Syafii Maarif, Ditengah 'Konflik' Amien Rais dan Gus Dur





Buya Syafii Maarif memimpin Muhammadiyah pada masa transisi dari orde baru ke reformasi. Beliau menggantikan Amien Rais yang kala itu begitu kritis terhadap rezim orde baru. Ketika memimpin Muhammadiyah, salah satu beban berat yang harus diselesaikan Syafii Maarif adalah konflik kultural pasca Gus Dur lengser. Di akar rumput, santer tersiar bahwa lengsernya Gus Dur salah satunya karena Amien Rais yang menjabat sebagai ketua MPR. Konflik pun jadi terpolarisasi antara NU dan Muhammadiyah.

Saat itu pula, terjadi konfik grassroot yang akut setelah turunnya Presiden keempat Abdurahman Wahid. Posisi Muhammadiyah tidak terlalu menguntungkan, terjadi pergolakan dimana-mana. Sekolah dan amal usaha Muhammadiyah kerap kali mendapatkan ancaman, bahkan salah satu sekolah Muhammadiyah di Bondowoso habis dibakar massa yang menjadi fanatikannya Gus Dur, disinyalir para Gusdurian itu adalah warga NU. Kejadian tersebut tentu sangat melukai hati warga Muhammadiyah yang susah payah dengan dana sendiri mendirikan sekolah.

Disaat konflik yang membara itu, Buya Syafii Maarif berupaya keras menetralkan keadaan. Meski kala itu banyak warga NU menghujat Amien Rais, yang berdampak pada hujatan terhadap Muhammadiyah, namun Buya yang secara institusi mewakili Muhammadiyah, dikenal sebagai sahabat baik Gus Dur.

Buya pun juga berkomunikasi intens dengan KH. Hasyim Muzadi yang saat itu menjabat sebagai ketua umum PBNU. Bahkan KH. Hasyim Muzadi memberikan tawaran untuk memperbaiki amal usaha Muhammadiyah yang dirusak oleh sebagain massa NU. Tapi Buya menolak dengan alasan jika warga Muhammadiyah sudah bisa mengatasinya sendiri.

NU dan Muhammadiyah merupakan dua Ormas Islam terbesar di Indonesia, bisa dibayangkan jika keduanya sampai berkonflik. Tentu ini juga akan berdampak pada stabilitas negara. Jika dua ormas besar sampai mengedapankan ego masing-masing dan sampai pecah konflik, negara bisa hancur. Namun karena kedekatannya dengan elite NU kala itu, Buya berhasil menetralkan suasana, sehingga riak-riak konflik itu bisa terkurangi.

Buya membagikan pengalamannya diatas dalam tiga episode tulisan yang berjudul “Pengalaman memimpin Muhammadiyah”. Ketiganya dimuat di rubrik Resonansi Republika. [red.s]

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini