Belakangan kita lihat sekelompok orang dengan mudah diorganisir oleh isu tertentu, terlibat aksi, menghujat sana sini, tanpa merasa perlu melakukan konfirmasi lebih lanjut. Suara-suara mereka semakin kencang di sosial media, yang memang memberikan ruang untuk bersuara.
Sementara, diskursus ilmiah masih berotasi dalam lingkungan kampus, belum sepenuhnya keluar dan mewarnai pandangan publik secara luas, terutama kaum menengah kebawah yang minim akses wacana.
Kesenjangan inilah yang jarang disentuh. Selama ini kita terus terfokus pada kesenjangan ekonomi, pendapatan, dan tingkat kemiskinan. Program “pengucuran dana” terus digalakkan, meski ternyata tidak mengurangi secara signifikan angka kemiskinan. Disatu sisi kita pun sepakat jika Pendidikan lah jalan utama mengentaskan kemiskinan.
Namun makna pendidikan kemudian direduksi sekedar sekolah formal. Padahal ada pendidikan formal, non formal, dan informal. Berbicara pendidikan maka yang sering disinggung soal sekolah dan kampus. Jarang disinggung tentang keluarga, komunitas, PKBM, media, hingga lingkungan masyarakat.
Dalam konteks pendidikan pun miskin tidak semata soal pendapatan, tapi juga soal persepsi. Sayangnya, tingkat pendidikan selalu diasosiasikan dengan pendapatan/gaji. Misalkan, orang kuliah sampai Ph.D kemudian diperbandingkan dengan yang lulus SMA namun aset kekayaannya lebih banyak.
Sampai muncul pemikiran, untuk apa kuliah kalau tanpa kuliah pun bisa hidup makmur dan finansial tercukupi? Maka orang yang berkesempatan kuliah pun orientasi besarnya agar di masa depan mendapatkan kecukupan secara ekonomi.
Pemikiran tersebut tentu tidak salah. Kebutuhan ekonomi adalah kebutuhan pokok yang harus dipenuhi, namun pendidikan semestinya mengajarkan orang untuk berfikir lebih mendalam. Apa kira-kira definisi hidup tercukupi? Dan kenapa kita perlu memperbandingkan tingkat kekayaan dengan ijasah akademik?
Makna “orang berpendidikan pun” harusnya juga bisa lebih luas. Tidak saja untuk mereka yang bergelar sarjana, master, doktor, atau profesor, tapi mereka yang juga telah mengalami proses pendidikan diluar pendidikan formal.
Contohnya, barangkali ada pengusaha kaya yang hanya lulusan SD. Tapi bukan berarti dia tidak berpendidikan. Pengusaha itu pasti mendapatkan pendidikan sehingga bisa sampai kaya raya. Entah pendidikan dari keluarga, karena memang keluarganya pebisnis ulung, pendidikan dari lembaga non formal, atau pendidikan dari orang lain karena keuletannya silaturahim dan membangun koneksi.
Rumusnya, tidak mungkin orang sukses dalam bidang tertentu jika tidak punya ilmunya. Tidak mungkin tiba-tiba mendapatkan durian runtuh dan langsung menjadi kaya raya. Pasti ada prosesnya, termasuk bagi mereka yang hanya meneruskan bisnis keluarga, tidak mungkin mereka mampu meneruskan kalau tidak punya ilmunya. Pasti akan bangkrut. Pailit.
Jadi mengentaskan kemiskinan bukan soal memberikan kucuran dana, tapi bagaimana mereka punya persepsi atau wawasan untuk mengelola dana tersebut agar terlepas dari kemiskinan. Maka pendidikan tetaplah penting, tidak saja pendidikan formal, namun juga penataran, pendampingan, sampai komunitas yang memberikan wawasan dan jaringan seputar wirausaha.
Intinya, berbagai kesenjangan itu sebab utamanya adalah persepsi. Termasuk kesenjangan dalam mencerna isu/berita yang sedang berkembang. Kurangnya persepsi membuat orang berfikir sempit dan emosional. Sementara diskusi luas tentang persepsi kadang hanya meriah dilingkungan kampus, kalaupun ada komunitas diluar kampus, kadang pesertanya juga orang-orang kampus, karena mereka yang concern dalam berbagai wacana.
Sementara orang non akademik, atau katakanlah pekerja kasar selalu dipinggirkan perannya. Jika dalam sebuah organisasi kemasyarakatan kemudian dibuat program pengayaan persepsi atau wacana, selalu ada kalimat begini : mereka masih miskin, belum bisa diajak mendiskusikan wacana.
Lantas apa definisi miskin? Bahkan mereka yang disebut miskin itu sebagian sudah punya rumah, punya kendaraan pribadi, pendapatannya diatas UMR. Ketercukupan secara ekonomi itu menjadi sangat relatif. Sementara kesenjangan persepsi semakin terlihat.
Persepsi mempengaruhi pola pikir, pola pikir akan mempengaruhi perilaku. Disinilah titik penting persepsi. Persepsi terhadap kehidupan, agama, dan negara. Persepsi inilah yang akan menentukan seseorang menjadi individualistik atau altruistik. Apa ia menjadi sosok yang peduli, atau apatis. Menjadi dermawan atau serakah.
Sekarang, ketika banyak orang dengan mudah terhanyut dalam isu dan propaganda, semakin banyak orang diorganisir dengan berbagai slogan-slogan heroik, makin membiaknya kasus bullying terutama di sosial media, sementara pihak yang menganalisisnya dengan kritis jumlahnya tidak sebanding.
Bahkan celakanya, mereka yang dengan mudah terseret arus tersebut adalah mahasiswa yang habitatnya di kampus, padahal kampus adalah tempat prolifik dalam memperkaya wacana dan persepsi.
Sempitnya persepsi titik utamanya adalah minimnya minat baca dan sikap fanatik berlebih, yang membuat kita mudah curiga kepada orang lain, sehingga jarang terjadi ruang dialog. Dari skala personal, seharunya kita menyadari kesenjangan ini. []
Blitar, 21 Januari 2017
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini