Menjadi Politikus





“Jika ingin menjadi politikus, anda akan mulai dari usia berapa dan bagaimana?”tanya salah seorang senior dalam forum diskusi. Bercita-cita menjadi politikus bukan suatu aib disini, meski politik sangat lekat dengan kekuasaan. Sementara dalam agama, kekuasaan bukan sesuatu yang umum untuk dicita-citakan. Orang akan lekas berfikir jika itu amanah.

Saya jadi teringat kuliahnya Prof. Amien Rais. Bahwa politik bukan semata soal when(kapan) dan how (bagaimana). Tapi yang lebih penting, mbah-nya penting, adalah why (mengapa). Mengapa anda ingin menjadi politikus?

“Jika hanya when dan how, lalu apa bedanya anda dengan Profesor botak di Amerika sana?” ujar Prof. Amien Rais. Saya tidak tahu siapa yang dimaksud dengan sebutan “profesor botak” tersebut. Mungkin salah seorang pembuat teori tentang politik. Entahlah. Tapi why memang pertanyaan penting untuk segala hal.

Jawaban atas why itulah yang menjelaskan apakah kita seorang individualis atau humanis. Sementara menjadi politikus, adalah hal yang susah diterka tujuan murninya, karena ia lekat dengan kekuasaan. Katakanlah, kita ingin menjadi politikus bukan untuk kekuasaan, jabatan, atau uang? Orang tidak akan lekas percaya. Karena itu adalah tiga domain penting dalam politik.

Pada kelas politik yang pernah saya ikuti, ada peserta yang bertanya begini : kenapa orang sudah kaya raya masih mau nyalon walikota, gubernur, atau presiden, apa yang dicari? Beginilah jawaban pemateri : politik bisa meningkatkan ekonomi, tergantung berani tidaknya anda “bermain”. Karena itulah, memiliki sebuah posisi sangat menentukan, agar bisa mengontrol kepentingan tersebut. Tapi bagi mereka yang sudah kaya, mereka butuh prestise, atau pengaruh demi sebuah kepentingan juga.

Kepentingan tidak selalu berkonotasi negatif, atau individualis-kelompok. Kepentingan ada yang positif, untuk rakyat, meski akhir-akhir ini kalimat itu terdengar klise.

Politikus kelas ecek akan berfikir bagaimana politik bisa meningkatkan pendapatan ekonomi, meski belum tentu didapatkan. Level setelahnya, adalah bagaimana politik bisa memberikannya sebuah jabatan, meski belum tentu dapat juga. Politikus kelas kakap tidak lagi berkutat dalam dua hal tersebut, ia bergerak menjadi arus. Tak terlihat. Tapi berpengaruh. Ia punya kuasa. Uang dan jabatan hanya soal pilihan, kalau dia mau.

Mendengar jawaban itu, saya tak lekas paham. Kembali ke dua pertanyaan awal, when and how? Jika direnungi, hampir setiap perilaku kita ternyata bisa dihitung aktivitas yang menunjang atau tidaknya kita menjadi politikus. Bahkan semisal kita bercita-cita menjadi politikus di usia 25 tahun, kesadaran itu tidak akan muncul begitu saja, melainkan melalui proses 10 tahun sebelumnya.

Kita sering mendapati orang tiba-tiba punya gelar Sarjana atau Master menjelang Pileg atau Pilkada. Dengan gelar itu orang memiliki nilai tambah. Lalu bagaimana dengan mereka yang sudah melalui proses pendidikan secara nyata? Tentu lebih punya nilai, karena aktivitas akademiknya bisa lebih dipertanggung jawabkan. Pada akhirnya, meski tidak terfikir untuk menjadi politikus, ia akan tetap diperhitungkan.

Salah satu dosen yang baru saja meraih gelar doktor bidang hukum dari UB pernah bercerita, ia dihubungi salah satu petinggi partai di daerahnya. Salah satu daerah Indonesia timur. Kata petinggi partai tersebut, gelar doktor yang diraihnya memudahkan untuk maju Pileg. Partai butuh orang-orang berkualifikasi. Bahkan dengan iming-iming maju dalam kontestasi eksekutif suatu hari. Namun bapak itu menolak. Itu menunjukkan jika gelar akademik memang menggiurkan.

Begitupun yang sudah berorganisasi sejak kecil. Berjibaku mengurus administrasi, jatuh bangun mengadakan kegiatan, berkomunikasi dengan banyak orang dari berbagai kalangan, menggerakkan massa, dlsb. Pengalaman itu akan memudahkannya ketika masuk dunia politik praktis. Sedikit banyak. Ketimbang anak-anak papi yang dipaksa menjadi politisi demi mengamankan dinasti.

Artinya, pengalaman, aktivitas, pendidikan, sampai organisasi, adalah penunjang ketika kita menyatakan YA ingin menjadi politikus. Prosesnya tidak instan. Sangat musykil dan aneh ketika orang bilang ingin menjadi politikus, namun ia tidak pernah terlibat sama sekali dengan kegiatan sosial. Atau terlibat, namun tidak ada sesuatu yang ia persembahkan. Atau malah tidak menjalankan amanah yang diberikannya dengan baik.

Saat ditanya apakah saya ingin menjadi politikus? Jawabannya adalah tidak. Bukan tidak ingin, tapi memang tidak mampu. Kalau dipaksakan, akan terseok-seok. Kalaupun punya keinginan, saya harus belajar lagi lebih intens. Meski saya pernah ikut kontestasi politik kecil-kecilan di kampus dengan nyalon ketua HMJ. Ngurusi Partai kampus, sampai menjadi semacam timses pemenangan Musycab PC IMM Malang.

Ternyata saya lebih laku sebagai Jurnalis, atau pegiat literasi. Bahkan saat kalah nyalon ketua HMJ, saya tetap ditempatkan sebagai Kabid Litbang (Penelitian dan Pengembangan), ditugaskan mengelola Majalah Kampus, sampai dipilih menjadi Ketua Forum Lingkar Pena Ranting UIN Malang. Dua periode di PC IMM Malang bertugas di Bidang Media dan Keilmuan. Ketika di Blitar, diajak mengurus MPI (Majelis Pustaka dan Informasi).

Dalam bidang itu, sepertinya jiwa saya bersemayam bebas. Orang tidak akan ragu, atau curiga karena perbedaan kepentingan. Sudah menjadi prototipe tersendiri.

Tapi pertanyaan kapan dan bagaimana menjadi politikus tetap sukar dijawab. Karena itu soal proses. Ijasah/gelar memang bisa didapatkan dengan uang puluhan juta. Begitupun dengan suara pemilih. Tapi kompetensi menjadi politikus adalah proses panjang. Tidak bisa dibeli. Hanya bisa didapat melalui pengalaman. Tidak bisa kita menukarkan uang 100 juta dengan kemampuan memimpin, berkomunikasi, lobi, negoisasi, sampai membangun koneksi.

Itu semua adalah proses panjang. Tidak bisa semata dengan uang. Prosesnya ketika di keluarga, sekolah, masyarakat, komunitas, dan organisasi. Kasarnya, uang hanya bisa membeli kursi, tapi politik tetap butuh kualifikasi. Kualifikasi tidak melulu soal akademik, yang terpenting adalah pengalaman dalam kegiatan sosial.

Aktivis mahasiswa, OKP, Ormas, pegiat komunitas, birokrat ulung, adalah mereka yang terlatih berpolitik, ketimbang mereka yang hanya bermodal uang dan kompetensi ajimumpung.

Meski bukan politisi, kita tetap bisa berpolitik. Tidak secara praksis/vertikal. Setidaknya, kita harus berpartisipasi dalam politik praksis, minimal menjadi pemilih dan supporter. Kita harus mensupport politikus yang punya rekam jejak baik, atau calon politikus yang kompeten. Bagi yang ingin menjadi politikus, selamat menempuh jalan yang telah dipilih. Bagi yang tidak, berkarya dalam bidangnya, adalah bagian dari politik juga. Politik nilai. []

Blitar, 8 Desember 2016
A Fahrizal Aziz
www.fahrizal-aziz.id

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini