu-rambu tersebut di antaranya: carilah yang halal lagi baik; tidak menggunakan cara batil; tidak berlebih-lebihan/melampaui batas; tidak dizalimi maupun menzalimi; menjauhkan diri dari unsur riba, maisir (perjudian dan intended speculation), dan gharar (ketidakjelasan dan manipulatif), serta tidak melupakan tanggung jawab sosial berupa zakat, infak, dan sedekah.[2]Dalam prinsip etika Islam pada hakikatnya adalah menjalankan bisnis yang jujur sesuai akidah agama yang diyakininya. Ujian untuk berperilaku jujur, dan mendapatkan berkah rizki yang diperoleh dari usaha bisnisnya itu. Masyarakat bisnis dalam ekonomi Islam merupakan gambaran percaturan kehidupan perniagaan yang seharusnya berlomba untuk mendapatkan kelimpahan rahmah dan yang mendapat restu dari Allah Swt.[3]
Hal tersebut selaras dengan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Bangsa Indonesia sebagai negara yang berideologi Pancasila sebagai nilai-nilai dasar, landasan kehidupan, kepercayaan, bahwa moral ekonominya berladaskan moral pancasila. Nilai-nilai yang dikembangkan berasal dari nilai-nilai agama termasuk nilai-nilai adat asli bangsa Indonesia yang berasal dari berbagai suku bangsa. Dalam pada itu Islam sebagai agama dianut oleh terbesar bangsa Indonesia, berperan sangat besar mempengaruhi aturan-aturan nilainya.
Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Ayat ini sangat jelas selaras dengan ayat-ayat Al Qur’an surah [4] An Nisa’ ayat 1 Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu. Menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau meminta kepada orang mereka mengucapkan nama Allah seperti As’aluka billah artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah. Qur’an surah [49] Al-Hujurat ayat 10 Sesungguhnya orang-rang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.
Sebagai bangsa, Indonesia adalah keluarga besar berdasarkan Qur’an surah [4] An Nisa’ ayat 1 dan Qur’an surah [49] Al-Hujurat ayat 10 menunjukkan bahwa sebagai keluarga besar harus saling bekerja sama dalam berekonomi dan tidak dibenarkan bersaing yang dapat berakibat saling mematikan. Hal ini berbeda dengan pandangan liberalisme yang menganggap persaingan bebas menghasilkan harmoni dan kesejahteraan masyarakat. Menurut Satjipto Rahardjo[4] dikatakan oleh Sri-Edi Swasono dalam salah satu tulisannya bahwa “Pasal 33 UUD 1945 adalah suatu ‘Raksasa’. Diterapkannya Pasal 33 UUD 1945 merupakan wujud nasionalisme Ekonomi Indonesia, yaitu merupakan tekad kemerdekaan untuk mengganti asas kolonial, yaitu ‘asas perorangan’ (individualism) menjadi asas nasional, yaitu ‘kebersamaan dan asas kekeluargaan’ (mutualisme and brotherhood atau ukhwuah).” (Swasono, 2007).
Negara hendaknya menjadikan Pancasila sebagai dasar falsafah kebijakan ekonomi negara (pemerintah), yaitu perekonomian yang dibangun bergotong royong berlawanan dengan arah jarum jam seperti orang bertawaf (ekonomi pancasila bertawaf) pada sila-sila pancasila dari sila kesatu, kedua, ketiga, keempat hingga sila kelima. Serta kebijakan ekonomi negara (pemerintah) yang mengikuti arah jarum jam yang dimulai dari sila kesatu, keempat, ketiga, kedua hingga sila kelima.
Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara, hal ini tertuang dalam Pasal 2 Undang-undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sedangkan eksistensi Pancasila dapat ditemukan dalam pembukaan (preambule) Undang Undang Dasar 1945 alenia ke-4. Dan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. Pancasila, sila pertama Ke-Tuhanan Yang Maha Esa menyinari sila ke-4 (empat), Kerakyatan Yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan sila ke-empat menyinari sila ke-tiga, sila ke-tiga menyinari sila ke-dua, sila kedua menyinari sila kelima. Ini menunjukkan makna bahwa Pancasila bermakna bahwa wakil rakyat dalam merumuskan kebijakan untuk mewujukan kepastian hukum yang berkeadilan harus berdasarkan: ‘demi keadilan berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa’ untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
PENUTUP
Simpulan dan Saran
Dimensi uhrawi (teologis) dan duniawi (sosiologis) yang merupakan dimensi yang integratif dan holistik merupakan hal yang berhubungan dengan permasalahan aqidah akhlak, dalam proses revolusinya membutuhkan metode pendekatan (metode approach) yaitu olah rasa (religiusitas), olah fikir (intelektualitas), dan olah raga(humanitas) untuk membangun kesadaran spiritual (Ilahiyah) dengan spiritual question (SQ) dari kesadaran intelektual dengan intelectual question (IQ) ke wilayah kesadaran material dengan emotional question (EQ) sebagai perwujudan daripada ilmu amaliyah, amal ilmiah dengan melakukan pemberdayaan masyarakat dalam rangka memutus mata rantai kemiskinan, baik kemiskinan teologis maupun kemiskinan sosiologis untuk memenuhi janji dalam dua kalimat syahadat, yang mengandung makna pengakuan sebagai makhluk (insan) religius (hablumminallah) dan pengakuan sebagai makhluk (insan) sosial (hablumminannas) yang memikul beban memelihara lingkungannya sebagai khalifah di bumi.
Pelaksanaan rukun Islam sebagai realisasi daripada rukun iman tidak hanya cukup sampai pada aspek ritual yang tanpa makna sehingga tidak mengubah perilaku, baik dalam hablumminallah, hambluminannas maupun hamblumminal’alam, sehingga untuk mencapai tujuan mendekatkan diri kepada Allah, maka beriman kepada Allah tidak hanya mengurus kesalehannya sendiri kepada Allah (kesalehan individual) tetapi juga harus mengurus kesalehan sosial, dengan melaksanakan serta memaknai rukun Islam.
(*) Ketua Bidang HUKUM, HAM & ADVOKASI PUBLIK Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Kota Pontianak (PDPM Kota Pontianak) Periode 2012 sd 2016
REFERENSI TERBATAS
Fadhely, M. Mohammad; Meneropong Kehidupan Ekonomi Umat Islam: Peradaban Islam, kapitalisme, dan budaya China di Indonesia, PT. Golden Trayon Press, Jakarta, 1999
Rahardjo, Satjipto; Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009
Pogo, Tajuddin; Peluang dan Tantangan Perkembangan Ekonomi Islam di Indonesia, Peper seminar ekonomi, FE UMJ, Jakarta, 2012
Al-Qur’an dan terjemahannyaedisi asmaul husna dan doa yang diterjemahkan oleh Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an disempurnakan oleh Lajnah Pentashib Mushaf Al-Qur’an.
UNDANG UNDANG DASAR 1945 Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga, dan Keempat.
[1]Tajuddin Pogo; Peluang dan Tantangan Perkembangan Ekonomi Islam di Indonesia, Peper seminar ekonomi, FE UMJ, Jakarta, 2012, h. 4
[2]Ibid, h. 4
[3]M. Mohammad Fadhely; Meneropong Kehidupan Ekonomi Umat Islam: Peradaban Islam, kapitalisme, dan budaya China di Indonesia, PT. Golden Trayon Press, Jakarta, 1999, h. 15-16
[4]Satjipto Rahardjo; Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, h. 84
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini