kambing dan hujan

Kambing dan Hujan

sebuah resensi novel kisah kasih
Anak Muhammadiyah dan NU


Is,bagi sebagian besar dari kami, seperti kambing dan hujan—sesuatu yang hampir mustahil dipertemukan. (Hal. 222)

Jika membaca judul buku ini, Kambing dan Hujan, mungkin pembaca akan dengan mudah terperdaya serta berusaha menebak-nebak apa sesungguhnya isi novel karangan Mahfud Ikhwan tersebut. Buku ini bukan buku humor karena judulnya yang mirip dengan salah satu buku Raditya Dika,  Kambing Jantan. Bukan juga buku tentang teknik berternak yang baik karena ada kata Kambing di judul tersebut. Buku ini merupakan kisah dua insan dengan tradisi Islam yang berbeda dalam memperjuangkan cinta mereka.
Dalam buku ini, Ikhwan secara apik menarasikan peliknya pertentangan paham keagamaan yang sudah lama terjadi di antara dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah terutama di kalangan akar rumput dengan perspektif yang sangat berbeda. Dengan rumit dan kompleksnya permasalahan yang disajikan oleh buku ini, tak salah jika Ikhwan menjadi Pemenang I Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2014.
Kisah yang dimulai dari pertemuan di sebuah bus antar kota itu ternyata mengantarkan keduanya untuk menempuh perjalanan panjang menggapai kebahagiaan. Fauzia dan Miftah memulai kisahnya dari pertemuan tak sengaja di bus antar kota tersebut (hal 9). Awal perjalanan cinta yang panjang karena adanya pola relasi rumit yang melibatkan banyak pihak serta bersinggungan dengan aspek kultural maupun keagamaan di masyarakat.
Dengan latar sebuah desa kecil, karya ini menyampaikan perdebatan antara kalangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di lokus yang paling kecil dan melibatkan kalangan akar rumput. Ikhwan tidak hanya menyampaikan perdebatan mengenai pelafalan ushalli sebelum shalat, qunut pada shalat subuh, tradisi tahlil dan shalawat, juga penentuan hari Idul Fitri (hal 83). Ataupun perbedaan tatacara shalat jumat, doa iftitah yang berbeda, dan perbedaan jumlah rakaat tarawih (hal 96). Tetapi juga melibatkan perjalanan kultural sebuah desa kecil dalam menyikapi relasi sosial dan kemajuan jaman (hal 124).
Narasi panjang perdebatan lama antara kaum tradisional dan kaum pembaharu disajikan dengan sangat renyah oleh penulis tanpa kehilangan substansi. Pertentangan antara Masjid Selatan yang tradisional dan Masjid Utara yang pembaharu sebagai dua kutub yang bersebrangan ternyata tak selalu berkaitan dengan substansi mengenai pemahaman  keagamaan yang berbeda saja, tetapi menyangkut beragam aspek dan memiliki sejarah panjang (hal 161). Persaingan yang kedua Masjid tersebut dalam menebarkan pengaruhnya kepada masyarakat desa tidak hanya berhubungan dengan organisasi keagamaan yang diikuti tetapi juga melibatkan konflik keluarga, anggota masyarakat, dan kisah cinta yang rumit.
Ikhwan menurut saya telah berhasil menyajikan jalan kisah cinta yang rumit. Kisah perjuangan antara dua insan yang tidak hanya terbentur karena perbedaan pemahaman keagamaan tetapi juga tentang sejarah panjang dan luka hati yang tersimpan puluhan tahun (hal. 182). Kisah cinta yang tak biasa yang terjalin antara dua insan yang berasal dari paham keagamaan yang berbeda dan tak selalu menonjolkan kemesraan serta harus  dicapai dengan perjuangan panjang (hal 269). Cinta yang butuh diperjuangkan adalah cinta yang patut diperjuangkan (hal 270).
Ikhwan juga mengajak pembaca untuk menyikapi bahwa perbedaan-perbedaan yang muncul ke permukaan harus disikapi secara penuh kehati-hatian. Setiap prasangka harus dicurigai agar kita mampu menemukan kebenaran yang sesungguhnya. Prasangka akan menjadi permasalahan ketika justru tidak ada upaya untuk tabayyun, mencari kejelasan informasi. Perdebatan akan menjadi perkelahian apabila dipenuhi prasangka (hal 331).
Buku yang patut dikoleksi oleh siapapun yang ingin belajar betapa rumitnya lika-liku perbedaan yang ada di masyarakat terutama mengenai perbedaan paham keagamaan yang belakangan menjadi permasalahan. Karena sesungguhnya Tuhan menciptakan manusia dengan rupa, suku, golongan, dan bahasa yang berbeda. Dan tidak ada salah menjadi pihak yang berbeda (hal 338).
Cerita di dalam novel ini menjadi pelajaran penting bahwa dialog sosial antara pihak yang berbeda sangatlah penting. Buku ini menjadi potret sosiologis penting dalam lingkup yang sangat mikro yaitu di suatu desa yang sangat kecil. Kisah yang menyajikan bahwa sesungguhnya perbedaan yang harus disikapi secara dewasa. Karya yang menjadi pelajaran berharga agar kita tetap menghargai kebhinekaan yang belakangan ini memudar. Melalui Kambing dan Hujan Ikhwan berhasil menyampaikan sebuah cerita rumit dengan cerdas juga jenaka tanpa meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan keseharian.

______________
diresensi oleh : Anggi Afriansyah
di poskan oleh : Red.S

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini