suasana workshop |
Tiap peserta mendapatkan 4 buah buku. Saya salah satu peserta workshop yang akan dilaksanakan selama tiga hari tersebut. Karena dekat, saya datang agak awal, menunggu di lobi hotel UMM Inn. Beberapa peserta dari luar kota juga sudah berdatangan, bahkan ada yang datang lebih awal. Rata-rata mereka adalah aktivis LPM (Lembaga Pers Mahasiswa).
Saya satu kamar dengan Fikri, anak Cirebon. Di dalam kamar, sembari menunggu sesi berikutnya dimulai, saya membuka 2 dari 4 buku yang masih terbungkus plastik tersebut. Satu buku bewarna ungu berjudul “PORNO” karya Alex Djunaidi, wartawan senior The Jakarta Post yang juga Direktur Sejuk (Serikat Jurnalistik Untuk Keberagaman), LSM yang menyelenggarakan workshop itu. Satu lagi buku berjudul “Jurnalisme Keberagaman”, salah satu penulisnya Dewi Candraningrum, Pimred Jurnal Perempuan.
Dari workshop ini setidaknya saya punya empat buku baru yang tidak terjual bebas di toko buku, yang kesemuanya membahas tentang keberagaman. Salah satu pematerinya, adalah sosok sensasional bermana Ade Armando. Dalam workshop tersebut saya belajar jurnalisme perspektif baru.
Dalam beberapa workshop yang saya ikuti, buku hampir selalu menjadi bonus tersendiri. Dua kali mengikuti workshop yang diadakan oleh Pusam (Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme), ada dua buku pula yang saya dapat. Satu buku karya banyak penulis berjudul “HAM untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan”, satu buku lagi karya Prof. Dr. Syamsul Arifin yang notabene adalah Direktur Pusam sendiri, berjudul “Studi Islam Kontemporer”.
Juga dalam dua kali tadarus JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) yang saya ikuti, selain buku, ada juga Jurnal Ilmiah yang dibagikan. Beberapa seminar juga ada yang bagi-bagi buku, termasuk seminar tentang terorisme oleh BNPT, yang kala itu membagikan buku tebal terjemahan dari bahasa arab karya Dr. Muhammad Tahrir Ul Qadri, berjudul “Fatwa tentang terorisme dan bom bunuh diri”.Buku-buku tersebut kemudian melengkapi koleksi saya yang sebagian besarnya novel.
Workshop dan seminar semacam itu selalu diburu oleh para penikmat buku. Beberapa LSM seperti Sejuk, Pusam, dll itu memang menjadi rumah tersendiri para penikmat buku dan para peneliti. Salah satu tugas berat mereka adalah menghasilkan buku-buku interdisipliner dari tema besar yang diperjuangkan oleh lembaga.
***
Selama ini kita sering membagi istilah fiksi dan non fiksi. Fiksi merujuk pada karya sastra, sementara non fiksi merujuk pada buku-buku ilmiah. Istilah itu mungkin saja kurang tepat, juga ketidak tepatan pola pikir bahwa seorang novelis pun dalam hidupnya tidak pernah membaca buku lain selain novel. Begitupun sebaliknya.
Menurut Mochtar Probotinggi, buku-buku fiksi justru bersifat parasit atas buku-buku non fiksi. Apalagi novel-novel dengan sudut cerita yang kompleks, hampir mustahil jika penulisnya tidak membaca buku-buku ilmiah yang menyertai. Buku-buku ilmiah menjadi referensi yang membantu terselesaikannya sebuah novel keren dengan isi yang mendalam. Apalagi jika novel tersebut menyinggung soal agama, gender, HAM, budaya, dlsb.
Mungkin agak berbeda dengan novel-novel teenlit yang minim referensi. Bahkan banyak yang sekedar curahan cerita pribadi, mengingat segmentasinya adalah para remaja yang masih belum bisa diajak berfikir berat.
Meski faktanya, ada keterbelahan tersendiri antara penikmat buku. Setidaknya, di Komunitas Penulis yang saya ikuti, banyak yang menjadi pecandu novel, namun jarang sekali membaca buku-buku selain novel. Paling hanya membaca kumpulan cerpen dan puisi. Begitu pun yang menyukai buku-buku ilmiah, mereka terlihat agak alergi dengan novel. Image novel sebagai bacaan perempuan memang belum hilang dari fikiran orang-orang kolot. []
Blitar, 24 November 2016
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini